Ciuman Pertama Aruna

III-66. Baby Alan



III-66. Baby Alan

0"Ketika kelak aku mendapatkan kesempatan kedua, akan kuberikan segalanya termasuk waktu yang lebih banyak untuk istriku," ini kalimatnya sendiri, kalimat yang membuat Hendra akhirnya berdiri meninggalkan meeting.     
0

"Maaf saya tidak bisa konsentrasi, kita lanjutkan pertemuan kita besok saja," celetuk Hendra pergi dari tempat duduknya.     

Sejalan kemudian mata biru membuat panggilan untuk ajudannya. Herry diminta memperlambat laju mobil yang dia kemudikan. Sehingga dirinya sendiri bisa hadir di rumah Ayah Lesmana lebih cepat daripada mobil yang membawa Aruna.     

Betapa terkejutnya Aruna, ketika pintu dibuka oleh Rolland. Hendra tersenyum menyambutnya. Dia keluar dari pintu mobil tepat di depan rumah ayah Lesmana. Sebab rumah Ayah Lesmana tidak begitu luas, mobil tersebut dibiarkan menepi di tepian jalan. Keduanya berjalan beriringan memasuki pagar rumah.     

Tangan Aruna tertangkap membawa kado berupa kumpulan sepatu bayi, Hendra meraihnya untuk memudahkan sang istri, "biar aku minta seseorang membeli kado lagi untuk baby Alan, supaya lebih banyak dari ini,"     

"Jangan! Tidak perlu," ujar Aruna.     

"Kenapa??"     

"Yang terpenting bagi keluargaku, bukan banyak atau mahalnya, yang terpenting ungkapan rasa sayang di balik kado yang kita bawa," Aruna mengeluarkan salah satu benda dari dalam tas yang di bawa Hendra, "lihat," kata sang istri menunjukkan sepatu rajut, "yang begini, lebih terkesan penuh cinta," monolog Aruna mendorong anggukan kepala Mehendra.     

Mata biru mencoba membuat pemahaman. Ia sempat tersenyum menyadari istrinya punya kebiasaan unik terkait pembuatan benda-benda lucu khas kerajinan tangan.     

"Kau punya waktu membuat benda-benda macam begini,"     

"iya lah, gara-gara kamu aku nggak masuk dua hari," ketus Aruna mengingat kenakalan setan bermata biru.     

.     

.     

Kedatangan menantu yang dulu selalu menimbulkan kecurigaan kini di sambut hangat oleh seluruh anggota keluarga. Hendra bahkan di izinkan menggendong baby Alan. Setelah acara makan malam yang menyenangkan.     

Baby Alan yang kini berada di tangan mata biru berhasil membuat Hendra berbinar-binar, dia menerbitkan lesung pipi berulang kali, bahkan tidak mau di gantikan Aruna.     

"Lihat adek Alan menangis, kembalikan pada bundanya Hen.." pinta Aruna.     

"Yaah.." Hendra berseru kecewa, mendorong terbitnya tawa yang lain termasuk Aruna.     

"Kalian cepat-cepat saja punya baby, biar makin lengkap," kata Alia sembari memangku Alan siap menyusuinya.     

"Sedang berusaha kak," celetuk Aruna.     

"Berapa bulan kamu tahu, kalau kamu akhirnya hamil," tanya Hendra penuh rasa penasaran kepada Alia.     

"Wah.. ada yang nggak sabaran," Aditya menghentikan aktivitasnya merapikan keranjang baby Alan, ia tampaknya menangkap ekspresi ingin tahu yang cukup mencengangkan di balik diri sang CEO yang kabarnya kian menghangat akhir-akhir ini.     

"Bersabarlah, sudah berapa lama sih kalian balikan lagi?" tanya Alia.     

"Tidak lama lagi kita memasuki satu bulan, siang malam aku berusaha," Hendra bicara sembarangan.     

"Hendra! Apa-apaan sih, jangan ceritakan hal seperti itu Se-maumu!!" kata Aruna mencubit perut sisi samping suaminya.     

"Hahaha," tawa memenuhi kamar paling besar di rumah ini, kamar yang saat ini berisikan dua pasang suami istri, bayi mungil termasuk kanebo kering yang konsisten belum ada minat menikah.     

"Aauu.." keluh Hendra di cubit Aruna di bagian samping perutnya, sambil menahan sakit si lelaki menyingkirkan tangan istrinya, "mereka juga pernah menceritakan ML di luar nikah pada kita," Hendra masih ingat bagaimana kedua pasangan ini mendatangi Aruna yang sakit di rumah sakit untuk mengeluhkan kehamilan yang meresahkan.     

"Tunggu saja.. sampai Aruna telat bulan pertama, itu artinya dia Hamil," ungkap Alia merebut perhatian sepasang suami istri yang masih ribut sendiri antara tak mau di cubit dan ingin mencubit.     

"semudah itu?" Tanya Hendra lagi. Alia mengangguk ringan.     

"Sudahku bilang -kan', tak perlu tiap saat di paksa cek pakai alat uji kehamilan. Kalau ternyata belum berhasil malah bikin frustrasi," Aruna bersuara nyaring memojokkan seseorang yang tiap saat penasaran.     

"namanya juga ingin tahu," Hendra bicara sambil mecucuh.     

"Kalian tinggal ikhtiar saja.. aku yakin kalau memang rezekinya pasti dapat dedek bayi. Masalahnya yang lebih urgent lagi saat ini.. noh lihat yang di pojok, kerja Mulu kapan nikahnya. Keburu nggak laku," Aliana mengutuki kakak lelakinya.     

"Hah! Kalian jalani saja kehidupan pernikahan kalian sebaik mungkin tak perlu memikirkanku," Anantha mengunci percakapan agar tak lagi kena sasaran.     

"Masalahnya kalau kakak gitu-gitu aja terus kita-kita ini jadi kepikiran," kembali Aliana mengomel versi emak-emak muda.     

"Benar kak.. apa kakak nggak kepingin punya pacar kek, kenal cewek sekali-kali," Aruna mendukung Aliana.     

"Dalam kondisi kayak begini bagaimana aku bisa mikirin menikah, perusahaanku saja baru di mulai dari awal lagi," ungkap Anantha membuat pembelaan.     

"Pakai pusing segala, sudah berapa banyak cewek yang aku usahakan supaya dekat dengan kakak!! Sebal deh! Sampai-sampai Cuma Nabila yang tersisa, itu pun karena aku paksa, udah deh nikahi Nabila aja," bicaranya Aliana sudah mirip bos memaki-maki anak buahnya.     

"kau pikir menikah bisa semudah itu, main serudak-seruduk jadi," Anantha sama keras kepalanya tidak mau di hakimi Aliana.     

"noh," kata Alia menodongkan telunjuknya kepada Aruna dan Hendra, sepasang suami istri yang kembali sibuk meminang baby Alan sebab bayi menggemaskan tersebut malah bangun ketika di letakkan ke dalam keranjang tidurnya.     

"Lihat! Itu! Mereka bisa bertahan hingga sekarang, walaupun pernikahannya terpaksa dan di paksakan, parahnya sempat di buat salah paham oleh kakaknya hingga hampir bercerai. Kakak yang tak tahu arti jatuh cinta," Hinaan Aliana sudah mencapai ujung ubun-ubun.     

"YA YA.. YA.. AKU AKAN MENIKAH. PUAS KAU. Cerewet banget mentang-mentang barusan jadi ibu," keluh Anantha.     

"Menurutku tidak ada salahnya menikah, walau kita sering kali merasa belum siap, toh cinta dan kecukupan akan hadir seiring berjalannya waktu," kalimat Hendra menyela di antara perdebatan dua saudara.     

"Dengarkan itu.. dengarkan.." Alia sungguh menyebalkan di mata Anantha.     

"Cih, tuan muda ngomongin kecukupan," celetuk Anantha.     

"Kecukupan yang saya maksud bukan sekedar materi kakak. Metal juga, apa kau lupa seberapa parahnya krisis mental yang aku alami sebelum menikah, sampai aku tak mampu melihat Aruna tidur. Sekarang sih, ku tiduri dia tiap malam," balas Hendra dengan konyolnya.     

"Hendra!!" Aruna memukul lengan lelaki tersebut berulang kali, di sambut tawa cekakakan Aliana dan Aditya sampai-sampai bayi Alan menangis karena pada berisik. Bayi tersebut di gendong papanya kembali di bawa ke dalam pelukan sang bunda.     

"Masalahnya siapa yang mau? Emang Nabila mau? Gadis itu kau pojokkan sesuka hatimu, kasian juga aku lama-lama," Anantha mengurai kekhawatirannya terhadap perilaku Alia terhadap anak buahnya.     

"sudah lah nikahi aja Nabila Aku yakin dia mau," desak Alia.     

"Mudah banget mulutmu bicara, lidah emang nggak ada tulangnya," cela Anantha.     

"Aku sungguh-sungguh.. Nabila pasti mau, dia gadis ... ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.