Ciuman Pertama Aruna

III-77. Janin di Rahim



III-77. Janin di Rahim

0Tap     
0

Tap     

Tap     

Suara gesekan sepatu menapaki lantai terdengar lamat-lamat di telinga perempuan yang perlahan kehilangan kesadaran.     

"Arunaaa.." suara suaminya telah menyusup ke dalam telinga, menggetarkan selaput gendang.     

Namun, apa daya dia keburu menutup Mata. Bersama rasa sakit di lengan, di paha, di kening dan yang paling parah rasa basah bercampur nyeri di punggungnya      

.     

"Arunaa.." Mahendra kembali menyebut nama perempuan yang membuat dadanya sesak sebab tak kunjung ada jawaban, "Kenapa semua lampu bisa mati?!" Lelaki bermata biru berteriak melempar kemarahan pada dua orang petugas keamanan gedung bertingkat ini. Buru-buru petugas keamanan menyalakan lampu, tak butuh waktu lama salah satu dari mereka menyadari pintu ruang desain produk terkunci rapat dibanding pintu lain pada divisi marketing development.     

"cepat buka!" gertak Mahendra, tampaknya sia-sia, kunci pintu yang tidak pernah digunakan tersebut tak ada di kumpulan kunci yang kini dibawa petugas keamanan.     

Mengetahui kejanggalan, dada Hendra kian remuk. Lelaki itu mengangkat salah satu kursi dan membantingnya kuat-kuat ke arah pintu kaca desain produk.     

"PRANG," suara pintu kaca tebal beradu dengan kursi. Kaca tersebut pun retak seketika, dan pria ini mengulangi sekali lagi. Berjalan gusar meraih satu kursi lagi lalu ia lempar pada pintu kaca untuk kedua kalinya.     

"PRANK," yang retak kian porak-poranda jatuh mumur menjadi kepingan-kepingan kecil berserakan di seputar pintu desain produk.     

Sebelum Hendra memasukinya, tampaknya Herry telah tiba, dia bersama sekelompok ajudan khusus dari lantai D. Akan tetapi Mahendra tak peduli. Pria itu lekas-lekas melompati pecahan kaca dan bergegas masuk memeriksa, seiring nyala lampu pada ruang desain dinyalakan dan menjadikan terang. Hendra mendapati tas istrinya berserakan.     

Tentu sana lelaki bermata biru teramat ketakutan, lebih-lebih salah satu dari ajudan mendapati rambut berserakan di lantai. Mahendra mengangkat tangan kanannya, ia memegangi dada. Sambil terus memeriksa hingga mata biru tahu ada darah di lantai yang terseret ke arah pojok ruangan.     

Deg     

Seorang ajudan bergerak cepat menyelipkan sebuah benda berdarah ke dalam jas.     

Deg     

"Apa itu..?" tanya Hendra kian kacau, berhenti sesaat ketika berniat mengikuti jejak darah. Hendra curiga dengan apa yang di selipkan ajudannya. Dia tidak tahu bahwa benda tersebut gunting berdarah yang sengaja disembunyikan dari tuannya.     

Entah apa yang terjadi para ajudan saling memandang, termasuk yang di ujung sana. Dan mungkin saja telah menemukan tubuh istri pewaris tunggal Djoyodiningrat.     

"Apa istriku ada di situ?"     

Deg     

"Kenapa kalian tidak menjawabku?!" Mahendra ragu, kenapa tak terdengar suara Aruna. Bahkan ajudan yang berada di pojok sana menatap yang lain seolah mengirim isyarat.     

Deg     

"Sial!" Dan benar dugaannya, Herry mendekat menangkap lengan tuannya termasuk dua ajudan lain mengunci tubuh Hendra kuat-kuat, mereka membalik arah pandang Mahendra supaya tidak bisa melihat tubuh istrinya yang di angkat. Supaya segera mendapatkan pertolongan.     

"Maaf tuan ini untuk kebaikan Anda," Herry mengurai pernyataan tak berarti.     

"AAAARRRGH..." lelaki bermata biru berteriak kesetanan, "Aaargh..." bukan sekedar panik ini ekspresi frustrasi yang menjadi-jadi. Berusaha menoleh sebisanya, melawan tiga orang sekaligus yang berusaha menjauhkan pandangan dari gerak langkah para ajudan membopong tubuh perempuan, tak lain dan tak bukan ialah tubuh Aruna-nya.     

"Aaarrgh.." lelaki berstatus suami tersebut tidak bisa menahan diri dari kekacauan yang terbit di pikiran. Dia tak di izinkan melihat istrinya sendiri. Tubuh Hendra terus bergerak, sebagai naluri lelaki yang begitu mencintai sang istri.     

Pada upayanya melawan, mencuri lihat yang terlarang, dia tahu yang di bopong ajudannya ialah perempuan tak sadarkan diri dengan rambut berantakan dan tangan terkulai tanpa daya. Tangkapan mata sekejap mampu membuat Hendra memahami kondisi yang ada.     

Dia merosot jatuh, lututnya menyentuh lantai, sang tuan yang perlahan di lepas oleh ketiga ajudan terlihat memegangi kepalanya.     

Mereka satu persatu pergi menyisakan Herry, "Aaagh aa.. aaa.." untuk pertama kalinya Herry tahu tuannya bisa meneteskan air mata.     

Herry pernah merasakan kegilaan semacam ini tatkala memutuskan terlibat dalam pelarian mencari istri Mahendra yang di pulangkan secara tiba-tiba.     

"Tuan, saya yakin Anda tak ingin jauh dari nona, sebaiknya segera menyusul ke rumah sakit," mendengar monolog Herry, Hendra bergegas bangkit, dia menyeimbangkan kakinya. Nafasnya masih ngos-ngosan, memaksakan diri berjalan.     

Sayang sekali lelaki bermata biru menginjak gunting berdarah yang terjatuh dari dalam jas ajudan ketika turut membopong nonanya.     

Hendra tak kuasa, ia tetap pria yang sama, yang takut melihat seorang perempuan tersiksa entah kesakitan apalagi terluka. Parahnya, benda tersebut bisa jadi untuk menyiksa sang perempuan yang paling berharga dalam hidupnya.     

Mata biru bergetar, dia sadar detik berikut ini ialah detik-detik kritisnya. Nafasnya kian pendek, kaki dan tubuhnya kian kaku, ia membeku bersama jantung di dalam dada yang perlahan melemahkan fungsinya.     

Hendra jatuh saat itu juga. Bersama sirene meraung-raung pada lobi lantai pertama Djoyo Rizt Hotel. Membawa tubuh penuh luka, tubuh istri CEO DM Group.     

Beberapa menit kemudian tak di sangka tubuh sang CEO yang sekaligus pewaris tunggal Djoyodiningrat juga turut di bawa ambulance.     

^^^     

"Ini adalah istriku dia perempuan yang luar biasa, luar biasa bikin susah dan nyusahin. Oh iya, besok hari terpenting bagiku. Hari penentuan nasibku, kalau aku tidak berhasil di bulan ini maka tidak ada pilihan lain. Bulan depan aku harus berhasil apa pun caranya. Kalau perlu akan ku gunakan strategi terbaik, tergila pun tak masalah," Pria ini tiba-tiba mengangkat tangannya di depan wajah dan menggerakkan jemarinya seperti geregetan. Ingin meremas sebuah benda imajiner di hadapannya.     

.     

[baca prolog pembuka season III]     

.     

Dia bilang sehari kebutuhannya tidak cukup sekali, sama seperti makan, pagi siang malam. Sungguh menyusahkan. Entah apa maunya.     

.     

--Mimpi Mahendra menemani tidurnya--     

^^^     

Mata berpigmen rendah mengerjap, tak butuh waktu lama ia terbuka secara sempurna, pemilik yang baru saja menemukan kesadaran. Langsung memaksakan diri gerak secepat kilat, duduk, kemudian berusaha bangkit, berniat mencari keberadaan istrinya.     

Spontan para penjaga yang terdiri dari Anantha dan Surya serempak mendekat.     

"Hen.. istirahat lah.. jangan memaksakan diri," ujar Surya menatapnya.     

"Apakah kamu bisa bicara seperti itu ketika hal buruk terjadi pada Dea?" Hendra memutar kata-kata. Surya otomatis terbungkam.     

"Bagaimana kondisi Aruna??" lelaki bermata biru menerawang ke segala arah, mencari letak jam. Dia menarik lengan Surya yang dilengkapi jam tangan, niatnya menghitung selama apa dirinya tertidur.     

Untung saja, tidak selama biasanya, pada upayanya mencabut infus, Mahendra kembali melempar kalimat tanya, "Di mana istriku? Bagaimana kondisinya?"     

"Dia masih berjuang," Anantha yang dari tadi terdiam kini bersuara.     

"berjuang?" batinnya tidak jenak. Dua jam ia tertidur, Apakah Aruna masih berada di dalam ruang bedah atau ICU? Mungkin kah istrinya berada di sana selama dua jam? Detak dalam dada lelaki tersebut meronta-ronta. Ia kian berhasrat mencabut infus di tangan.     

Anantha mencengkeram tangan Hendra, "jangan dilepas Kalau kamu masih membutuhkannya, aku akan membantumu pergi ke ruang ICU," Anantha menggelengkan kepala tanda tidak setuju kalau-kalau Hendra mencabut infusnya.     

Dan sang kakak ipar membantu mata biru mendorong infusnya. Sepanjang langkah Mahendra terdiam, kosong, linglung dan hampa.     

Anantha tiba-tiba menghentikan langkahnya, "Aku tahu saat ini kondisi terberat untukmu, tahukah kamu adikku tidak selemah yang kamu bayangkan, jadi simpan rasa frustrasimu,"     

Hendra kembali berjalan tidak memedulikan kalimat Anantha, mana mungkin dia bisa menyimpan frustrasinya, itu mustahil.     

"percayalah, masih ada kebaikan di balik bencana," langkah Mahendra kian cepat, setelah mendengar kalimat Anantha yang tertangkap layaknya bualan.     

"berusahalah kuat seperti adikku, dia mampu mempertahankan janin di rahimnya walaupun tubuhnya di serang,"     

Penerima informasi mematung, handphone yang ia pegang jatuh di lantai menyuguhkan bunyi 'klatak' yang tak di sadari sang pemilik.     

Dia berbalik menatap Anantha, mata birunya bercampur semburat merah menyala, "Kak Anantha bilang apa tadi?"     

Hendra masih belum menemukan rasa percaya diri, dia takut yang dia dengar barusan sekedar mimpi, sama seperti mimpi indahnya kala ia tertidur tadi.     

"Oh' Apa kamu belum tahu Aruna hamil?"     

.     

.     

Resmi di app Webnovel, Instagram penulis @bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.