Ciuman Pertama Aruna

III-74. Ekspresi di Buat-buat



III-74. Ekspresi di Buat-buat

0"tak usah kecewa, aku tetap mengambil sepatu yang jenisnya sama, cuman tingginya saja yang perlu dikurangi," mendengar monolog syakila Gibran menghentikan langkahnya, membalik tubuh dan sesaat terlihat dia mengangguk ringan, kemudian menuju kasir.     
0

"ada lagi yang kamu inginkan?"     

"tidak ada," tapi tangan gadis itu menarik Gibran, "Aku boleh ikut ke kantor kakak?" sang pria tersenyum untuk pertama kalinya kepada gadis kurus.     

"terima kasih!" syakila tahu itu artinya iya.     

.     

.     

"Kenapa kamu membungkus makan siang 3 porsi?" tanya Gibran setelah perempuan itu mengantre cukup lama di sebuah restoran cepat saji.     

"yang dua untuk kita, yang satunya untuk Gesang, aku penasaran Seperti apa dia di tempat kerja," mata gadis itu berbinar menamati bungkusan di tangan.     

***     

[Hallo? Sayang?]     

[Iya..]     

[Tidak istirahat?]     

[Kayaknya enggak, aku ketinggalan, Harus bekerja ekstra]     

[Baiklah..]     

Tumben sekali Mahendra tidak memaksa, tidak tahunya kini Aruna didekati senior Jou. Pria itu mengatakan sang CEO sedang menunggu kehadiran anak magang tersebut di ruang kerjanya. Dia harus segera menemui bos tertinggi sekaligus paling ditakuti.     

"Bilang padanya aku sedang sibuk," Pinta Aruna tanpa berpikir panjang.     

"Apakah anda ingin saya berada dalam masalah nona?" tiba-tiba cara bicara Jou berubah drastis di bandingkan awal mula perjumpaan mereka.     

"Huh, maaf ya kak," lengkap Aruna baru sadar statusnya. Perempuan tersebut bangkit dari tempat duduk.     

"Dea kamu nggak ingin menemui Pak Surya?" tanya Aruna.     

"sebentar lagi," perempuan berhijab terlihat sangat sibuk, dia bicara tanpa melihat ke arah Aruna.     

Dan perempuan mungil itu berjalan sendirian melewati lorong-lorong yang menyajikan bilik kosong pada jam istirahat. Ada hal yang amat sangat berbeda dari awal mula magang di kantor ini. Hampir semua yang berpapasan dengan Aruna menyapa sambil menundukkan kelapa sesaat.     

"Hah," pemilik mata coklat membuka mata lebar-lebar, tersentak tiap kali mendapatkan perlakuan yang dia anggap terlalu berlebih tersebut.     

Setelah otak kosong pulih mengembara dia akhirnya menyadari betapa Mahendra pria yang luar biasa, hanya karena berstatus istrinya saja semua orang memasang senyuman untuknya. Dan Aruna membalas salam sapa mereka, canggung sendiri.     

Langkah riang itu telah sampai pada pintu ruangan lelaki yang tadi pagi mengatakan bahwa dia punya kado istimewa, baru juga mengetuk pintu yang kemudian di balas kata, "masuk," oleh suara familiar.     

Sayang sekali ketika pintu dibuka, ada penyulut api di dalam dada yang duduk nyaman di depan meja suaminya. Mungkin mereka sedang membicarakan pekerjaan, akan tetapi dada Aruna tak bisa dibohongi. Perempuan tersebut menekuk mulutnya tatkala Nana menoleh kepada dirinya dengan tatapan tajam menghunjam.     

-sial, harusnya itu ekspresiku! Kenapa dia yang seolah mengancamku?!- Aruna memutuskan segera mendekati Hendra.     

Walaupun benar di atas meja yang tersaji adalah kumpulan berkas pekerjaan dan sebuah Smart phone berukuran besar yang isinya juga catatan seputar pekerjaan, hati Aruna tak mau berkompromi. Dia bergerak cepat, mendekat dan menyambut cara lelakinya membuat gerakan memutar kursi lalu melebarkan satu lengannya untuk menangkap pelukan Aruna.     

Aruna yang terdekap sengaja berlama-lama kemudian membuat penawaran yang mengejutkan, dia mengecup bibir Mahendra tanpa ragu-ragu.     

"Stop! Stop! Aku masih bekerja, ten minute," kata si pria melepas perlahan.     

"Sayang katanya mau tunjukan sesuatu yang spesial," Entah dari mana perempuan ini belajar manja, ucapannya saja dibuat-buat. Padahal biasanya ia bicara dengan nada apa adanya.     

"Lihat!" Hendra memberi isyarat. Pria itu menunjukkan foto pernikahan mereka yang terpajang di belakang tempat duduknya.     

"Waaah... Ini yang aku mau," kalimat ini mengusung intonasi yang unik. Jelas sekali sedang dibuat buat, terlebih bagi yang kenal Aruna.     

Hendra sempat lempar senyum ganjil, seganjil cara Aruna memasang ekspresi sok imutnya yang bukan dia banget.     

"duduklah sebentar di sana, aku sudah minta orang menghangatkan kan bekal dari bunda," ucap Hendra mendorong perlahan punggung istrinya.     

"oke sayang," dari mana dia belajar membuat panggilan 'sayang', padahal sudah cukup lama Hendra memintanya akan tetapi Aruna selalu kesulitan mengawali kata berbeda dalam menyebut suaminya.     

Dibalik adegan suami istri yang tertangkap mesra ada tangan mengepal kuat. Itu tangan perempuan yang merasa dirinya di hina.     

***     

"krucuk"     

Ini suara perut, perempuan kurus yang berbelanja sejak pagi belum mengisi perutnya sama sekali.     

"buka makan siangmu,"     

"belum ingin, nanti saja," pria yang mendengar suara perut keroncongan, membuka bagiannya lalu meletakkan paket makanan tersebut di pangkuan perempuan yang tubuhnya kurus kering.     

"makan sekarang, yang banyak," desak Gibran menyodorkan sendok yang baru saja ia lepas bungkusnya.     

"aku bilang belum mau,"     

"huuh.. kenapa selalu menolak saranku,"     

"Aku nggak bermaksud menolak saran Kak ibran,"     

"Buktinya kamu tidak mau makan,"     

"aku mau makan siang bersama Ges-" perempuan tersebut menghentikan kalimatnya, menyadari yang berada di mobil ini bukan hanya Gibran.     

"Baiklah.. baik, aku makan," tampaknya keputusan perempuan ini mendorong rasa lega lelaki yang duduk di sampingnya. Gibran tak hentinya mengamati syakila yang sedang makan dengan cara malas, tiada berselera.     

"isi penuh sendokmu! lebih banyak lagi," Gibran terlihat tidak sabaran terutama mengetahui sendok yang di gerakan Syakila hanya terisi makanan di ujungnya saja.     

Pria ini tertangkap menghembuskan nafas berulang kali, mencoba untuk bersabar.     

Sejujurnya Gibran sendiri tidak mengerti kenapa dia diliputi rasa khawatir terhadap calon istrinya tersebut. Awal mula bertemu gadis bernama syakila, yang dia tahu cuman satu. Gadis itu memiliki tatapan sendu, tampak memilukan tiap saat.     

Setelah perlahan memahaminya, pria ini baru sadar, ada bekas sayatan di pada lengannya. Bukan cuman satu atau dua, dia sering mengurung diri. Tiap kali Gibran datang menemuinya, Gibran tahu gadis itu baru saja diseret oleh suruhan ayahnya. Dipaksa tersenyum dan menampakkan keadaan baik-baik saja di hadapan Gibran.     

Bersama menghilangnya adik lelaki Gibran yang ternyata adalah pemuda yang dicintai gadis ini. Perempuan bertubuh kurus hingga tengkuk lehernya menonjolkan tulang-tulang tersebut. Sering Kali berupaya mengakhiri hidupnya. Gibran tidak tahu sehebat Apa hubungan keduanya. Yang pasti syakila tampak tak tahan dengan perginya Gesang, seperti tidak bisa lagi melanjutkan hidup tanpa Gesang.     

Gibran meyakini perasaannya sekedar rasa iba terhadap gadis kurus yang tak dipedulikan kedua orang tuanya. Dia pernah mengurung diri dikamar berhari-hari dan dibiarkan. Keluar masuk rumah sakit tanpa satu pun yang menjenguknya. Yang diucapkan tiap saat, "Aku ingin mengakhiri hidupku, daripada disandera boleh Ayah dan keluargaku," sesungguhnya Gibran sempat muak kepada ayah syakila, akan tetapi Baskoro adalah teman sekaligus kolega utama tarantula Group. Di depan orang lain Baskoro begitu terhormat dan terpandang.     

"Kenapa?" tanya Gibran kala perempuan itu meletakkan makanannya.     

"sudah kenyang,"     

"Kamu hanya makan seperempat, bagaimana bisa kenyang?!"     

"Kenapa kak ibran marah padaku?"     

"Tubuhmu kurus sekali, lanjutkan makannya?!"     

"kubilang Aku sudah kenyang, suka sekali memarahiku," mendengar kalimat ini Gibran memicingkan matanya.     

"Kau turun di sini! Tidak usah ikut ke kantor," ancam Gibran.     

"katanya tadi boleh?!"     

"habiskan makananmu!" suara ini datar akan tetapi mengusung getaran yang memberi rasa takut pada perempuan.     

Masih menggunakan cara malasnya, syakila menyuapkan sendok ke mulut dengan selingan gerutu.     

***     

Kaki telanjang mencari pijakan, setelah susah payah memanfaatkan alat bantu jalan yang terapit di ketiaknya. Lelaki tersebut akhirnya bisa berdiri sempurna. Dia belajar melangkah kan kaki, di mulai dari kamar kemudian menuju ruang tengah dan pada akhirnya mengelilingi rumah mungil yang dalamnya berantakan.     

Thomas, yang bersemangat dalam waktu singkat memutuskan melepas satu penyangga, dia memanfaatkan bagian sebelah penyangga untuk membantunya berjalan. Pria itu begitu bahagia, dan Thomas mengucapkan terima kasih dengan cara berbeda.     

Menggunakan satu kaki dan sebuah penyangga, Thomas membersihkan rumah tersebut, untuk seluruh anggota keluarga yang menyelamatkannya.     

Dia menyapu, merapikan barang-barang berserakan, mengepel lantai, mencuci seluruh piring kotor dan yang terakhir dia berminat mencuci baju kotor.     

Sayang sekali, dia menyadari luka di kakinya tidak mungkin melakukan itu. Bersama peluh yang menetes yang rasa lelahnya, Thomas duduk lalu memeriksa lukanya, "Sial," ada yang tidak beres setelah dia bekerja terlalu keras.     

Pria itu meraih air lalu meneguknya, matanya menatap sebuah foto keluarga lengkap. Thomas mengerutkan keningnya.     

"Kamu yang membersihkan ini semua?" Gadis kecil berbaju merah putih melebarkan matanya bertanya pada Thomas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.