Ciuman Pertama Aruna

III-75. Kau Kelihatan Panik



III-75. Kau Kelihatan Panik

0Kedua perempuan tersebut terdiam. Sambil mencuri lirikan satu sama lain, dan akhirnya salah satu dari mereka memilih lebih mereda dan bersabar. Aruna  memutuskan menatap langit yang kian cerah di siang hari dengan duduk nyaman di sofa Ruang kerja Mahendra, daripada melarutkan dirinya ke dalam permusuhan kosong tiada guna perempuan berusaha bijak versi dirinya.       
0

Dunia tidak selamanya baik-baik saja, selalu ada yang mencari cela walau kamu tak tahu apa salahmu. Perempuan ini mendamaikan isi hati. Mencoba tidak peduli, dan membuang jauh-jauh perasaan negatif Yang Sejujurnya sempat mempengaruhinya.     

.     

 kini lelaki bermata biru sudah duduk  di sampingnya. Sejalan dengan perginya perempuan yang mengusung gelagat tak menyenangkan kepada Aruna.  Si mata biru mengumbar Senyum sumringah kepada sang istri,  selang hitungan detik kemudian pria itu mengalungkan tangannya di perut Aruna. memeluk dan mencium pipi menggemaskan, " Senang rasanya melihatmu  berada  di kantorku pada jam istirahat seperti ini,"      

" Aku juga senang bisa magang di kantor mu, terlebih  tak banyak mahasiswa yang mendapatkan kesempatan magang  di kantor pusat Djoyo Makmur Group," Aruna mengimbangi ungkapan Mahendra dengan kalimat kekaguman.      

" kamu bicara seperti orang lain,  semua yang aku punya adalah milikmu,"      

" benarkah? "      

" memangnya kalau bukan milikmu, punya siapa?"      

" kalau  begitu, Apa aku boleh membuat permintaan?" Hendra mengangguk.      

" apakah kamu akan mengganti sekretarismu jika aku yang memintanya?" Hendra membuka mulutnya pertanda segera ingin jawaban, akan tetapi pembawa baki bekal makan siang telah datang. Mereka menyapa CEO beserta istrinya sebelum menyajikan makanan di meja.      

Buru-buru laki-laki bermata biru membuka piring dan membantu sang istri  dengan menyiapkan  hidangan,  "harusnya ini tugasku?" Aruna mengerutkan keningnya.      

" tak apa-apa, akan kulakukan segalanya, Apa saja supaya kamu nyaman  dan bahagia"      

"Lalu bagaimana dengan pertanyaanku tadi?" Aruna berbicara sambil  menyendok makanan satu sendok penuh  ke dalam mulutnya.      

" aku punya janji kepada seseorang, janji  ini  semacam barter," ucap hendra sembari ikut makan bersama Aruna.      

"begitu ya?" kecewa perempuan mungil yang kini kembali memenuhi mulutnya dengan sesendok penuh makanan.      

"lelaki tidak bisa melanggar janjinya sembarangan, sayang," dia yang makan dengan lahap sedang kecewa dan Hendra tahu itu, "Seperti ayah dan kakek yang mencoba saling menepati janji, aku pun juga sama," hendra memiliki janji terhadap saudara Anna, Leona melepaskan kehidupannya di Indonesia dengan satu syarat, menjadikan Nana sebagai sekretarisnya. Hendra Tidak pernah peduli mengapa syaratnya semacam itu, yang dia inginkan seputar tak lagi ada Leona yang seenaknya memanfaatkan Tania dan melakukan tindakan di luar batas kewajaran masih berada di lingkungan lantai D.      

"Aku tahu aku tidak punya alasan yang jelas, tapi.."      

"Sudah makan saja," Hendra mengunci pembicaraan.      

_aku tidak suka dengan tatapannya, sangat jelas dan terang-terangan dia membenciku_ mulut Aruna ditekuk ngambek. mereka makan dalam tenang karena sang perempuan malas bicara.      

.     

lama mereka terbungkam satu sama lain, walaupun lelaki bermata biru berulang kali melempar candaan ringan atau sekedar pertanyaan.      

"Masih marah?" Rayunya kepada sang istri.      

"Nggak," jawaban ini jelas jawaban yang lain dimulut, lain dihati.      

"Aku nggak mau fokus ke situ, kita bicara yang lain saja," Aruna tidak mau kemarahannya diungkit.      

"Iya.. oke,"      

"Sekarang aku mau membahas hal lain yang lebih penting,"      

"Ada yang lebih penting? Apakah itu tentang cara mendapatkan bayi?"      

"Kau!! itu terus isi kepalamu, tak jauh-jauh dari.. -ah sudahlah" sang pria terkekeh mendengar kalimat istrinya. Aruna menyodorkan sebuah daftar pertanyaan," Aku mau mewawancarai mu," Dia yang berkata dengan semangat membuat rekaman Audio.      

"Sepertinya, Ini wawancara serius?" Hendra berceloteh mengganggu.      

"Iyalah, Aku sedang serius," kata Aruna menegakkan punggungnya, "baiklah tuan CEO, saya adalah mahasiswa magang, Saya berencana membuat desain produk makanan yang sebelumnya mengalami kesalahan fatal," bukannya mendengarkan dengan benar, Hendra malah tertawa.     

"Hus..! Aku serius nih,"      

"Iya.. iya.."      

"Jadi, supaya kesalahan tidak terjadi lagi saya mencoba mencari value utama perusahaan anda,"      

Kembali sang pria tertawa cekikikan, "Apa kau yakin ini sungguhan?" mata biru merasa istrinya kian menggemaskan.      

"HENDRA!!"      

"Iya.. iya.. akan ku coba serius,"      

"Kalau kuesioner ini terjawab semua, akan kuberi kamu kecupan di bibir,"      

"Aku bukan Hendra yang dulu, kompensasinya kurang ampuh,"      

"Baik.. baik.. malam yang menyenangkan, puas?!"      

"Hahaha. Itu yang aku mau, baiklah sayang Apa pertanyaanmu?"      

"Em.. kamu pernah mendengarkan umbrella statement[1]?" Tanya Aruna pada CEO DM grup.      

"Ya, sekadarnya, pernah membacanya waktu kuliah,"      

"Ku gunakan pendekatan tersebut, untuk menemukan desain produk versi ku, Jadi sekarang dengarkan aku Tuan,"      

"Baik nona,"      

"Hendra!!"      

"Iya.."      

Siang itu sang perempuan menghabiskan waktu istirahatnya dengan berdiskusi bersama CEO sekaligus suaminya, dia menanyakan hal-hal seputar, Determine purpose, State the goal dan lain-lain.      

Hendra tidak menyangka, istrinya yang sering bermode kosong tersebut memiliki kelebihan dalam men-seketsa sudut pandangnya terkait harapan menyelesaikan kemasan produk pangan dengan metode pendekatan berbeda.      

Ternyata anak ini tak sekosong dugaannya.      

Selesai wawancara sebuah kecupan kembali mendarat di pipi Mahendra, sebelum akhirnya sang istri berlari keluar. Seolah perempuan tersebut mendapatkan apa yang dia inginkan. Jadi buru-buru ingin menyelesaikan base line yang telah berhasil ia gali.      

Baru saja sampai pada lorong yang tak jauh dari ruang Mahendra, Aruna mendapati dirinya sengaja di senggol oleh dua orang perempuan sekaligus, hingga handphonenya terjatuh dan tubuhnya tersentak sesaat.       

"Maaf nona," Ungkap salah seorang menghentikan langkahnya, "Saya tidak sengaja."      

"Iya.." Aruna melanjutkan langkahnya tidak memperdulikan dua perempuan tersebut.      

"Biarkan saya yang menghukum mereka," Nana muncul tiba-tiba dari belakang punggung, dan dua orang perempuan tersebut menyingkir.      

"Tidak perlu, cuma kecelakaan kecil," ungkap Aruna.      

"Bagaimana dengan menjilat ludahnya sendiri, Apakah itu juga hal kecil?" Pernyataan ini mengejutkan sekali.      

Apa maksud nana?     

"Maksudmu?"      

"Bukankah kau harusnya sudah bercerai dengan Mahendra? Kenapa kau kembali dan seolah tidak terjadi apa-apa," perempuan bermata bulat cemerlang tersebut menatap Aruna tajam.       

"Itu hakku, toh Hendra tidak keberatan, tapi  ngomong-ngomong, Apakah ada hubungannya denganmu?" Perempuan ini pura-pura bodoh.      

"Kau bilang apakah ada hubungannya?" Suara Nana meninggi. Ketika Aruna mencoba memperhatikan sekitar, perempuan ini mulai sadar bahwa pertikaian kecil keduanya diamati yang lain. Aruna menekan emosinya. Istri Mahendra memilih pergi.      

"Kau!!" Nana berjalan gesit menarik tangan Aruna yang sebenarnya telah meninggalkan tempatnya berdiri, perempuan yang berwajah cantik tersebut menginginkan Aruna mengikutinya.      

"Lepaskan aku! Kalau kau kasar padaku akan kuceritakan pada Hendra," ancam Aruna.      

"Sejak kapan kamu seperti ini, setahuku, kau cukup inferior," kini mereka berada di tempat yang lebih sepi, sebuah ruang sunyi di pojokan ruang perkantoran. Kalimat Nana mendesah, ungkapan kata inferior ia gumamkan bersama mata dan gerak bibir menakutkan.      

Sempat Aruna merinding ketika perempuan itu berjalan mendekat, memojokkannya di dinding.      

"Pergilah dari Mahendra, atau kau akan menyesal, aku sudah memperingatkanmu,"      

"Apa kamu gila?? Aku istrinya! Kau yang harus yang pergi!" Aruna mendorong tubuh perempuan yang menekannya di dinding.     

"Kenapa kau menolak pernikahan kami," tampaknya komunikasi antara Aruna dan tetua Wiryo sudah sampai pada perempuan di hadapannya.      

"Hebat sekali kamu, bahkan tetua Wiryo mengabulkan permintaanmu," Aruna yang terlepas dari Nana, kembali didekati dengan langkah perlahan yang aneh.      

"Kau tahu, Hendra suamiku, menikah lagi atau tidak itu urusanku dengannya, setahuku dia pun tidak mau, Jika kau berani mengancamku, aku.." Aruna tak mau kalah dan mengalah dia tidak peduli dengan keanehan perempuan di depannya.      

"Ah'," Anna melempar sesuatu di dekat tubuh Aruna, suara berkas yang terjatuh kasar di lantai terdengar nyaring keluar ruangan. Anna melempar onner book berisi berbagai macam file pada dinding di sebelah  istri Mahendra berdiri.     

"Dasar aneh!!" Daripada terus berdebat, Aruna melangkah mendekati pintu, perempuan tersebut memilih pergi. Pada langkah perginya dia menyadari pintu tempatnya berlari tadi mendapatkan lemparan benda keras sebab menghasilkan suara yang menyiksa telinga.      

_sungguh gila?!_ batin Aruna, yang tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya terhadap perilaku Anna.      

Sepengetahuan Aruna, perempuan yang kabarnya sahabat masa kecil suaminya tersebut ialah perempuan anggun, sopan dan cantik cemerlang.      

Tapi hari ini semua definisi tersebut  runtuh seketika, Nana menjelma menjadi orang lain. Secara naluri Aruna menyadari dirinya telah diancam. Dan dia bahkan merasakan rasa takut.      

.     

"Ada Apa denganmu," katanya dea menyerahkan minum buru-buru untuk Aruna yang menyajikan nafas tersengal-sengal.      

"Enggak.. enggak apa-apa," perempuan itu meneguk air buru-buru sampai tumpah beberapa bagian. Dan kepalanya sempat merasa pusing.      

"Apa aku perlu memanggil suamimu?" Dea kembali bertanya.      

"Tidak.. aku hanya.. barusan mengalami kejadian kurang mengenakkan," kata Aruna kembali menatap laptop di hadapannya.      

"Kita kerja saja, nanti pikiranku juga akan teralihkan,"      

"Kau kelihatan panik Aruna??" Dea masih memasang ekspresi khawatir.      

"Nggak papa, sudah jangan bertanya, aku malah pusing sekaligus bingung nanti,"      

"Oke oke.. baiklah.."      

***     

Malam itu, perempuan bernama Kiki datang. Baru saja menemui Thomas yang kabarnya menjadikan rumah ini rapi. Tapi sang adik kecil menceritakan luka Thomas kembali mengeluarkan darah.      

"Apa yang kau lakukan??" Pekik Kiki, "kau melakukan ini itu, tak perlu sok baik sampai-sampai membersihkan rumah segala," perempuan yang masih berseragam pegawai toko marah-marah.      

"Aku hanya.."     

"Aku hanya apa??"      

"Dasar bodoh!!" kalimat kemarahan …       

.     

.     

[1] umbrella statement: pernyataan payung, juga dikenal sebagai kalimat topik , menerapkan pendekatan BLUF (Bottom Line Up Front), yang mencakup pernyataan tujuan pesan Anda dan meringkas poin-poin yang mendukung tujuan tersebut     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.