Ciuman Pertama Aruna

III-78. ‘De rien’



III-78. ‘De rien’

0"Oh' Apa kamu belum tahu Aruna hamil?"      
0

Mendengar kabar gembira yang termat di nantikan, lelaki bermata biru tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Dia benar-benar mencopot infus di tangan dan berjalan lebih cepat menuju ruang di mana istrinya masih menjalani serangkaian prosedur medis.      

Anantha tertangkap mengurai rasa terharunya melihat betapa suami adiknya yang penuh kontroversi tersebut menjelma layaknya lelaki yang tak bisa hidup tanpa si bungsu, Aruna. Sang kakak memungut handphone dan mendorong infus menyusul langkah Mahendra yang sekarang tertangkap mata sedang berlari.      

***      

"Turun! jangan bengong saja,"      

"Oh' iya.." Thomas berhati-hati menurunkan sebelah kakinya. Dan si perempuan pemarah mendekat, ternyata tak kuasa sekedar melihat. Thomas mendapatkan bantuan dari Kiki juga.      

Bersama tangan sisi kiri yang di pegangi oleh Kiki mereka memasuki sebuah klinik penuh sesak. Thomas dan Kiki mengantre, mereka berjubel dengan gelombang pasien yang lainnya, "persiapkan dirimu kalau-kalau kita ternyata pasien paling akhir," ujar Kiki memberi tahu Thomas dan lelaki berambut sebahu tersebut menautkan alisnya dia beberapa kali terlihat kepanasan, gerah, tak nyaman, terlebih duduknya saja merupakan keberuntungan sebab kursi yang kini ia duduki sebenarnya berasal dari belas kasihan orang yang iba melihat keadaan Thomas.      

Bagaimana mungkin sanggup jadi terakhir, melihat antrean sebanyak ini saja rasa-rasanya Thomas ingin pulang, kembali ke kamar berseprai lusuh. dia berulang kali mengeluh, sayangnya keluhannya di abaikan mentah-mentah oleh Kiki. Dan memang belum apa-apa di banding ketika ia pada akhirnya menghadap dokter yang ditunggu teramat lama.      

"Ini temanmu Ki?" tampaknya sang dokter sudah mengenal Kiki dengan baik, dan Kiki mengangguk.      

"Ia dok," kata gadis pemarah datar.      

"kenapa baru di bawa ke sini sekarang, lihat!" dokter mengarahkan telunjuknya ke arah luka Thomas yang sengaja ia buka.      

"kalau lukanya sampai paha, aku harus membuka celananya supaya aku bisa cek seluruh bagian," mendengar itu wajah Kiki memerah dan mengambil langkah keluar dari ruang pemeriksaan.      

"Ki," tapi sang dokter malah memanggilnya, Kiki menoleh, "pegangi tangannya dan buat dia tidak berteriak terlalu keras,"      

Kiki terkesiap sejenak, dan sang dokter mulai meletakkan selimut di atas tubuh bagian bawah Thomas ketika celana pria itu benar-benar ditarik oleh sang dokter. Kiki buru memalingkan wajahnya.      

"jangan diam saja pegangi tangannya," perintah sang dokter dan Kiki bingung sendiri antara kikuk, termasuk tak tahu harus bagaimana memulainya. Thomas terbaring di bawah wajah Kiki dia menyerahkan kedua tangannya. Cukup aneh, belum mengerti apa maunya dokter ini.      

Dokter mendorong menyingkirkan tubuh Kiki sejenak dan mempraktekan apa yang harus gadis itu lakukan, "pegangi seperti ini!" kata Doter, meletakkan kedua telapak tangan Thomas pada sisi kanan dan sis kiri kepalanya.      

"Begini ki, dekap seperti yang aku lakukan," sang dokteir, dia benar-benar mendekap tubuh Thomas termasuk mencengkeram kuat kedua tangan lelaki berambut sebahu.      

"Kenapa harus seperti itu dok?" Kiki keberatan, sejujurnya dia canggung melakukannya. Bagaimana mungkin gadis ini mendekap tubuh orang yang bahkan bukan siapa-siapanya, mendekap dan menjerat pergelangan tangan samping kepala. Adegan yang nggak banget untuk ke duanya.      

"lihat saja nanti dia akan berteriak meronta-ronta, dan kau harus menenangkannya, pacarmu butuh itu," titah dokter yang isinya kalimat sembarangan.      

"Kita nggak ada hubungan apa-apa dok," si pemarah menampilkan ekspresi penuh emosi.      

"Kenapa saya akan berteriak dan meronta dok??" Kini Thomas yang diserang perasaan tak enak hati.      

"Kalian ingin ini segera selesai atau tidak?" kalimat tanya dokter membuat keduanya membuang muka. Terlebih seorang suster baru datang menyusup ke dalam ruang pemeriksaan ini, tugasnya sama dengan Kiki, pengaman kedua kaku Thomas, suster yang baru datang mulai mencengkeram kuat-kuat kaki pasien yang penuh luka.      

"Baik kita mulai," dengan teramat canggung Kiki mendekap tubuh Thomas dan memegangi kedua tangannya, keduanya berpaling satu sama lain, supaya tidak bertemu muka, di bawah tubuh Kiki yang mendekap dan memegangi tangannya, pria ini tersapu rambut hitam pekat yang jatuh berserakan di muka Thomas, "Ki, rambu-" bisikan Thomas terpotong dan berganti teriakan keras sekali.      

"Aaaaarrrhhhh!" benar prediksi sang dokter tubuh Thomas meronta-ronta tidak terkendali.      

"Mulutmu Thomas! Gendang telingaku bisa retak," di balik pergulatan Thomas yang beberapa kali berupaya mengangkat tubuhnya kala melawan rasa sakit, Kiki masih sempat memaki.      

Dokter menghentikan sesaat, nafas ngos-ngosan Thomas berhembus naik turun menerpa leher dan wajah Kiki ketika gadis ini menoleh mengamati pria yang tersiksa oleh rasa sakit di kakinya.      

Luka Thomas mengalami infeksi, cukup parah kata dokter. Sejak dia di temukan di tepian sungai belum pernah sekalipun Thomas diperiksa oleh dokter. Luka itu di bersihkan sendiri, Keluarga yang menyelamatkannya berada di bawah garis kemiskinan. Tak banyak berharap dan sempat berpikir benar-benar mati saja lebih sempurna dari pada tersiksa.      

Tapi malam itu ketika dia menyeret dirinya untuk mengambil benda tajam di dapur, seorang bapak yang hidupnya terlihat payah malah memberinya petuah; "aku bisa pura-pura tidak melihatmu waktu itu dan ku yakin kamu pasti sudah benar-benar mati hari ini. Sayang sekali aku sama denganmu, pernah melakukan itu," mengakhiri hidup, sebab bapak dari keluarga yang menyelamatkannya mengira Thomas bunuh diri. jembatan yang tak jauh dari tempat memancing sering di kabarkan menjadi tempat mengakhiri hidup, "Membuat keluargaku tersiksa dan istriku melarikan diri, tapi andai aku hari itu mati aku tidak akan melihat anak-anak hebatku yang ternyata jauh lebih kuat dari yang pernah ku bayangkan," petuah lelaki tua membuat Thomas meletakkan benda tajam di tangannya.      

"Kalau kamu benar-benar sudah tidak tahan tolong bilang-bilang ya, jangan bunuh diri di dalam rumah ini, aku antar kamu kembali ke jembatan. Kasihan anak-anakku kalau harus di interogasi polisi lagi," awalnya Thomas tersentuh dan ujungnya ia ilfil sendiri.      

.      

Sang dokter yang membersihkan lukanya ternyata masih pada tahapan pertama. Dokter tersebut mengelupas bekas luka yang seolah tampak mengering di luarnya, ternyata pada bagian dalam kelihatan sekali lelehan sesuatu yang lengket agak berbau tercium dan terlihat mengerikan.      

"Bagaimana sudah siap naik ke paha," kata dokter menatap luka yang terbuka setengahnya.      

Kiki mengangguk, begitu juga dengan suster yang memegangi kaki Thomas.      

"Sebentar aku haus," Kiki segera memenuhi permintaan pasien mengenaskan tersebut. Dia meraih gelas dan mengisinya dengan air yang kemudian di serahkan pada pria penuh peluh.      

"kau tak apa-apa?" ternyata perempuan judes ini khawatir juga, Thomas menggeleng.      

Setelah mendapatkan keinginannya sang pesakitan terbaring kembali, dengan kecanggungan yang sama Kiki mendekap Thomas dan pria itu memilih memejamkan mata dia tak akan memprotes rambut perempuan yang tadi membantunya tenang.      

Dan untuk kedua kalinya sang dokter menjalankan prosedur pembersihan luka, "mending merasakan sakit sesaat, dari pada pelan-pelan ujungnya sakit juga," prolog dokter sebelum mengelupas luka Thomas.      

Anehnya Thomas tidak lagi berteriak keras seperti tadi, pria tersebut menggigit bibirnya kuat-kuat masih sambil memejamkan mata dia meronta menahan sakitnya. Thomas melepaskan diri dari jerat-an Kiki, mudah saja bagi dia dengan lengan besarnya.      

Awalnya Kiki panik kalau-kalau lelaki berambut sebahu tersebut akan mengganggu dokter menjalankan prosedur penyembuhan. Ternyata dia malah meraih tubuh Kiki memeluk perempuan tersebut sekuat tenaganya terlebih saat rasa sakit menyerang dengan teramat. Kiki secara sadar merasakan sesak di dada, sesak yang hadir akibat kesulitan bernafas sebab Thomas tak mau melepas, dan rasa sesak lain menyadari betapa Thomas amat tersiksa.      

.      

"Kau tak apa-apa?" Kiki tidak lagi memalingkan muka, dia mengamati peluh dan wajah merah Thomas akibat lukanya di buka total secara paksa.      

"Kenapa?," Thomas menarik lurus bibirnya dia tersenyum tipis. Meledek raut muka cemas Kiki.      

"Nggak! Nggak apa-apa," Kiki menyingkir menjauhi tubuh terbaring.      

"Hei," panggil Thomas.      

"Apa lagi??" ketus Kiki.      

"Merci," Kiki mengerutkan keningnya mendengar kata asing dari Thomas.      

"Merci, de m'avoir aidé avec la douleur," (Terima kasih telah membantu saya mengatasi rasa sakit) pria tersebut bukannya membuat perempuan berambut hitam pekat tersentuh dia malah marah.      

"Kau mau menghinaku! Ya??" mata Kiki menatap tajam Thomas, ketus bukan main. "Jawab, 'De rien' Kiki," bantu sang dokter yang mendengar ucapan Thomas.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.