Ciuman Pertama Aruna

III-82. Bertengkar Tanpa Kata



III-82. Bertengkar Tanpa Kata

0"Tunggu sebentar," Kiki duduk kembali menyingkap selimut kemudian mengarahkan pandangan kepada Thomas, "Kemarin kamu bilang ingin telepon seseorang -kan?" dia bertanya dan mulai mengeluarkan Handphone-nya, "Aku sudah beli pulsa, tapi jangan di habiskan," dia bangkit seiring gerakan Thomas berusaha duduk dari pembaringannya.     
0

Setelah bersusah payah memastikan dirinya duduk dengan nyaman, Thomas hanya mampu menatap Kiki tanpa berani meminta hanphone yang kini masih di genggam Kiki.     

"Kalau boleh tahu, kamu orang mana? Bagaimana kamu bisa menggunakan bahasa aneh untuk menyindirku," tampaknya Kiki penasaran dengan bahasa yang sempat di gunakan Thomas.     

"Dari pada menanyakan aku dari mana, lebih baik kamu menanyakan siapa namaku? Apa kau tahu siapa namaku?" Thomas ragu gadis itu tahu namanya. Perempuan ini tidak pernah mengajaknya berkenalan padahal dia tiap saat berbicara ketus luar biasa parahnya di mata Thomas yang hidup dalam dunia dinamis perkantoran dan intrik bisnis. Tidak ada kalimat ketus, adanya sarkas dan jokes yang butuh nalar untuk memahami penghinaan.     

"Aku tahu namamu.. Em.. Thomas –kan?" ujar kiki.     

"oh' dari mana kamu tahu?" _bahkan keluargamu saja tidak ada yang bertanya padaku kecuali bapakmu dan aku yakin bapak tidak akan berani berbicara denganmu kecuali sepatah dua patah kata yang dia upayakan dengan sangat hati-hati_ batin Thomas mengamati keluarga unik yang di dominasi perempuan muda yang juteknya bukan main.     

"Telingaku tidak tuli, aku masih awas saat dokter menanyakan namamu,"     

"Jadi baru tahu tadi?"     

"Iya memang kenapa?" perempuan ini meletakkan handphone di atas tangan Thomas dan buru-buru menarik tangannya.     

Thomas begitu berbinar mendapati alat komunikasi yang bisa menghubungkannya pada seseorang yang ingin dia kabari bahwa dirinya hidup ada di atas telapak tangannya.     

Bip.. Bip.. Bip..     

Suara telepon mengganggu aktivitas seseorang. Sempat di matikan sesaat, sebab dia yang mendapat panggilan sedang berbicara dengan rekannya di tempat berpanorama kan sungai menawan sambil menikmati Caffe Freddo. Dan telepon dari nomor asing yang berkode +62 muncul pada layarnya kembali.     

_Siapa ini?_ Perempuan tersebut bertanya-tanya.     

Pada belahan bumi berbeda ada pria yang sedang berharap panggilannya segera di jawab. Pria ini memahami tentang perbedaan waktu di mana ketika di Indonesia bagian barat telah petang dan menuju tengah malam di Milan masih sore hari.     

[Hallo?] Ragu-ragu Leona menyapa panggilan bernomor asing.     

[Mon bébé, ini aku?]     

[Siapa?] Leona memikirkan seseorang yang biasa memanggilnya dengan sebutan Mon bébé, panggilan sayang uang berasal dari bahasa Perancis tempat Thomas lama menghabiskan masa kuliahnya [Tho.. Thomas??] Bibirnya gemetaran menyebutkan nama kekasih LDR-nya. Dan sesaat kemudian dia menyadari sesuatu, [Tunggu, bukankah dia.. em.. kamu.. telah bunuh diri Thomas] Leona menggunakan logikanya masih dengan menduga-duga, mengingat informasi dari kakaknya dan dari teman-temannya di Indonesia tidak mungkin salah.     

[bébé, aku tidak bunuh diri, aku masih hidup dan sebenarnya kakakmu.. Nana yang paling bertanggung jawab terhadap kecelakaan yang terjadi padaku] penjelasan Thomas menimbulkan tanda tanya besar di kepala Leona.     

[Kenapa Nana? Ada apa dengan kakak?]     

[Akan aku jelaskan nanti, Saat ini yang paling penting aku sedang membutuhkan bantuanmu. Bantu aku, supaya aku bisa menyusulmu ke Milan] pria ini berbicara secepat dia bisa.     

[Kau di mana? Dan tolong jawab Nana kenapa?]     

[Aku..] Bip!     

Telepon genggam yang ada di tangan Thomas mati. Dan pemiliknya segera menghampiri. Kiki terkejut, dirinya tak habis pikir pulsa rp50.000 yang baru dibeli tidak tersisa sama sekali. Padahal seharusnya buget sebesar itu bisa untuk satu bulan penuh.     

"Kok bisa habis?" Kiki ketus mengamati bekas panggilan Thomas.     

"Kamu dari mana sih?! Kenapa menelepon sampai ke luar negeri segala, Aku sisihkan uang demi beli pulsa banyak hanya untuk menyediakan fasilitasi menelepon untukmu, kenyataannya kau menghabiskannya dalam waktu sekejap?!"     

"maaf,". Thomas masih tertegun atas ke tidak sengajaan dirinya membuat panggilan sampai ke luar negeri. Ternyata hal tersebut menjadi sesuatu yang luar biasa saat ini.     

Akan tetapi Kiki masih saja menggerutu dia tidak menyadari ekspresi wajah Thomas yang cukup berbeda dari biasanya. Thomas frustasi, dia sedang dalam keadaan terburuknya dan merasa terpuruk. Dia secara mengejutkan menggertak Kiki, menumpahkan kekecewaannya terhadap keadaannya.     

"Bisakah kau diam!! Apa kau tidak tahu betapa beratnya keadaan yang menimpaku!!" kalimat ini memekikkan telinga, di tengah kondisi klinik yang sepi dan gelap di luar ruangan. Kiki spontan menarik alas tidur dan selimutnya keluar dari ruang yang dihuni Thomas.     

Mereka bertengkar tanpa kata malam ini. Di mana Thomas sedang marah karena keadaan yang sedang menimpanya demikian menyulitkan. Sedangkan Kiki yang telah banyak menyisihkan kebutuhan demi si lelaki yang tidak di kenali malah dengan enteng membentaknya.     

Malam ini keduanya tidak bisa tidur. Meringkuk masing-masing dalam rasa bersalah satu sama lain. Setelah merenungi apa yang terjadi.     

***     

"Anda mencariku?" Mahendra sudah rapi. Dia masih di ruangannya. Ruang istirahat yang di tempati untuk perawatannya sekalian untuk beristirahat sembari meninjau keadaan sang istri.     

Hendra mengurungkan rencana menjenguk sang istri karena Raka datang sesuai dengan instruksi yang semalam ia sampaikan kepada Andos.     

"Ya, duduklah," pinta Mahendra.     

Pimpinan ajudan yang semalam belum menutup matanya sama sekali tampak menguap dibalik caranya memenuhi keinginan tuan muda yakni duduk.     

"sudah menemukan apa kau," Hendra langsung melempar kalimat tanya setelah melihat Raka duduk nyaman di hadapannya.     

"pelakunya perempuan, dan aku yakin dia sangat mengerti seluk beluk DM grup," lengkap Raka menyerahkan siluet CCTV, sesuatu yang tertangkap kamera sebelum kejadian penyerangan nona.     

"Anehnya ritme yang terjadi hampir sama dengan kejadian bom yang berdentum di ruang bawah tanah," ujar Raka.     

"Maksudmu?" Hendra demikian penasaran.     

"CCTV tak bisa mendeteksi keadaan sebab lampu di matikan, hanya siluet dalam gelap yang tertangkap," Raka menampilkan Beberapa foto di handphonenya.     

"Kami belum menemukan, dia siapa. Pelaku sangat rapi, bahkan sidik jarinya tidak bisa terdeteksi, kami butuh penjelasan dari nona," maksud raka butuh berjumpa secara langsung dengan korban, dan menggali informasi dari korban.     

"istriku masih di ruang ICU, dan aku tidak akan tega memintanya menjelaskan kejadian buruk yang menimpa dirinya, cari cara lain dan dapatkan pelakunya secepat-cepatnya." Mendengar hal berikut Raka hanya bisa mengangguk.     

.     

.     

"Tok tok tok" ketukan pintu menyerobot perhatian dua orang yang saling bercakap-cakap.     

"masuk," Hendra memberi izin pada seseorang yang ada di luar.     

Seorang suster masuk, memberi kabar gembira, "istri anda siuman, apa anda ingin menjenguknya?" tawar suster.     

.     

.     

[1] Caffe Freddo adalah salah satunya minuman khas Italia. Berupa kopi yang disajikan dingin. Terbuat dar Espresso yang disimpan dulu pada kulkas sebelum diracik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.