Ciuman Pertama Aruna

III-84. Merasa Terbuang



III-84. Merasa Terbuang

0"Kalau kau mau berterima kasih turun dari motorku sekarang juga!" galak Kiki.      
0

"Em.. Maksudmu?"     

"Turun! Kau tidak tahu arti Turun? Turun itu pergi dari motorku?" gertak perempuan yang tidak memiliki intonasi ramah.      

"Apa aku sangat merepotkanmu?" Gelisah Thomas.      

"Baru tahu?"     

"jadi hanya ini yang bisa membuatmu memaafkan kesalahanku," Thomas teramat gelisah dia sungguh-sungguh sedang dilanda kesedihan luar biasa.     

"Ya," ketus Kiki, sayang sekali kiki tidak melihat wajah lelaki berhidung runcing tersebut.     

Thomas benar-benar turun dari motor metik Kiki, pria tersebut melangkah menggunakan alat bantu yang terapit ketiaknya.      

Kiki yang baru menyadari keputusan gegabah pria yang duduk di belakang, terkejut bukan main. Gadis berambut hitam memanjang pekat tersebut buru-buru menoleh, sayang sekali lampu pada rambu-rambu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. Sehingga mobil dan kendaraan roda dua di belakang pemberhentian Kiki meraung-raung memintanya segera melaju cepat.     

"Hah! Terserah," gerutu gadis yang sedang diburu waktu.     

***     

Di depan pintu kamar ukiran bernuansa klasik khas Jawa, perempuan berbaju rapi dengan balutan rok selutut berwarna abu-abu dan dipadu padankan dengan hem putih lengan panjang tengah berdiri ragu. Dia sempat menghembuskan nafas berulang, menghirup kemudian menghembuskannya lagi.     

Ketika dirinya akan mengetuk pintu tersebut, pasangan suami istri paruh baya keluar. Lebih tepatnya oma sukma membuka pintu kamar untuk tetua Wiryo sebelum akhirnya perempuan anggun tersebut mendorong kursi roda suaminya. Padahal kursi yang menjadi alat bantu tetua bisa berjalan secara otomatis.     

"Ada apa?" Wiryo menyapa perempuan yang sedang memasang senyum terindahnya. Siapa saja yang melihat Anna pasti tahu dia sedang mengharapkan sesuatu dari lelaki yang memiliki banyak kekuasaan.     

"Boleh aku yang mendorong kursi tetua," masih dengan senyuman manisnya Nana meminta izin dan tentu saja Oma merelakan.     

"Tidak usah basa-basi," kalimat Wiryo pada perempuan satu ini sedikit berbeda perlakuan tetua terhadap Nana dibandingkan dengan anak-anak yang memanggilnya ayah atau tetua. Anna punya tempat spesial sebab perempuan bermata bulat lebar tersebut pernah tinggal di rumah ini sejak kanak-kanak hingga belia.     

"Aku ingin menuntut opa," kalimatnya manja, seperti putri kesayangan yang sedang mengadu pada ayahnya.     

"menuntut?" ekspresi Wiryo terlihat sekali sedang berupaya memahami ungkapan Nana.     

"Iya.." lembut suaranya, "menuntut opa," yang berikut terdengar kembali menggunakan intonasi manja, "Sebab opa sudah mempermainkanku," Wiryo meminta kursinya berhenti di dorong.     

Spontan dua orang yang mengiringi Wiryo terhenti sesuai permintaannya.      

"coba kemarilah," Wiryo menggerakkan tangan kanan nya meminta Nana mendekat dan tertangkap memutar sedikit kursinya supaya bisa melihat keberadaan Nana.     

"Sekarang ceritakan padaku, bagaimana aku bisa mempermainkanmu?" kalimat Wiryo diiringi tatapan ramah. Lelaki tua tersebut kadang terlihat berbeda terhadap Nana. Perempuan yang pernah menjadi anak manja di rumah induk sejak belianya. Tentu saja Nana punya tempat tersendiri di hati Lelaki tua yang sempat kehilangan putrinya. Bukan hilang secara fisik melainkan mental, gayatri yang sempat mengalami gangguan psikologis mengakibatkan keberadaan Anna menjadi hiburan yang menyenangkan bagi Wiryo. Terlebih misinya menyembuhkan Mahendra kala itu cukup penting di mata siapapun.      

Ketika Sukma memahami percakapan dua orang tersebut butuh waktu lebih lama, dia menyingkir. Menyiapkan kebutuhan yang perlu dibawa untuk menjenguk istri cucunya. Nyonya besar sedang menyiapkan segala hal secara berlebihan, tidak berubah sedikitpun.     

Melihat Sukma menyingkir, Nana tampak senang. Dia dengan percaya diri membuat permintaan, "ini tentang undangan pertunangan yang ditarik mundur oleh orang-orang anda," nana memberanikan diri menatap mata Wiryo tanpa rasa takut. Seharusnya anak-anak angkat Wiryo tak punya keberanian sejauh ini.     

"Sepertinya pembicaraan kita bukan sekedar basa-basi," Kursi roda Wiryo dijalankan oleh pemiliknya. Menggunakan tombol yang tersedia. Kursi tersebut melaju menuju ruang kerjanya. Tampaknya tetua membutuhkan privasi untuk membahas penarikan undangan pertunangan atas nama Mahendra dan Anna.     

"Aku tidak punya pilihan lain, Hendra  tidak menginginkan pertunangan kalian," ujar tetua mengawali percakapan.     

"Sejak awal dia konsisten menolak dan anggota keluarga ini tetap konsisten mendukung," dengan kalimat-kalimat beraninya Anna menggeser kursi untuk dirinya sendiri. Dia selanjutnya duduk di hadapan meja kerja Wiryo, "Lalu tiba-tiba semuanya seolah membuangku begitu saja," Anna pandai sekali memasang wajah duka serta ekspresi play victim.      

"Aku sungguh minta maaf Anna, kakek tidak bermaksud merugikanmu. Sayangnya keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan pertunangan kalian," entah apa yang merasuki tetua Wiryo, lelaki paruh keras kepala tersebut bisa minta maaf pada anak angkatnya. Padahal pada anak dan cucunya sendiri hal tersebut hampir mustahil bisa ia melakukan.      

"Ya aku tahu, istri Mahendra telah kembali. Semoga dia bisa selamat dari tragedi yang menimpanya," dia yang bicara memasang wajah bersedih. Anna teramat pandai menata mimik wajahnya.      

"Aku akan menerima rasa malu ini, aku juga akan menerima cibiran orang dengan lapang dada," kalimat berikut mendorong Wiryo memasang ekspresi penyesalan, "atas apa yang aku alami, Aku menginginkan sesuatu, tetua," dia sengaja memanggil Wiryo dengan label jabatannya, jabatan lambang kekuasaan.      

"Baik, kamu menginginkan apa Anna," Wiryo yang merasa bersalah seolah siap menuruti semua keinginan anak angkatnya satu ini.      

"Aku mau, Leona diizinkan pulang ke Indonesia," kening Wiryo mengerut.      

"Aku tahu Leona melakukan kesalahan, tapi bukankah saat ini istri Mahendra akhirnya pulang ke dekapan Mahendra, jadi kesalahan Leona tak begitu berefek terhadapnya," Anna mendesakkan permintaannya.      

"Sejujurnya konteksnya bukan disitu Anna, dia melanggar komitmen sebagai putriku," ucapan Wiryo terdengar serius.      

"Anda dan keluarga ini, melanggar komitmen dengan memutuskan pertunangan ku secara sepihak sebab kedatangan perempuan itu, bukankah itu kesalahan yang sama. Aku hanya menuntut kompensasi," ucapan Anna cenderung kelewatan, hampir mustahil anak-anak Wiryo begitu berani menuntut seseorang yang mengayomi hidup mereka sejak kecil dengan berbagai fasilitas mutakhir.      

Wiryo terdiam sesaat, akhirnya dia kalah oleh rasa bersalahnya, "baiklah aku izinkan Leona pulang," raut wajah Anna berubah total dia dipenuhi rasa bahagia.      

Buru-buru perempuan ini mengeluarkan sebuah kertas memo berlampangkan Phantera Pardus. Anna membutuhkan internal memo semacam ini, cukup masuk akal, sebagai tameng ketika anak-anak Wiryo yang lain mempertanyakan kedatangan Leona. Keduanya bisa membela diri, terkait kedatangan Leona sudah atas persetujuan tetua Wiryo. Lelaki paruh baya yang memiliki kekuasaan tak terhingga.      

***     

Motor masih melaju dengan kecepatan tinggi. Sayangnya hati pengendara sedang berkecamuk  dan secara tidak terduga pemiliknya menepikan kuda besi yang ia tunggangi, "Sial! Haah!!," dia merasa tersiksa seolah membuang manusia di pinggir jalan. Akhirnya motor tersebut mencari tempat berputar dan kembali ke sebuah lokasi dekat lampu merah.      

Perempuan dengan perilaku unik tersebut ialah Kiki, dia dilanda rasa bersalah telah mengusir Thomas dari motornya. Dan perempuan tersebut ujung-ujungnya berniat memungut kembali laki-laki yang kini berdiri kosong di tepian jalan.      

"Naik!" Kiki membangunkan lamunan Thomas.      

"Apa kau sudah memaafkanku?" sang pria masih berusaha supaya dirinya di maafkan.      

"Ya.. ya.. baik.. aku maafkan, sekarang naik!" Thomas tersenyum mendengarkan Kiki menyetujui kalimat maafnya, padahal ungkapan Kiki cenderung random dan asal.     

Thomas pun kembali duduk di belakang Kiki, bersama berputarnya ban kendaraan roda dua kalimat-kalimat curahan hati dituang oleh Kiki, "Aku bukan orang kaya yang punya banyak uang, aku tahu sepertinya kau punya latar belakang yang jauh lebih beruntung. Sayangnya yang saat ini yang menolongmu hanyalah keluarga kelas jelata, tidak punya banyak pemasukkan. Kau harus bisa menanggalkan sebagian keinginanmu jika kau masih ingin bersama kami,"      

Kalimat Kiki menjelma menjadi tamparan di wajah Thomas, "hanya karena mengantarmu berobat, aku yakin pagi ini keluargaku tidak ada yang sarapan, entah mereka bisa masak atau tidak. Bahkan adik-adikku hari ini berangkat sekolah tanpa uang saku, karena mereka hanya mengharapkan uluran dariku, jadi mengertilah sedikit, hidup kami tidak mudah," walaupun kiki tidak melihatnya, pria yang di belakang mengangguk berulang. Meratapi penyesalan.      

"Oh iya, aku tidak punya waktu untuk pulang, mau tidak mau kamu harus ikut kerja bersamaku, semoga managerku tak marah padaku,"      

"Iya," pasrah, itulah yang sedang tunjukkan Thomas.      

"Apa tidak masalah aku ikut kamu kerja?" Tanya Thomas berharap tidak mendapatkan semburan kalimat ganas perempuan yang sedang memboncengnya.      

"Kau bisa duduk di depan minimarket, kalau lelah di belakang ada mess yang bisa kamu gunakan untuk berbaring. Sayangnya kamu harus tahan sampai rumah malam hari. semoga kamu dan lukamu baik-baik saja,"      

Mendengar penjelasan Kiki buru-buru Thomas menyahutnya, "Tidak usah khawatir, aku pasti bisa," lelaki ini hampir menyerah dengan hidupnya selang beberapa menit lalu, ketika pengemudi motor yang kini melaju kencang sempat membuatnya merasa terbuang.      

***     

"Belum makan dari pagi -kan'?" Ibu mertua meletakkan bekal buatannya pada pangkuan Mahendra.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.