Ciuman Pertama Aruna

III-85. Kemelut Keternistaan



III-85. Kemelut Keternistaan

0"Belum makan dari pagi -kan'?" Ibu mertua meletakkan bekal buatannya pada pangkuan Mahendra.      
0

Hendra yang masih setia duduk di depan ruang perawatan Aruna terbangun dari lamunan panjangnya. Dia mengamati paket makanan yang terletak di pangkuannya.      

"Saya belum lapar," pria ini menolak, menggunakan intonasi tersopan yang dia usahakan.      

"Aruna pasti merasa sedih, Kalau tahu suaminya tak bisa makan karena berduka," Indah memandangi wajah yang dihiasi warna mata biru lelah, membuat laki-laki yang jarang mendapatkan perhatian hangat menjadi kikuk sendiri.     

"Saya hanya belum berselera," saking kikuknya suara ini terdengar terbata-bata.      

"Kamu harus memaksa dirimu," Indah berbicara sambil membuka bekal yang ada di pangkuan Mahendra. Membuka penutup bekal dan meletakkan di samping tempat duduknya, ibu istri Mahendra juga melepaskan tisu pembungkus sendok. Hal yang lebih mengejutkan dari perilaku Indah ialah ibu mertua tersebut meraih tangan menantunya, lalu meletakkan sendok pada telapak tangan Mahendra. Menatap mata biru penuh harap supaya sendok berkenan di genggam.      

"Apa aku perlu menyuapimu? Seperti yang dilakukan putriku," perempuan ini mengingat bagaimana si bungsu tangkas menyuapi suaminya, sehingga Mahendra  dengan suka cita menerima perilakunya.      

Mahendra yang canggung hanya bisa tersenyum, pria yang merasa diperlakukan terlalu berlebih ini merasa gugup tak berkesudahan. Getaran gugupnya membuatnya tak punya daya untuk menolak permintaan ibu mertua. Dengan gerakan kaku Hendra menyendok asal bekal makanan di pangkuan dan memasukkannya ke dalam suapan.      

Indah tersenyum melihatnya, entah apa yang terjadi melihat senyum bunda indah yang tulus membuat organ di dada ikut berdegup. Sesungguhnya Mahendra sangat terharu, dia merindukan perilaku semacam ini sejak puluhan tahun lalu. Semenjak tragedi buruk menimpa mommy Gayatri dan dirinya, Mahendra tak pernah berharap akan punya momentum sebaik ini bersama seorang ibu.      

"Anak dan istri akan kuat, kalau lelaki yang memimpin mereka kuat," ujar indah mendorong semangat Mahendra memulihkan tenaganya.      

"Aruna tetaplah perempuan, mungkin dia kekuatanmu, tapi sesungguhnya yang lebih kuat adalah kalian para suami, kalau kalian tumbang bisa dibayangkan seperti apa rapuhnya kami, para istri," kembali indah menoleh menatap menantunya dan tiap kali tatapan Indah tertuju ke arah Mahendra, sang lelaki dewasa yang saat ini seolah menjelma menjadi bocah kecil, tak kuasa untuk merasa biasa saja,  dia mengerjakan matanya. Sambil masih menikmati perasaan berbangga diperhatikan oleh orang tua terutama seorang ibu.      

Kembali lelaki ini terdorong untuk melahap makanan pada kotak bekal buatan bunda indah. kalimat-kalimat  yang terucap dari bibir seorang ibu layaknya mantra yang memiliki daya magis teruntuk putra putrinya. Ditambah raut wajah tulus yang tersaji tersebut mampu menggetarkan hati tiap-tiap anak lelaki.      

"Bunda!" perusak suasana datang, Anantha duduk di sisi sebelah bundanya, Indah terapit antara anak menantu dan anak kandung, "Kenapa kamu terlihat lebih menyayangi dia daripada aku?" Sebenarnya Anantha hanya bercanda, akan tetapi raut muka tak terima Mahendra atas kalimat yang diucapkan Anantha spontan terlihat tanpa sempat dikendalikan pemiliknya. Mahendra memang demikian, dia tak mampu menyembunyikan ekspresi hatinya ketika sudah berada dalam zona nyaman.      

"Aku juga belum makan, bukan cuma belum makan, ingatlah.. anda sejak pagi menyiksa lelaki maskulin ini dengan menyuruhnya ikut masak memasak!" Anantha sejak dulu memang manja pada ibunya akan tetapi ketus terhadap ayah Lesmana.      

"Mau bagaimana lagi," Indah bangkit, Anantha tahu ibunya berniat mengambilkan makan siang untuk anak sulung kesayangan. Di balik kepergian Indah sejujurnya anak lelaki yang lain sedang berduka perhatian Indah di rebut Anantha.      

"Di  rumah minim tenaga, selain anakku yang ototnya kekar," kalimat berikut adalah ucapan Indah menyanjung Anantha. Anak laki-laki yang berkenan membantu menyiapkan banyak bekal kotak makan sebab di rumah ayah Lesmana hanya ada mbak Linda, asisten rumah tangga yang kesulitan berbagi peran antara membantu bunda serta mendampingi  Alia menjaga Baby Alan.     

"Kenapa kau melihatku?" ejek Anantha setelah tahu dirinya diamati Mahendra.      

"Tidak! Aku hanya tidak habis pikir, lelaki sepertimu ternyata seorang 'anak Mama' di rumah," 'anak mama' tergolong sarkas bagi kumpulan 'anak manja'.      

"Ya.. yang penting aku tidak merugikanmu," sikatan Anantha.      

Sebenarnya Mahendra hanya sedang iri, mulutnya mecucu, mata biru masih belum ikhlas Anantha merusak kedekatan yang baru ia bangun dengan ibu mertua.      

Seorang ibu yang dulu cenderung mengkhawatirkan keberadaannya, meliriknya dengan tatapan asing, takut kalau-kalau menantu yang punya latar belakang memukau dalam sudut pandang orang lain akan tapi merisaukan secara nyata, sebab diduga mampu berbuat buruk pada putrinya.     

"Aku tidak merasa rugi, Sayangnya aku malah merasa kasihan," ucap Hendra sejalan dengan gerakan melahap makanan.      

"Pada bunda?" Pria yang berbicara sempat melirik Mahendra.     

"Bukan pada bunda, tapi padamu!" Lirikan itu disambut tatapan menghina, ditambah racikan bumbu berupa senyum menyebalkan.      

"Apa kau bilang?? Buat apa kasihan pada ku?.. Hais'," Anantha bergerak mendekat dia menggeser duduknya lebih rapat pada Mahendra, tujuannya sederhana untuk menakuti-nakuti adik iparnya. ini sungguh konyol terlebih keduanya sudah dewasa.      

"Tentu saja aku kasihan pada bujang lapuk yang hanya bisa manja pada ibunya, hahaha," Lelaki bermata biru tertawa riang bisa menghina Anantha, dia baru sadar mengapa Aliana begitu suka menghina kakaknya sendiri, ternyata seseru ini bisa memaki seorang kakak.     

"Beraninya kau mengataiku bujang lapuk," Anantha meneriakkan kalimat berikut sambil meraih kepala mahendra dan mengapitnya di ketiak. Kakak istrinya bahkan sempat menjitak kepala. Mahendra paling anti ketika kepalanya yang berharga disentuh sembarangan, terlebih kena pukul segala.      

"Kau belum pernah merasakan dibelai perempuan -kan? duh! memprihatinkan," ejek mahendra setelah berhasil terlepas.      

"Minimal aku bukan pria berpenyakit aneh sepertimu," Anantha malah berdiri dan kembali meraih kepala adiknya yang sedang duduk santai. Sayangnya  kalimat adik ipar tak santai sama sekali.  mulutnya tajam luar biasa di kala menghina.      

"Tak masalah berpenyakit aneh," tangan bule jawa england ini tidak mau berhenti, ia mendorong tubuh Anantha yang berhasrat menyerangnya, "setidaknya aku tahu nikmatnya bercinta, Hahaha," ledakan tawa Mahendra kian keterlaluan, masih sambil mengupayakan terbebas dari keinginan Anantha yang berharap bisa memberi hukuman kepada adik iparnya. Tanpa sengaja kotak makan di tangan kanan Mahendra tumpah sebab dorongan sang kakak.      

"Kau membuat bekal bunda tumpah!" Hendra terkejut, serta merta terserang rasa bersalah. keadaan itu di manfaatkan Anantha untuk memukul mata biru sekali lagi, sang kakak berpuas diri.       

Hal tersebut mendorong perkelahian berikutnya, sudah mirip anak kecil yang sedang bergulat karena berebut mainan, mereka saling menyerang dan menghina satu sama lain.      

"Oh, Tuhan.. kalian apa-apaan," Indah menyajikan sepasang mata melotot, tak kuasa melihat kelakuan dua anaknya yang bukan lagi kanak-kanak tetapi main dorong-dorongan mirip bocah.      

"Bunda, dia menghinaku bujang lapuk," yang lebih tua malah mengadu. Ingin rasanya Hendra membela diri tapi apa daya dia masih canggung terhadap ibu mertua.     

"Itu statusmu, tak usah merasa tersinggung, realita memang pahit," Indah bicara apa adanya.      

"Apa??" Anantha tak percaya bunda tidak membelanya.      

Inginnya hendra tidak tertawa apa daya perutnya tak tahan, "Hiks! hiks.. haha.. hahaha," tawanya pecah, dia sungguh tak tahan melihat wajah ternista Anantha.      

Di tengah kemelut keternistaannya Anantha melihat perempuan yang menjelma bidadari penyelamat datang, "Dia.. dia pacarku," ungkap pria yang terlampau capek dibully keluarganya.      

"kak Anantha aku kesini cuma mau mengantarkan laptop sesuai permintaanmu," nabila, si inferior membeku ketika tangan lelaki yang menyuruhnya datang tiba-tiba menjulur ke arahnya dan berbicara di luar kebiasaan.      

"tapi kau menyukaiku kan?" Anantha memaksakan kehendak.      

"em.. enggak juga.." jawab polos Nabila.      

Dan Hendra tambah parah, dia cekikikan menistakan Anantha bahkan Indah tak bisa menahan diri ikut-ikutan.     

Melihat wajah malu Anantha. sang bunda melangkah mendekati Nabila.      

"ya sudah, tak apa, emang belum jodoh, jangan dengarkan anak-anakku," Indah menerima tas laptop dari Nabila.      

"Tapi.. tapi.. kamu mengekor ku dan menuruti semua mauku tiap saat," Anantha masih memaksakan kehendak. ingin diakui sebab malu dengan Mahendra dan bunda Indah.      

"Aku begitu karena di minta bu Alia," Jawaban gadis ini masih saja polos. perut Hendra sudah tak kuat lagi untuk tertawa, terlebih seorang suster menemuinya.      

Anantha yang tidak terima dengan pernyataan Nabila berjalan gusar ke arah gadis tersebut, nabila begitu ketakutan ketika tangannya di serobot Anantha dan di tarik sembarangan, dia di minta mengikuti langkah gesit lelaki yang ingin segera menyingkir sejauh mungkin dari ibu dan adiknya.      

.     

"Tuan, istri anda sudah bangun," bangun untuk kedua kalinya, setelah beristirahat, "anda ingin melihatnya?" kalimat tanya dari suster malah di sambut Indah.      

"Em.. seandainya kali ini aku yang menjenguk putriku? bagaimana?" Indah memasang wajah penuh harap kepada Mahendra.      

Lelaki bermata biru di landa dilema, bukan sekedar tidak mau memberi kesempatan bunda Indah melihat Aruna. Hendra di terpa perasaan khawatir, dia merasa dirinya seolah akan terlegitimasi sebagai menantu paling buruk di keluarga Lesmana. seandainya salah satu dari keluarga istrinya melihat seberapa parah keadaan yang menimpa Aruna, si bungsu yang menjadi adik sekaligus anak kesayangan terbaring penuh luka sebab ketidak mampuan mata biru menjaganya.     

hendra tak bisa dan tak akan pernah ....      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.