Ciuman Pertama Aruna

III-86. Modifikasi Persepsi



III-86. Modifikasi Persepsi

0Hendra tak bisa dan tak akan pernah bisa memberikan kesempatan kepada bunda Indah.     
0

Lelaki ini mundur beberapa langkah. Kemudian ia menundukkan wajahnya tepat di hadapan sang bunda. Sebuah bentuk permintaan maaf secara tersirat ia suguhkan sepenuh hati. Andai ada orang lain melihat Hendra dalam keadaan seperti ini. Hampir mustahil orang percaya bahwa itu ialah Mahendra. CEO DM grup yang memiliki label manusia tanpa ekspresi ramah.     

Hendra tidak mengucapkan sepatah kata, kadang komunikasi tidak harus dalam bentuk kata. Sentuhan, mimik wajah, dan ekspresi penyesalan bisa tertangkap lawan bicara secara sempurna walaupun tidak ada suara yang terbentuk dari gerak daging tak bertulang (lidah).     

"Ya.." suara Indah Lamat dan lambat, "silakan masuk, tak apa bunda lain kali saja,"     

Mendengar kalimat yang diterbitkan ibu istrinya, Mahendra bergerak spontan meraih kedua tangan indah. Dia berterima kasih. Lalu masuk ke dalam ruang tempat istrinya mendapatkan perawatan.     

.     

Tanpa disadari dua orang yang saling berkomunikasi, menerbitkan rasa iri pada hati perempuan yang baru datang. Gayatri baru datang bersama dengan Oma Sukma, Jangan ditanya mereka membawa apa. Susi dan beberapa pelayan rumah induk mengiringi langkah mereka.     

Melihat kedatangan besan, Indah buru-buru menyapa dengan ramah. Dua keluarga yang jarang bertemu antar perempuannya, merasa asing satu sama lain. Terlebih Gayatri mengamati Indah dengan pandangan mata sedikit jeli. Indah bisa berinteraksi dengan putranya. Lelaki bermata biru yang sulit di ajak bicara, malah memegangi tangannya sambil tersenyum pula.     

"sepertinya Anda akrab dengan Mahendra," Indah sejujurnya bingung, kalimat Gayatri tergolong pertanyaan atau pernyataan. Karena bingung, indah memilih tersenyum dan menyanjung.     

"Mahendra tulus dan bersemangat, tentu saja kami menjadi akrab," ada dada perempuan yang berdetak kencang. Iri setengah mati, mommy-nya sendiri tidak pernah dia ajak bicara. Lebih tepatnya Mahendra dan Gayatri bahkan tidak pernah saling menatap mata satu sama lain kecuali tanpa sengaja. Monolog Indah membuat ibu kandung Mahendra terluka. Iya meminta izin undur diri sebentar mungkin mencari udara segar.     

.     

.     

"Hendra.." betapa bahagianya, Aruna memanggilnya dengan nama lengkap. Dan lebih terdengar jelas dari pada sebelumnya. Ketika tangan pria ini menyentuh jemari tangan kiri berinfus, jemari lain milik istrinya mendekap mengusap punggung tangan.     

"Kau tak ingin melihatku?"     

"Entah lah," Hanya itu yang ada dikepala Mahendra.     

Lalu keduanya pun terdiam. Sejujurnya Aruna sedang mengamati suaminya. Pening di kepalanya lebih reda sehingga Aruna lebih bisa berkomunikasi dari pada pertemuan pertamanya. Walaupun pipi kanannya kadang terasa nyeri ketika terlalu banyak bicara.     

"Sayang aku mau makan, rasanya lapar sekali," Mahendra mulai kebingungan mendengar permintaan istrinya.     

Dan sang suster yang bertugas membantu keduanya mendekat, "anda ingin makan buburnya nona?" tanya suster.     

"Bubur rumah sakit tidak enak, Apakah aku boleh minta yang lain?"     

Suster belum menjawab, Mahendra keburu bersuara, "akan aku siapkan apa pun yang kamu inginkan,"     

"lebih baik, mengonsumsi apa yang kami siapkan, nutrisinya sudah sesuai dengan kebutuhan," suster tersebut mengabaikan permintaan pasien VVIP-nya. Mereka mempertahankan prosedural yang harus dijalankan seorang suster, meraih bubur kemudian meletakkannya di tangan lelaki dengan penutup mata.     

Setelah menyerahkannya suster ini bingung sendiri, tidak mungkin tuan muda menyuapi pasien di hadapannya. Sayangnya sang pasien cenderung keras kepala.     

"Apakah aku boleh duduk?" pinta Aruna, "tidak mungkin aku makan sambil tidur kan," Aruna menatap 2 suster yang ada di dalam ruang yang sama.     

Sebenarnya dia bahkan di larang banyak bergerak, tapi perempuan ini bersikukuh. Mengatakan dirinya baik-baik saja. Mengeluh kepada para suster agar mengizinkan suaminya masuk.     

Setelah melewati rasa sakit di punggung sambil terbungkam sempurna supaya tidak diketahui suaminya, ia berhasil duduk. Perempuan tersebut meminta Mahendra lebih dekat dengan duduk di samping ranjangnya.     

"aku tidak bisa mengarahkan sendok dengan benar," sejujurnya lelaki sedang mengeluh, dia yang diminta menyuapi di rundung duka karena tak bisa melihat istrinya.     

"tak apa, anggap saja ini seperti permainan game, nanti kalau aku bilang ke kiri tanganmu ke kiri kalau bilang kanan tanganmu ke kanan," tepat sesuai dugaan, bahkan dua suster yang sedang berjaga ikut memerah mengamati sepasang suami istri sedang berjuang dengan caranya masing-masing tapi masih bisa tertawa.     

"We are the Champions," kata Aruna setelah mendapati mangkoknya tak bersisa.     

Bukannya bahagia Hendra kembali menunjukkan ekspresi sedih. Seiring mangkok itu dirapikan para suster.     

"Hen.."     

"Hem.." gumaman ini simbol lelaki yang dadanya menahan duka.     

"Aku pernah dengar perasaan terluka, sedih, kecewa, tidak bahagia, semua itu hanya ada di pikiran kita," ini suara Aruna.     

"pikiran berasal dari kata 'aql' yang maknanya memahami sesuatu. Aku hanya sedang memahami sesuatu yang terjadi di seputar kehidupanku; kesedihan, duka mendalam, kecewa terhadap diri sendiri, buah dari caraku mempresentasikan keadaan di lingkungan sekitar," Mahendra menyangkal persepsi Aruna. Dia menggunakan esensi manusia dengan akal pikirannya.     

"harusnya kamu tahu, pengendali akal dan pikiran tersebut siapa?" Aruna menanggapi pernyataan Mahendra.     

"Kita sendiri -bukan," dia mempertegas pertanyaannya.     

"jadi kita berhak memodifikasi persepsi kita terhadap keadaan, memodifikasi ketidak beruntungan sebagai rasa syukur, maupun sebaliknya," Aruna bersih kukuh terhadap sudut pandangnya.     

"sepertinya sakit membuatmu kian pintar," Mahendra menggoda istrinya.     

"Dan rasa khawatir yang berlebih, membuatmu kehilangan sebagian isi otakmu yang cemerlang itu," hinaan Aruna membuat mata biru menerbitkan lesung pipi mahalnya.     

.     

Satu menit yang lalu perempuan ini mengirimkan isyarat berupa permintaan supaya kedua suster mundur sejenak dari ruangan. Ternyata perempuan yang tengah mengamati lelaki dengan penutup mata perlahan menarik baju sang pria, mata biru pun mendekat.     

Dan teramat terkejut, tatkala istrinya memberi kecupan pada bibir, "jangan terlalu lama bersedih, aku dan baby akan ikut sedih kalau Daddy sedih," Hendra spontan memeluk istrinya, betapa takutnya dia pelukan tersebut berakhir jeritan.     

Hingga para suster berlari secepat-cepatnya, Hendra di minta keluar secara paksa.     

"Hen.. aku nggak papa, jangan panik ya.. aku nggak papa," dia yang di baringkan miring oleh tenaga medis, berulang kali mengusahakan suaranya terdengar Mata biru, Aruna mencoba memberi ungkapan penenang supaya pengidap PTSD tersebut tidak panik.     

***     

"Kiki, itu beneran saudaramu?" teman sesama penjaga minimarket bergantian mendekati Kiki, terutama yang berstatus perempuan single.     

"Sumpah, tampan banget, mirip Abhishek Bachchan," salah seorang bercelatuk.     

"Ah' nggak mirip sama sekali Abhishek terlalu tua," yang lain tidak terima.     

"ini mah Ranbir Kapoor," satunya menemukan nama lain.     

"Siapa lagi itu?" kalimat datar ini yang mewarnai ucapan Kiki, perempuan yang bahkan tidak sempat menikmati hidup dengan menonton televisi maupun tontonan online.     

"John Abraham lebih cocok, atau Arjun Rampal masa muda, ciaaa," kumpulan perempuan bergosip ini cekikikan sendiri.     

"Kalian aneh," Kiki malah memaki temannya. Dia bergegas kembali ke meja kasir, risi melihat teman-temannya mencuri-curi lihat Thomas yang sedang duduk pada kursi meja santai di depan market.     

"Tampan apanya?! Menyusahkan iya!" gerutu gadis tersebut, ikut-ikutan mengamati gerak-gerik Thomas. Merasa teramati Thomas menoleh, membalas curi lihat Kiki dan malah tersenyum menyapa. Sekali lagi bukan Kiki kalau dia tidak menyengir di tatap Thomas.     

Padahal, Thomas sedang dilanda bosan luar biasa. Ia sudah duduk di tempat yang sama selama 3 jam. Tidak ngapa-ngapain sama sekali. si bosan sudah tidak kuat lagi, berdiri dan memasang wajah penuh harap sambil mendekati wanita galak di meja kasir.     

"Apakah aku bisa membantu, atau melakukan apa saja,"     

"kenapa? Mau terlihat baik?" ketus perempuan sambil melayani pengunjung.     

"Aku sudah bosan duduk di sana," mendengar pengakuan Thomas, Kiki mengeluarkan handphonenya.     

"Tak perlu membantu, main ini saja, daripada nanti teman-temanku makin terganggu oleh wajahmu," monolog Kiki membingungkan pendengarnya.     

"memangnya wajahku kenapa?" Thomas bahkan tidak sadar. Kembali wajah jengah Kiki tersaji.     

"Ikut aku sekarang!" Kiki keluar dari meja kasirnya, meminta Thomas berjalan mengikuti langkahnya, "tidur saja di mess, sambil memainkan handphoneku supaya nggak bosan," Kiki berupaya menyembunyikan pria yang menurut teman-temannya terlalu tampan. Dia diminta tersembunyi ada kamar milik tempat kerjanya.     

"Nanti aku antar makanannya," ujar perempuan tersebut sebelum pergi. Dan Thomas mengangguk.     

"kita pulang kapan?"     

"sesuai jam kerjaku,"     

"Berarti kita pulang malam dong, lalu adik-adik dan bapakmu makan apa?"     

"mau bagaimana lagi," Kiki mengangkat bahunya, "anggap saja mereka sudah punya ide sendiri," sedikit memprihatinkan, anehnya perempuan tersebut datar-datar saja. Tampaknya hal-hal demikian sudah sering ia hadapi.     

.     

[Ki, hutangmu belum kamu bayar. kalau bulan ini tidak bisa bayar lagi, kucabut motormu] Thomas menghentikan permainan mobile legends.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.