Ciuman Pertama Aruna

III-90. Kegagalan Ku



III-90. Kegagalan Ku

0"Mampir pom bensin dulu deh, kalau gitu," ketika motor tersebut menuju pom bensin dan berjajar mengantre, Thomas turun dari duduknya.     
0

_Sebentar.. sebentar.. aku bisa manfaatkan itu_ dengan menggunakan alat bantu lelaki rambut sebahu berjalan tertatih-tatih. Di bawah langit malam yang kian menggelap dia menyelinap, salah satu ruko pada deretan pom bensin menyajikan bengkel tidak terjaga. Thomas memanfaatkan kostum yang diabaikan pemiliknya. Dan sekotak peralatan bengkel sederhana.     

Di sisi lain Kiki mulai khawatir dia tidak menemukan pria yang mengekornya sejak semalam. Bukan cuma tidak menemukan, Kiki malah di datangi petugas bengkel aneh yang cara berjalannya mirip Thomas, menggunakan alat bantu. Ketika Kiki memanggilnya Thomas, pria yang berjalan mendekat tersebut malah terdiam. Wajahnya tersembunyi di balik topi berwarna putih khas petugas Authorized Service Station.     

Kiki menggeser kakinya mundur, perlahan dan mulai ketakutan. Ini malam hari, dengan langit gelap, pada tepian pom bensin gadis itu tersudut. Dan saat dia memilih membuat gerakan yang lebih jelas. Tangan manusia asing menariknya "WAA," Thomas menakutinya lalu tertawa keras. Si rambut sebahu puas melihat raut muka takut Kiki yang lucu itu.     

Di sisi lain gadis galak tersebut tak hentinya memukuli lengan Thomas, "Aaargh! Beraninya kau!" katanya di sela gerakan memukul yang tidak ada habisnya.     

"Sudah hentikan, hentikan!" pria yang jalannya tak Sempurna, untuk pertama kalinya berani menyentuh tangan Kiki, walau kenyataannya itu adalah menangkap pukulan.     

"Sebenarnya aku tahu itu kamu," kata gadis yang mulai membalik arah motornya di bantu Thomas dari belakang, sebuah bantuan yang hanya berupa sentuhan di jok belakang. namun cukup mewakili sebagai lelaki, dari pada hanya berdiam diri, "tapi aku tidak mengerti bagaimana rambutmu bisa menghilang," dan Thomas melepas topinya.     

"Tuh rambutku,"     

"Ternyata kamu sembunyikan," Thomas menyisipkannya di dalam topi, hal sederhana yang membuat gadis itu tertawa, tawa pertama yang baru terlihat semenjak keduanya bertemu. Ternyata mampu membuat seorang pemuda bangga, pemuda yang baru paham tidak semua penghuni bumi di beri kesempatan yang sama, untuk sekedar menarik bibirnya lalu mengeluarkan suara lepas.     

"Kenapa kamu memakai baju seperti itu,"     

"lihat saja nanti,"     

"Dari mana kamu dapat itu?"     

"Aku mencurinya,"     

"sungguh??"     

"Tak mungkin aku membeli, -kan.." Maksud kalimat Thomas tak ada uang.     

"Jadi kamu benar-benar mencurinya?"     

"Iya,"     

"kau itu!" hampir saja motor yang di kendalikan Kiki terhenti.     

"Sudah terlanjur, kamu mau apa? Mau mengembalikannya," tanya Thomas dan motor mereka kembali melaju, melesat kian cepat.     

"Walau aku kurang uang, aku tidak pernah mengambil milik orang, termasuk adik-adikku, akan kuberi mereka hukuman berat kalau mereka ketahuan mencuri!" si perempuan menyulam kalimat-kalimat petuah.     

"Aku bukan adikmu, kalau kamu ingin bicara tentang dosa, akan kutanggung sendiri dosanya,"     

"Cih! Orang aneh,"     

Thomas senyum mendengarkan ucapan terakhir, sebelum gadis itu memilih berkonsentrasi pada kecepatan motornya.     

***     

Ruangan Mahendra, menyajikan laki-laki yang sedang memegangi kepala.     

"mengapa kau menyuruhku menandatangani hal-hal semacam ini," gerutu Surya meletakkan pulpen dari tangannya.     

"Supaya kamu berlatih," Hendra duduk di dekat lelaki yang kini bersandar pada sofa putih.     

"berlatih?" dua alis yang hampir menyatu.     

"Aku tidak punya banyak waktu, mana yang tak bisa kau putuskan!" ujaran mata biru mendorong rekannya menumpuk tiga berkas di depannya sekaligus.     

"Menurut prediksimu, pengajuan DM construction-," Hendra membuka lembaran hardcopy yang baru saja diserahkan Surya, "-perlu kita ACC atau enggak?" Mahendra menebak raut muka Surya.     

"Sejujurnya aku setuju, tapi aku mulai memikirkan kemampuan DM construction menghandle semua pengajuan kerja sama yang datang kpada mereka," Surya sedang membicarakan peningkatan mencengangkan dari anak perusahaan Joyo Makmur Group. DM construction mengalami eksponensial pada trend penjualan di kuartal ketiga tahun ini.     

Terutama semenjak disahkannya Dream city, salah anak perusahaan Djoyo Makmur group tersebut jadi bintang dalam bisnis serupa. Bahkan majalah bisnis dalam negeri menyebutkan; keberhasilan DM construction menyelesaikan Dream city mendorong tren baru dunia konstruksi dan arsitektur dalam negeri, mengingat mereka benar-benar memperhatikan SDGs, sebuah kesempatan dunia yang tak banyak perusahaan dalam negeri serupa mau mempersulit dirinya dengan mewujudkan kesepakatan tersebut.     

Dreame city menjadi daya tarik tersendiri sampai-sampai penawaran kerja sama sudah merambah ke negara tetangga.     

"Kamu benar sekali, tapi aku tidak akan melepaskan kesempatan ini, kita bisa menambah jumlah tenaga ahli yang dibutuhkan DM construction, tapi untuk penawaran yang kedua, Aku menolaknya," Mahendra membuka hard file lain lalu disejajarkan di hadapan Surya.     

"mengapa yang berkas pertama kamu terima yang kedua kamu tolak?" Surya terlihat membenarkan kacamata yang hanya dia kenakan ketika sedang bekerja.     

"bukan karena berkas pertama berasal dari negara tetangga, tapi karena penawaran kedua pihak DM construction belum menjalankan verifikasi. Kita harus menghindari hal-hal yang membuat perusahaan ini bisa menanggung dilema. Sebelum menerima tawaran dari seorang kepala daerah, verifikasi terkait track record mereka pada masa kepemimpinan perlu kita telusuri. Apakah pemimpin daerah di wilayah tersebut tergolong pemimpin yang bersih, kuyakin kamu mengerti maksudku," Surya terlihat mengangguk berulang. Ia mulai paham detail pikiran Mahendra.     

Dalam diskusi hangat mendalami transfer sudut pandang Mahendra kepada Surya, Herry mengusung ekspresi bahagianya. Tanpa sempat permisi merusak komunikasi, "Tuan, saya baru dapat kabar baik, nona dipindahkan ke kamar perawatan umum,"     

"Oh? Benarkah?" mata biru membulat, pupil matanya membesar. Perempuan terpenting dalam hidupnya tidak lagi di ruang ICU.     

Suami Aruna terlihat mulai merapikan baju yang dia kenakan, hal ini semacam kebiasaan spontan dengan makna Mahendra akan meninggalkan tempat duduknya.     

"Tunggu dulu, Hen.." Surya mengangkat satu hard file yang belum diperiksa Mahendra.     

"sorry, kau tahu aku sekarang sedang bahagia, Jangan hentikan kebahagiaanku," maksud Hendra, dia ingin segera menemui istrinya.     

"Sebentar, sebentar, Aku mau mengkonfirmasi satu agenda," Mahendra disodorkan konsep pesta tiga tahunan Djoyo Makmur Group, pria itu terdiam sejenak.     

"Undur sampai istriku sehat, Aku ingin mengumumkan sesuatu di acara ini,"     

"Baik," anggukan Surya menghasilkan langkah pergi Mahendra.     

"Hen.. jangan lupa memikirkan nasib honeymoon pengantin baru yang Ingin menyusul punya bayi," Surya kembali berucap membuat lelaki bermata biru menoleh sejenak.     

"tenang saja, Aku punya rencana spesial untuk kalian," ujarnya melangkah pergi meninggalkan ruangan.     

"aku hanya bercanda, semoga istrimu lekas sembuh," tambah Surya sebelum Mahendra benar-benar menghilang.     

***     

Di depan ruang perawatan umum, kelas VVIP dua orang perempuan terlihat gelisah. ibu Gayatri menenangkan Oma Sukma yang Tampaknya sedang memicingkan mata pada dua ajudan penjaga pintu Putri Lesmana.     

"Huh! Apa kalian tidak tahu aku ini siapa?!" lagi-lagi kalimat yang sama di ujarkan Oma Sukma.     

"Maaf nyonya.. Saya hanya menjalankan perintah tuan muda," Rolland dilanda kegelisahan, begitu juga Alvin.     

"bisa-bisanya Hendra tidak mengizinkan kita masuk, padahal cuma ingin lihat Aruna!" sekali lagi celoteh istri Wiryo tak bisa dikendalikan.     

Dia uring-uringan, sudah cukup lama dua orang bodyguard bertahan menghadapi betapa cerewetnya nyonya besar keluarga Djoyodiningrat.     

"keterlaluan!!"     

"sudahlah Oma kita pulang saja," Gayatri terlihat lebih damai.     

"Susi telepon Mahendra!" mata tajam Sukma menatap pengawal perempuan.     

"tak perlu," suara yang tidak asing masuk ke telinga dua kubu yang saling berselisih. Alasan dari timbulnya keonaran telah datang.     

"Kenapa kau seperti ini?!" ekspresi jengkel oma Sukma tak tertahan lagi.     

"Susi, bujuk nyonyamu supaya mau pulang," Hendra mengarahkan tubuhnya pada Susi, tidak memedulikan protesnya Sukma.     

"kau sangat keterlaluan, Aku hanya ingin melihat Aruna," mata Sukma merah karena marah dan terluka atas keputusan Mahendra, "Apa kau tahu? Karena para bodyguardmu mertuamu pulang dengan wajah sedih,"     

Hendra mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya, sama sekali tidak mendengarkan rentetan kalimat kemarahan neneknya.     

Karena terlalu diabaikan, Sukma menarik lengannya. Lengan sang cucu, "Aku bersih keras menunggumu sampai kau datang karena aku amat menyayangi istrimu, Aku ingin melihat Aruna sekali saja sebelum pulang," bujuk rayu Sukma.     

Mahendra yang ditarik lengan bajunya mulai gusar, "Apa Anda tidak lihat! Aku bahkan tidak bisa melihatnya," suara ini terbit dengan nafas naik turun menahan amarah, "Tubuh Aruna mendapat banyak luka. Anda puas mendengar ini," nafas itu ditekan supaya terdengar netral, "Aku memang egois," Sukma ditatap nanar cucunya, "tidak ada satu pun yang boleh melihat kegagalanku,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.