Ciuman Pertama Aruna

III-91. Little Lady



III-91. Little Lady

0Dia sudah datang, senyum itu terbit seiring kedatangan seseorang. Seseorang yang di tunggu sejak tadi, sejak dipindahkan ke ruangan ini. Aruna hanya menata pintu celah kaca, kaca kecil transparan menyajikan perdebatan. Perempuan tersembunyi di dalam tidak menuntut apalagi membuat permintaan. Aruna hanya bertanya pada suster yang menjaganya.      
0

"Kenapa di luar sana oma kami terlihat sedang marah," dan suster yang di tanya Aruna menjawabnya dengan suara nada resahnya.      

"Suami Anda melarang siapa pun menjenguk anda, termasuk melihat Anda," perempuan ini tak lagi bertanya. Dia hanya mengamati pintu sambil menunggu dan berharap mata biru segera datang.      

"Anda tidak ingin bertanya pada suami Anda nona," suster menyuarakan kalimat implisit, tapi Aruna memilih diam, "mengapa beliau membuat peraturan seperti itu?" tampaknya suster yang bertugas menjaga Aruna merasa tersiksa melihat siluet kegaduhan yang tertangkap dari luar ruangan, "kalau ingin membujuknya, saya bisa meminjamkan handphone untuk Anda," tawar sang suster, perempuan yang tidur dengan posisi miring ke sisi kiri tersebut hanya tersenyum. Kepalanya tergeletak di atas bantal warna putih dan matanya enggan berkedip mengamati hendel pintu. Dia menunggu.      

.      

"Hendra.." panggilnya menyapa pria yang masih belum berani melihatnya.      

Suster mempertemukan tangan mereka dan membantu perempuan dengan mata berbinar tersebut duduk.      

"Aku ingin berdua saja," bisik Aruna mengusir petugas kesehatan.      

Setelah punggung suster tidak terlihat lagi. Perempuan yang duduk di atas ranjang perawatan membuat gerakan meletakkan kakinya di celah lelaki yang duduk pada kursi di hadapannya. Hendra terlihat merenggangkan tangan, dia enggan membuat pelukan. Pelukan terakhirnya menimbulkan teriakan menggelisahkan.      

"Apa kamu tidak merindukanku," perempuan itu memanfaatkan tangan kanannya yang lolos dari penyerangan, menyentuh wajah pria dengan penutup mata, tangan yang terlihat mungil di wajah suaminya turun ke pipi sesaat berikutnya menuju dagu, "sudah berapa hari rambut halus ini kamu izinkan tumbuh di dagu?" bukannya menjawab sang pria malah menangkap tangan mungil yang membelai dagunya, tangan itu mendapat kecupan.      

"Mana mungkin aku tidak merindukan little lady," ungkapan mata biru menerbitkan wajah merah padam pada perempuan. Sayang dia tidak bisa melihat hal itu. Dia juga tidak berani banyak bergerak.      

Namun hal tersebut tidak berlaku pada perempuan membawa sinar matahari pagi di setiap tindakannya, Aruna menarik dagu lelakinya, mata biru pasrah menengadah dan kecupan kecil mendarat di bibirnya.      

"Hanya begitu?" protes Mahendra. Perempuannya malah tertawa.      

"boleh kubuka penutup matamu?" sayangnya Hendra menggeleng.      

"Ayolah, akan kuberikan yang kamu inginkan," lawan bicara Aruna terlihat berpikir dan anehnya kembali meraih telapak tangan untuk di kecup.      

"maaf," kata Hendra lirih hampir tak terdengar.      

"Aku sudah bisa duduk dengan baik, sudah bisa bicara dengan lancar, apa yang kau takutkan," Aruna merasa tidak menemukan alasan apa pun yang membuat mata biru tidak bisa menatapnya.      

"Aku memang pecundang," katanya dengan tangan perlahan mengerut membuat kepalan, Aruna menundukkan wajahnya, perempuan ini di landa gelisah mendalam.      

Detik berikutnya matanya ikut terpejam, mendekati keberadaan suaminya, dia memainkan sesuatu yang sangat di sukai lelaki ini. Menautkan bibirnya, mulai menyusup dan bermain di dalam.      

Di balik cara nakal perempuan membangkitkan lelakinya tangan kanan itu menjamah rambut kecokelatan. Dia menarik perlahan sapu tangan sehingga mata mereka bertemu.      

"Ah'," suara terkejut, kemudian terpejam, masih sambil menikmati.      

"keadaanku tak semenakutkan yang kamu bayangkan," kata perempuan setelah melepas tautan bibirnya. Aruna menarik tangan kanan Hendra agar merasakan wajahnya. Mendorong sang pria supaya berkenan menatap dirinya.      

Tatkala mata biru perlahan membuka, betapa bahagianya Aruna. Perempuan ini meneteskan air mata. Sayang sekali Mahendra terdiam bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk istrinya.      

"Kesedihan, rasa kecewa bahkan penyesalan hanya ada di kepala, apa kamu lupa, kamu pernah mengatakannya padaku?" Aruna memintanya bersuara minimal mengomentari tidakkannya, kalau perlu memarahinya.      

Akhirnya lelaki yang terlihat tidak mau bersuara tersebut memilih menyentuh rambut Aruna, dia mengusap berulang rambut yang tidak lagi panjang. Dua mata anak manusia saling menatap.      

Pipi kanan membiru dan pelipis masih bengkak dia yang di landa gelisah berdiri dari duduknya memeluk kepala perempuannya, "Beritahu aku bagaimana supaya aku bisa membayar kegagalanku, menjagamu," Aruna membalas pelukan yang menyajikan perut lelaki dengan mendekapnya menggunakan lengan kanan.      

"Malam ini Tidurlah di ranjang ini bersama kami, ada yang merindukan daddynya," kalimat jawaban putri Lesmana konsisten mengejutkan.      

.      

.      

"Hen.. Menurutmu siapa yang menyerangku," maksud Aruna apakah orang-orangmu sudah menemukan pelakunya.      

"Tidurlah sayang, jangan khawatir, aku pasti meringkus mereka di mana pun mereka berada," Hendra yang sudah memejamkan mata kembali menyalakan mata birunya. Mengusap wajah lebam perempuan yang selalu membuat jantungnya berdetak tiap kali menangkap wajahnya.      

"Bagaimana dengan sekretaris Nana?" Sembari mengumpulkan ingatan samar-samarnya Aruna mencoba menerka perempuan di kegelapan.      

Mahendra melirik jam dinding, menuju pukul 12 malam, "bukan saatnya membicarakan hal ini," dia mendekat meraih wajah, menciumi mata perempuannya.      

"Aku hanya merasa dia-"      

"Jangan buat dirimu mengigau tengah malam," mata biru memenggal kalimat Aruna.      

"Tidak.. Aku yakin perempuan itu.. mungkin dia," Aruna meringik, tak terima dengan balasan Mahendra.      

"Kau sedang cemburu seperti sebelum-sebelumnya?" Cucu Wiryo malah bertanya.      

"Hendra! Bukan be-"      

"Nana bekerja denganku, kami meeting di ruangan yang sama sebelum aku berlari mencarimu," Jelas Mahendra. Aruna sedang mengigau di malam hari, lelaki itu mengusap kembali rambut dengan potongan berantakan.      

Mata coklat itu menutup, dia tak lagi bersuara.      

***      

"Ini apartemenmu?" kata tanya basa-basi tidak perlu di jawab, sebab jawabannya amat sangat jelas.      

"Kak Anantha mau masuk?" tawar Nabila setalah beres memutar handel pintu.      

"Apa seorang pacar wajarnya mampir dan masuk apartemen ceweknya ketika usai mengantar pulang?" pertanyaan yang terlampau aneh.      

"Entah -lah," gadis itu mengangkat bahunya.      

"kamu belum pernah pacaran?" Anantha bergerak selangkah lebih dekat. Pria yang menganggap hubungan semacam itu sekedar buang-buang waktu sedang dalam mode penasaran.      

"Pernah," jawaban dengan ekspresi jujur.      

"Oh'," yang bertanya sedang kecewa.      

_Harusnya bilang belum pernah saja, sedikit berbohong mungkin akan lebih menyenangkan_ Anantha berharap Nabila sama payahnya dengan dirinya dalam urusan percintaan. Ternyata gadis di hadapannya sudah pernah menjalani hubungan pacar memacari. Ini sesuatu yang berbahaya. Nabila si polos itu ternyata lebih ekspert darinya.      

Kesimpulan macam apa ini? Yang pasti gerak gerik lelaki yang tidak muda lagi terkesan berhati-hati. Masuk ke apartemen perempuan seperti akan masuk rumah hantu. Berjalan lambat penuh pengamatan.      

"Kak Anantha mau minum apa?" tanya Nabila santai.      

"Menurutmu lelaki keren minum apa?" lagi-lagi pertanyaan Anantha di luar kewajaran.      

"Kopi low sugar, -mungkin," Nabila berbicara asal saja, dia sekedar mengingat secangkir kopi pahit ke sukaan almarhum ayahnya.      

"Aku mau minum itu," sedangkan Anantha fokus pada kata 'keren' bukan 'low sugar'.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.