Ciuman Pertama Aruna

III-93. Pura-Pura Menangis



III-93. Pura-Pura Menangis

0"kau ini bicara apa??" giliran Thomas membalas pukulan sendok siang tadi. Lelaki tersebut mengayunkan gulungan baju yang rencananya akan dia kenakan.     
0

"Apakah ini benar-benar kenyataan, -bukan mimpi?" Thomas meninggalkan Kiki, dia keluar lalu di ikuti langkah buru-buru Kiki, nyatanya pria tertatih itu menuju kamar mandi sedangkan Kiki menunggunya dengan duduk di atas ranjang lebar nan empuk.     

Terlalu nyaman untuk duduk. Gadis ini berniat mencoba rebahan sejenak, nyatanya dia hilang di bawa rasa lelah dan kantuknya.     

***     

Lampu pada ruang perawatan sengaja di redup kan, AC-nya pun dibuat dingin, supaya perempuan yang terpejam merasa nyaman, Mahendra menggerakkan selimut perlahan-lahan untuk membungkus istrinya yang hanya bisa tidur dengan posisi miring serupa, ke arah kiri.     

Berulang kali rambut dengan potongan berantakan tersebut dia belai, rambut Aruna belum sempat di rapikan lagi. Jadi pria ini berlama-lama membelai rambut supaya perempuannya lekas tidur dalam keadaan tenang, sembari meratapi ujung-ujung rambut sang istri.     

Dia yang tertidur beberapa kali terlihat mengernyitkan dahi, dan setiap kali hal itu terjadi. Mahendra memegangi kening di antara dua alis.     

Aruna di buatnya terlelap, sayangnya handphone sang pria berdering tengah malam. Masalahnya handphone tersebut masih berada di saku. Mahendra bangkit buru-buru memungut handphonenya dari dalam saku, menyisakan note yang ia cabut dari meja kerja Aruna.     

Perempuan terbangun tersebut memungut note tulisan tangannya sendiri. Dia yang terbangun mendapati suaminya berjalan lalu menghilang di balik pintu, membuatnya cemberut.     

Menatap tulisan tangannya dengan wajah gelisah.     

"Hen.." dia yang ditinggal keluar membuat panggilan. Sayang tidak terdengar, Entah mengapa rasanya gelisah sekali.     

Dan perempuan ini memutuskan sesuatu, kalau Hendra membuka pintu. Dia harus menangis. Bukan karena dirinya cengeng, Aruna punya sesuatu yang ia inginkan. Niat dari seorang istri yang tidak mau suaminya lebih sibuk dengan hal lain.     

Mata coklat menatap tajam pintu yang ada di ujung sana, menunggu di detik ke berapa dia akan berusaha mengeluarkan air matanya.     

_Ayo baby bantu ibu_ ibu hamil mengelus perutnya.     

Tepat ketika sang suami datang ekspresi berduka itu ia munculkan. Aruna berupaya supaya matanya sembab berkaca-kaca, mengeraskan keluhannya, sambil meringis membuat usapan di mata yang sesungguhnya hampir tidak ada air matanya.     

"Ya tuhan.. Kenapa menangis?" Mahendra otomatis dilanda gelisah.     

"Aku bangun tidur dan kamu tidak ada, kupikir aku akan ditinggalkan, dan tidur sendirian," suara Aruna sengaja memperdengarkan alunan mendesah, menggerutu rendah. Sejujurnya ini tergolong perilaku yang terlewatkan manja.     

"mana mungkin ku lakukan, sudah.. berhenti menangis, Jangan membuatku bersedih," Hendra kembali menyusup ke dalam ranjang tidur yang sama.     

Aruna mulai memahami, kelemahan lelakinya ialah tangisannya. Detik ini dia sekedar ingin mempraktikkan. Selepas dia selamat dari penyerangan, tubuh sakit itu menyulut pemiliknya untuk mencari si pelaku.     

perempuan tersebut masih percaya, pelakunya tidak jauh-jauh dari sekretaris suaminya. Dia diancam sebelum tragedi menyerang, sebuah berkasm besar Sempat dilempar Nana kepadanya. Sampai-sampai hampir menghantam tubuhnya.     

Kalau bukan dia lalu siapa lagi?     

Seandainya Mahendra belum bisa percaya pada dirinya yang memang tidak memiliki bukti secara spesifik. Putri Lesmana akan menuntut pembalasan sendiri. Demikian pikiran perempuan tersebut terpenuhi oleh sebuah premis baru, bahwa dunia tak selamanya berisi orang baik.     

Kadang kala kita dibenci begitu saja, padahal tak sekalipun berbuat buruk kepada mereka.     

Manusia-manusia macam begini yang membuat individu lain tumbang dalam perjalanan meraih kehidupan tenang dan membahagiakan.     

"aku tidak mau ditinggal," Sang Perempuan masih merengek, mengeluh, menarik kemeja yang dikenakan suaminya.     

"iya. Iya.." mata biru kembali tidur di tempat yang sama. Bukan lagi mengelus rambutnya. Akan tetapi mulai berani menyentuh wajah tanpa mata tertutup.     

"apa aku masih cantik?" Aruna sama sekali belum melihat cermin.     

"kamu selalu cantik,"     

"kenapa kau tak kecup kening dan bibirku kalau aku cantik," Mahendra tersenyum. Mata biru mengangkat tubuhnya, bertumpu pada siku tangan kanan, dia kemudian mendekat membuat kecupan. Bukan sekedar di bibir, sang pria menggelap sesaat, menyesap leher sang istri. Untungnya pria tersebut tak sampai lupa diri.     

"Hen.. hati-hati,"     

"Iya.." ucapan berikut ini sejalan dengan gerakan lemah, lambat dan tentu saja sambil menikmati.     

"Baby juga iri," canda sang istri.     

"Benarkah?" Mahendra memundurkan kepalanya. Mundur ke bawah membuka sedikit baju yang membalut perut istrinya.     

Perut telanjang tersebut di raba tangan besar, dia yang meraba sedang mengucapkan syukur dalam benaknya.     

"belajar kuat dari mommy-mu, Sayang," bisiknya di sela-sela merambati perut berisikan buah cintanya.     

Sang ibu menarik lurus bibir, Aruna tersenyum tipis.     

"Cerdas seperti Deddy-nya," Aruna menambahkan. Mata biru kembali menyajikan goresan lesung pipi.     

Dia kembali merundukkan wajahnya untuk menyapa si kecil yang di dalam.     

_Mahendra suamiku, tentu saja dia milikku_ tangan kanan Aruna memegangi rambut dari kepala yang sedang mencium perutnya.     

_baby kami, kekuatanku, tak ada yang perlu ku sedihkan_ sang korban penganiayaan, sedang berupaya memupuk jiwanya yang sempat terguncang hebat.     

_Aku tidak akan pernah, mengalami hal buruk ini dua kali_ Aruna mengelus wajah yang perlahan bangkit mengamatinya.     

_Sebab aku akan meringkusnya sebelum siapapun melakukan penyerangan padaku lagi_ Aruna yang hatinya sedang terbakar kembali berkaca-kaca.     

"Apa lagi sekarang?" Hendra menyentuh kan jari tunjuk tangan kanannya di ujung hidung Aruna.     

"mulai sekarang aku nggak mau sendirian,"     

"Tidak akan ada yang berani meninggalkanmu sendiri, setelah ini akan kusiapkan pengawal yang lebih kompeten untukmu," Hendra melekatkan kepalanya di atas bantal. Dia setia menatap mata coklat Aruna.     

"boleh aku membuat permintaan,"     

"tidak perlu bertanya, hidupku untuk istriku," Mata biru berujar menenangkan.     

"aku mau Susi menjagaku, Apa mungkin Oma Sukma akan merelakannya," Mahendra terlihat berpikir. Berbanding terbalik dengan wajah penuh harap Aruna. Bagi perempuan ini, pengawal perempuan yang tubuhnya kekar itu akan mampu menjaganya, toh Aruna sudah kenal lama. Masih ingat betul di dalam benak Aruna, pertemuannya dengan susi kala pengawal perempuan tersebut diminta Oma Sukma meringkus Mahendra. Pada hari pertama Aruna datang ke rumah induk.     

"aku coba dulu bicara pada oma Sukma," suara sabar Hendra menginginkan lawan bicaranya juga turut sabar.     

"satu lagi Hendra, Aku mau mobilku,"     

"mobilmu? Kamu mau dibelikan mobil?"     

Aruna menggelengkan kepala, "aku mau, menggunakan mobil yang diberikan kakek pada pesta pernikahan kita,"     

"Oh'," desah Hendra mengetahui mobil tersebut masih terparkir di salah satu sudut garasi rumah induk.     

"Termasuk sopir pribadi, serta pengawal lain yang bisa ku percaya," titah Aruna.     

"Tentu,"     

"artinya kamu setuju? Herry mulai besok bertugas menjagaku.     

"Ada Rolland dan Alvin,"     

"Aku nggak mau Aku maunya Herry,"     

"kenapa aku merasa cemburu pada Herry?? Rolland dan Alvin saja, aku sudah menyiapkan mereka untukmu," goda Mahendra, sejujurnya dia belum rela melepas ajudan yang paling setia mengekornya.     

"aku nggak mau! Aku maunya Herry, masak Deddy tak mau mengalah sama baby," mendengar kalimat Aruna, Mahendra tertawa.     

"Jadi Herry sudah mencuri perhatian baby?" Aruna mengangguk, menjawab pertanyaan Mata biru.     

_aku, butuh mereka untuk membuktikan kalau dugaanku tidak salah_ hati seseorang sedang bergejolak. Padahal senyumnya merekah, mengimbangi tawa seseorang.     

***     

"Kenapa Kiki tidur sembarangan?" Thomas baru saja keluar dari kamar mandi, bajunya sudah rapi, mengenakan kaos putih polos, sedangkan bawahannya masih berupa balutan handuk. Celana yang dia bawa ternyata menyulitkan karena luka di kakinya.     

"Kiki bangun! Jangan lama-lama di alam mimpi," suara Thomas nyaring, sambil berjalan menuju ruangan yang berisikan berbagai macam outfitnya.     

Kiki tidak bergeming dia benar-benar tertidur pulas. Thomas yang masuk ke dalam ruang baju kini sedang memilih milih bawahan yang mungkin lebih mudah dia kenakan. Celana pendek longgar selutut, membuatnya tersenyum. Santai saja pria itu melepas handuk yang melapisi tubuh bagian bawah.     

"Thomas! Ternyata aku.. Aaaaaargh," perempuan bernama kiki berteriak sejadi-jadinya. Melihat keadaan yang seharusnya tidak dia lihat.     

"bukannya malu, Thomas malah tertawa," Dan buru-buru mengenakan celananya, "lain kali ketuk pintu," pria ini berteriak keras, "jangan main nyelonong saja," kemudian berjalan tertatih keluar dari ruang bajunya.     

Ternyata Kiki sudah tidak ada di kamarnya, pria rambut sebahu berniat keluar. Hampir saling bertubrukan, Kiki tiba-tiba kembali menuju padanya dan kembali masuk di dalam kamar Thomas.     

"Thomas benar ini rumahmu?"     

"Apa aku perlu mengucapkannya 100 kali sampai kau sadar!" kesal Thomas dirundung pertanyaan yang sama.     

"Lalu kenapa di bawah sana ada orang asing yang seolah sedang memeriksa ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.