Ciuman Pertama Aruna

III-87. Pola Pikir Simple



III-87. Pola Pikir Simple

0[Ki, hutangmu belum kamu bayar. kalau bulan ini tidak bisa bayar lagi, kucabut motormu] Thomas menghentikan permainan mobile legends.     
0

Lelaki berhidung mancung, dan rambut sebahu ini lekas duduk dari pembaringannya. Dia jadi ke pikiran, memikirkan sebuah cara bagaimana supaya bisa membantu penolongnya.     

Gerakan merogoh ulang jam di celah celana ia pertunjukan. Walaupun jam ini mahal tanpa sertifikat, box dan toko yang tepat percuma saja. Dia hanya akan dibeli sesuai keputusan pembeli yang kadang seenak hati.     

Pria ini kemudian membuat sebuah pencarian di situs Google map-nya. Mengetahui jarak antara minimarket tempat Kiki bekerja dengan cluster tempatnya tinggal.     

Tidak sejauh yang dia bayangkan, kembali ke rumahnya yang memiliki fasilitas mewah dan menyimpan banyak hal yang bisa membantu keluarga Kiki tampaknya perlu dicoba.     

Thomas juga mulai memutar otaknya, apa yang dia mau dari hidupnya. Cukupkah dia pergi ke Milan bertemu Leona dan tinggal di sana bersamanya yang artinya meninggalkan semua kehidupannya di Indonesia.     

.     

Lamunan tersebut terhenti, sebab perempuan bernama Kiki datang mengantarkan makanan untuknya. Perempuan itu duduk sila di hadapannya sambil mengikat rambutnya yang tebal nan hitam. Kiki membuka bungkusan, "jangan terlalu banyak berpikir, makan dan lekaslah pulih," kalimat ini lebih mirip perhatian, walaupun intonasinya konsisten galak.     

"Em.. Kiki, Apa kau mau mengantarku ke sebuah tempat yang sebenarnya tergolong tempatku tinggal," hati-hati Thomas berbicara.     

"tempat yang sebenarnya tergolong tempatku tinggal? Kalimatmu membingungkan!"     

"maksudku, Aku ingin mengunjungi tempat tinggalku. Akan tetapi aku tak yakin Apakah di sana aman untukku, tapi kita butuh ke tempat tersebut.. em.. karena aku bisa menolongmu supaya motormu tidak ambil orang," alis Kiki bertautan, perempuan tersebut memicingkan mata dan menyerobot handphonenya dari tangan Thomas.     

"kau membaca sesuatu yang bersifat privasi? Menyebalkan!" Thomas menunduk sejenak rasa bersalah. Anehnya menit berikutnya pria ini menyerobot tangan Kiki menggenggam erat tangan kanannya dan menatap kiki sungguh-sungguh.     

"kau tidak akan menyesal kalau kamu mau mengantarku ke tempatku dulu, aku berjanji sepatu yang dibutuhkan Lala akan aku berikan. Handphone yang Sudah saatnya dimiliki Wawan aku juga bisa belikan, dan yang paling penting motormu tidak akan dicabut," Thomas menatap serius, penuh harap.     

"bicara, bicara saja! Tak perlu pakai pegang tanganku segala," Kiki menarik tangannya kasar.     

"Ah' maaf, tapi misi ini tidak akan mudah, sejujurnya aku bukan bunuh diri melainkan ada orang yang ingin membunuhku, melemparku dari jembatan itu," mata Kiki sempat membulat lebar.     

"Sehingga aku tak tahu mana kawan, mana lawan, untuk itu sementara aku butuh rumahmu sebagai tempat persembunyian. Aku ingin memulihkan diriku. Tapi tak ada salahnya kan, kalau aku mengambil sesuatu yang aku butuhkan," Thomas menyadari, dia tetaplah terdakwa dari kesalahan fatal meledakkan ruang kerja vian. Misi yang dia usulan pada Kiki malam ini cukup berbahaya untuknya.     

"Bantu aku, aku mohon!" pria ini meraih tangan Kiki, dan sebuah sendok mendarat di kepalanya.     

"Tanpa memohon pun aku juga akan membantumu, tidak usah drama," padahal dia baru dipukul, lucunya senyum itu terbit di sebabkan kalimat perempuan yang memukul kepalanya.     

***     

Ada yang berdiri menolehkan pandangannya, ke arah hiruk-pikuk kesibukan lobby rumah sakit ketika seorang pria mengamatinya dengan wajah kesal luar biasa.     

"Mulai hari ini statusmu adalah kekasihku!" si lelaki yang jarang peduli akan keberadaannya tiba-tiba bicara sembarangan, mirip seseorang yang sedang kerasukan jin. Atau dia salah minum obat? Atau Jangan-jangan adiknya yang sakit membuat otak kakak Bu Aliya konslet.     

"Kenapa begitu?" perempuan yang tadinya memilih menatap hal lain, kini mencari keberanian memindahkan pandangannya pada lelaki berumur yang menjulang tinggi di depannya sambil melipat tangan.     

"Karena kamu sering mengikutiku, dan aku.." anehnya dia yang ditatap sekarang terdiam, tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ananta yang selalu didampingi Nabila tidak pernah berinteraksi melebihi per sekian detik dengan perempuan ini. Berucap yang penting saja selebihnya bekerja.     

Nabila juga terdiam, perempuan ini tak cukup keberanian untuk sekedar bertanya; Kenapa kak Anantha diam.     

"Huuh!" dia malah menghembuskan nafas panjang, memutar tubuhnya ke arah tepian pembatas lantai bertingkat, sehingga hiruk pikuk yang tadi Nabila lihat, saat ini juga jadi caranya meredam keadaan membingungkan. Nabila pun mengikutinya.     

"Kamu tinggal sendirian ya?" akhirnya Ananta bisa bertanya dengan cara yang benar.     

"Iya,"     

"sejak kapan ayah dan ibu meninggal?"     

"Em.. ibu sejak aku kecil kalau ayah belum lama sih, beliau meninggal tiga tahun yang lalu,"     

"di rumah tinggal dengan siapa?"     

"aku tinggal sendirian di apartemen, rumahnya terpaksa kujual supaya bisa lulus kuliah dan bisa mencukupi kehidupan pengangguran. Untung aku berjumpa dengan Bu Alia yang menjadi marketer[1] rumahku waktu itu, makin beruntung setelah mendapat tawaran bekerja bersamanya. Andai tidak ada tawaran, aku tak yakin, akan jadi apa aku hari ini," monolog Nabila membuat Anantha menoleh bahkan mengamati lebih dekat.     

"jadi itu sebabnya, kau selalu menuruti permintaan adikku?" ada yang mengangguk, "Rela Keluar dari tempat kerja sebelumnya dan memilih menjadi staf perusahaan marketer yang baru dia buka," lengkap Anantha.     

"Iya," si polos laki-laki bicara apa adanya.     

"Apakah itu berarti, Em.. Andai adikku memintamu mencoba berpacaran denganku, kau akan mencobanya?"     

"Entah -lah, mungkin iya,"     

"bagaimana dengan menikah?" Anantha sebenarnya sedang menguji sejauh mana gadis ini pasrah terhadap jalan hidupnya.     

"Em.. aku belum memikirkannya, kalau memang mendapat tawaran akan aku pikirkan," bahkan gadis inferior ini tampak tenang-tenang saja.     

Ananta yang begitu berambisi terhadap kehidupannya, kariernya, termasuk perusahaannya, sempat menautkan alis setelah memahami secerah sudut pandang gadis di sampingnya.     

Pola pikir yang terlalu simple, tanpa hasrat dan terkesan pasrah-pasrah saja.     

"Kau tidak takut kalau seandainya tawaran itu berujung nasib buruk?" kembali Anantha menggali cara berpikir perempuan yang bahkan tak menunjukkan ambisi menata jalan hidupnya.     

"siapa yang bisa melawan takdir, nasib buruk akan tetap datang, jika memang Sudah saatnya menimpa kita," Nabila menarik bibirnya lurus membalas tatapan Anantha yang secara tersirat tak setuju dengan sudut pandangnya.     

"Andai sebagian besar penghuni bumi punya cara pikir sepertimu, bumi minim penjahat, tapi penemuan-penemuan baru yang menjadi hasrat manusianya tak akan banyak yang terealisasi,"     

"Aku hanya menjalani hidup ini sesuai porsiku, kak. berusaha sebaik mungkin sesuai kemampuan ku juga aku lakukan,"     

"lalu?"     

"Lalu aku memastikan diriku tidak berharap banyak, karena hasil bukan bagian kapasitas kita,"     

"Ya.. aku tahu itu," Anantha setuju dengan pendapat Nabila, lelaki ini hanya tidak setuju dengan cara Nabila yang datar-datar saja terhadap masa depannya, "Tapi! Wajarnya, kau sebaiknya memiliki target jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang terhadap hidupmu sendiri, bukannya mengikuti ritme yang ditawarkan kehidupan kepadamu sambil mangut-mangut,"     

Gadis ini malah tersenyum sampai-sampai giginya yang berbaris rapi terlihat, dan dia tidak membalas kalimat panjang Anantha.     

Hal tersebut membuat Anantha tersulut rasa penasaran.     

"Kenapa diam saja?"     

"Tidak apa-apa," Nabila menggeleng kepala.     

"sewajarnya kau membalas pernyataanku, yang seperti itu namanya diskusi,"     

"Anggap saja aku tidak punya keberanian membuat target yang kakak jabarkan,"     

"Membuat target? Tinggal buat saja kan?" enteng Anantha.     

"Em.. aku anak yang.." dia yang bicara mengusung ritme lambat sepatah demi sepatah kata, "-melihat kematian kedua orang tuanya,"     

"Oh'," Ananta salah tingkah sendiri, dia membalik tubuhnya. Lupa, bahwa tak semua orang bisa serta-merta sejalan dengan dirinya. Walaupun Nabila tidak menyangkal pernyataannya. Namun, gadis tersebut mematahkan semua asumsi superior yang di usung Anantha, Secara tersirat lelaki berumur ini kalah telak.     

Setelah menemukan pemahaman, Anantha kembali menghembuskan nafas panjang, "Lalu bagaimana dengan mencoba menjadi kekasihku?"     

"Em, boleh, kita coba jalani dulu" kalimat polos tanpa beban.     

Dan terdiam.     

Detak jantung masing-masing individu sedang berderu, bersembunyi pada tubuh yang seolah santai-santai saja.     

"Kalau tak ada lagi yang di Bahas saya pamit, kembali ke kantor," Nabila memecahkan kebekuan, gadis ini mengayunkan kepalanya, gerak menunduk ringan memberi penghormatan, lalu berbalik cepat.     

"Tunggu!" Anantha buru-buru menghentikannya.     

Nabila menghentikan gerak kakinya dan menatap bingung Anantha.     

"kau perlu mengkonfirmasi ulang tentang statusmu sebagai kekasihku,"     

"hem??" kian bingung Nabila di buatnya.     

Secara sepihak, Anantha meraih telapak tangan Nabila, "revisi kalimatmu yang tadi!"     

"revisi apa?"     

"Yang tadi?! Yang di hadapan bunda dan adik iparku,"     

.     

.     

.     

[1] marketer adalah seorang yang fokus pada bisnis marketing atau pemasaran. Marketer biasanya berafiliasi dengan produsen, membantu mereka memasarkan produknya secara online.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.