Ciuman Pertama Aruna

III-96. Warna Kuning Langsat



III-96. Warna Kuning Langsat

0Dokter dengan rambut campuran Antara Hitam Dan putih kini duduk di meja kerjanya, memperhatikan alat perekam suara. Sesaat kemudian tangan itu memencet sesuatu dan kembali mendengarkan wawancara yang barusan dia jalankan bersama Mahendra.     
0

Ada ingatkan yang turut terbang menuju masa lalu.     

"kalau kamu dipukul apa yang akan kau lakukan?"     

"akan aku balas,"     

"Jawab lebih keras!!,"     

"Aku membalasnya,"     

"Bruak," ingatan Diana mendapati seorang pelatih menendang dada lelaki kecil.     

"Sakit tidak?!" tanya tubuh kekar yang baru saja mempertontonkan tendangan.     

"sekarang tendang aku dengan cara yang sama, sampai merasakan rasa sakit yang kau rasakan, kalau perlu lebih dari tidakkanmu,"     

"Apa tidak masalah!" lelaki kecil bertanya dengan ragu-ragu.     

"Itu namanya membalas! Mengerti!"     

"didikan macam apa ini?" suara Diana ketika rambutnya masih memanjang hitam.     

"Dokter? Siapa yang menyuruhmu datang kemari?" si tubuh kekar melebarkan matanya, melotot menakut-nakuti sang dokter yang kini berjalan memeluk lelaki kecil. Dan ternyata perutnya memar.     

***     

"Hendra..." perempuan menoleh menyajikan senyum cerah, bajunya tergeletak di ranjang. Tangannya dipegang suster yang sedang sibuk membalurkan bulir-bulir air hangat di permukaan kulitnya.     

Air itu menetes, membasahi bagian demi bagian warna kuning langsat yang perlahan luruh bercahaya. Masih indah walau sebagian besar punggung itu tenggelam dalam balutan warna putih.     

Kuminta mereka pergi, mereka yang membantu manusia setengah malaikat penabur cahaya hangat pada hari dan hatiku yang gelap. Dan aku duduk di sampingnya. Mengamati rambut pendek sebahu dengan potongan lurus mirip Cleopatra. Senyumnya Indah merekah cerah. Padahal separuh badannya dibungkus warna putih kasa. Punggungnya hampir tidak terlihat. Setengah punggung tersebut terbalut sempurna oleh serpihan-serpihan kain yang bertanda dia sedang terluka.     

Aku mengambil handuk kecil itu, kubasuh kan air hangat pada kulitnya yang lembut. Sejujurnya aku rindu. Rindu memeluk tubuh di genggaman tanganku. Rindu menelusuri kulit yang tipis kecokelatan itu. Apa daya dia masih terluka. Aku bahkan tak berani mengamati punggungnya.     

Indah, cantik dan sempurna hingga ujung-ujung jemarinya. Bibirnya ditarik sampai matanya menyipit, senyum ketika merasa kegelian.     

"Boleh aku melihat cermin?" dia meminta izin. Sejujurnya aku berharap bisa mengatakan tidak.     

"Sudah sarapan?" aku berdiri meraih handuk. Dengan gerakan lambat menghapus bintik-bintik air yang menimbulkan kesan basah di tubuhnya.     

"Belum," suara manja itu yang paling aku sukai.     

"Setelah ini sarapan dulu, ya.." sejujurnya aku mengalihkan fokusnya yang ingin melihat pantulan wajah di cermin.     

"Hendra.. aku mau lihat wajahku di cermin.."     

"kenakan dulu bajunya," aku pasang baju itu di tubuhnya. Sambil mengaitkan buah kancing, Aku berusaha mencari cara bagaimana dia tidak menginginkan cermin untuk melihat wajahnya. Bagiku Aruna selalu cantik. Orang tidak akan percaya, namun Aku meyakini sesuatu; di luar sana ada banyak yang jatuh cinta pada seseorang karena sikapnya, cara berpikirnya, karakternya dan perilakunya. Tidak semua dilihat dari apa yang tampak. Dan aku salah satunya.     

"kamu tidak mengizinkanku melihat cermin, ya?" begitulah istriku, mirip cenayang yang bisa memprediksi apa apa yang aku inginkan. Aku tidak tahu apakah setiap lelaki beristri, yang digambarkan takut dengan perempuan yang mereka nikahi sendiri, memang memiliki perasaan yang saat ini sedang aku alami.     

Istri sama dengan cenayang, apa pun caraku menyembunyikan sesuatu selalu ada celah sehingga dia seolah punya kekuatan indra keenam, jeli dan teliti.     

Aku hanya menarik bibirku, hal tersebut membuatnya mengembungkan pipi yang memang sudah cabi.     

Lebih dari segalanya aku sangat suka cara protesnya. Tanpa kata auranya bersinar bersama kerelaannya menuruti harapanku.     

Aku jadi mengingat pesan ayah Lesmana. Dulu waktu aku mengantarkan beliau pulang setelah menjenguk Aruna yang sedang sakit akibat kukurung di kamar mandi. Ayah Aruna mengatakan padaku : cobalah bersabar untuk mendapatkan hatinya, nanti setiap kata-katamu di turuti sesuai kehendakmu. Kau akan mendapatkan segalanya. Aku sudah membuktikan itu.     

"bagaimana kalau kita sarapan sambil jalan-jalan," ini suara permintaannya. Sejujurnya sama dengan cermin. Aku sama khawatirnya. Apakah dia bisa berjalan dan berdiri dengan baik.     

"Lihat! Kakiku baik-baik saja Hendra," dia turun perlahan dari ranjang, tersenyum dan berdiri cerah, "punggungku memang masih nyeri, tangan juga sih. Tapi kakiku baik-baik saja," dia merayu menatapku dengan mata bulat berbinar penuh harap. Sulitnya untuk menolak permintaan dengan pandangan mata penuh.     

"Sejujurnya aku takut kamu merasa kan sakit ketika terlalu banyak-,"     

"Kalau merasakan sakit atau capek, tinggal istirahat saja, duduk sebentar lalu jalan lagi," Aruna untuk pertama kalinya memenggal kalimatku. Tampaknya dia sangat menginginkan  bisa menghirup udara di luar.      

"dengan kursi roda! mau?" lagi-lagi dia menggelengkan kepala untukku. Dan bibirnya ditekuk tanda dia tak setuju dengan ideku.     

Aruna selalu punya cara menggoyahkanku, berjalan mendekat merengkuh dan memeluk pinggangku. Menempelkan tubuh yang masih terkesan lemah, rapuh, rapat di perutku. Dan aku runtuh juga. Setelah wajah itu mendongak ke atas, mengerucutkan bibirnya minta dikecup.     

.     

.     

Aku tahu Hendra amat terpukul dengan kondisiku, aku ingin membuatnya yakin, kami berdua, aku dan baby baik-baik saja. Aku Bosan di dalam ruang perawatan. Walaupun akhirnya jalanku menuju taman di samping Rumah sakit ini cenderung lambat. Beberapa kali aku duduk ketika menemukan kursi memanjang di tepian lorong rumah sakit.     

Hendra dan mereka yang membuntuti kami turut berhenti. Semua jadi tampak indah pagi ini. bahkan cara Hendra mencoba menutupi cermin yang kulewati, tergolong adegan yang mengharukan bagi mereka yang paham.     

Namun bagiku, ini teramat membahagiakan. Lelaki dengan kornea mata berwarna biru tidak ingin aku sedih. Memintaku berjalan lebih cepat ketika terdapat jendela dan pintu kaca, berjalan di sisi kanan jika ada cermin di bagian kanan, dan berpindah ke kiri ketika ada cermin di bagian kiri. Itu manis sekali.     

Padahal tanpa sengaja aku sempat melihat wajah ku sendiri, memang terdapat memar dan semburat biru. Sejujurnya diriku sangat tertekan atas ini.     

Hingga aku menyadari yang menyakitkan bagi Hendra dan tentu saja akan berimbas pada ku ialah wajah sedihku. Untuk itu akan ku simpan saja rasa pedih yang ada di dalam jiwa.     

.     

.     

Suster mendorong troli yang membawa makanan pagi kami. Aruna spontan bangkit, dia pikir aku akan membiarkannya banyak bergerak. Kumarahi dia supaya duduk saja.     

Dengan warna merah di pipinya, akhirnya aku berkesempatan menyajikan sendok agar dia lebih banyak makan pagi ini.     

Pada titik di mana dia merasa sudah sangat kenyang, Aruna mengeluh memintaku menghentikan cara menyendok makanan.     

"Aku sayang kamu," katanya, mencium pipiku. Tepatnya mencuri untuk merayuku. Ketika itu tidak berhasil menurutnya, dia bergeser, dan berpindah lah kecupannya menjadi denyutan yang aku rindukan. Ciuman yang sempat hilang beberapa hari.     

***     

"Apa?" lelaki bercelatuk kebingungan.     

"Bruak!" jatuh dari sofa.     

"Kenapa aku masih berada di sini?" konyolnya laki-laki itu bingung dengan keberadaannya sendiri.     

Langit-langit rumah berwarna putih, menyajikan bohlam lampu bulat terang. Sang pria menutupi sorot bola lampu terang. Sambil mengerjapkan mata. Menikmati rasa ambruknya dari sofa, padahal ini rasa sakit.     

Ketika dia akhirnya terduduk, mata itu berputar mencari jam dinding. Jam kerjanya sebentar lagi terlewatkan, mau mandi lalu berkendara secepat kilat pun, rasanya akan percuma. Tetap terlambat juga.     

Lamat-lamat dirinya ingat ruangan ini. Televisi masih menyala di depan, kopi yang mulai kehilangan hangatnya dan yang paling mencengangkan hidangan hangat lain. Sebuah piring berisikan roti oles mentega yang di bakar, dan sebuah gelas berisikan coklat hangat.     

"Tunggu! Apa ini?" si lelaki bertanya-tanya, mencabut sticky note warna kuning yang diletakkan di bawah gelas berisikan coklat hangat.     

'Kak Anantha, sama seperti semalam, pagi ini saya belum berani membangunkan kakak. Saya izin berangkat bekerja lebih dahulu, nikmati sarapan dari ku.     

- sampai jumpa –     

Anantha tidak jadi meneguk coklat hangat, dia menepuk dahinya berulang kali. "bodoh! Bodoh! Bodoh!" mengumpati dirinya sendiri. Ternyata dia tertidur di rumah pacarnya. Perempuan yang belum genap 24 jam berstatus sebagai pacar. Sudah ia tiduri apartemennya.     

Kenapa tidak tubuhnya sekalian saja? Biar Mature. Dan kepala menggeleng berulang.     

Ananta mengingat lelahnya semalam, setelah seluruh hiruk-pikuk kesibukannya ditutup dengan muntah-muntah. Mengeluarkan kopi dari dalam perut.     

Dari pagi membantu bunda masak. Menjenguk si bungsu, berjalan-jalan dengan Nabila supaya akrab. Yang terakhir dia yakin sekedar meletakkan kepalanya di atas sofa. Setelah capek tersedak...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.