Ciuman Pertama Aruna

III-98. Bapak Berkumis Lebat



III-98. Bapak Berkumis Lebat

0[Belum..]     
0

[Bun... Bunda.. Aruna sudah sehat..] kata belum Mahendra terabaikan, Aliana berteriak-teriak memanggil ibunya.     

[Hai aku bilang belum]     

[Terima kasih infonya Hendra, nanti kita sekeluarga bakal menjenguk Aruna] tanpa mendengar kalimat Mahendra, Aliana menutup teleponnya.     

Mata biru mengerutkan keningnya, menamati foto profil kakak iparnya dengan ekspresi jengkel.     

Bip bip bip.     

Mahendra Memutuskan membuat panggilan untuk perempuan yang karakternya bertolak belakang dibanding istrinya, padahal kakak beradik.     

[Apa lagi!] Yang di sana membentak seenaknya.     

[Telinga di pasang! A r u n a belum sembuh, jadi tolong di pahami]     

[Iya aku tahu,]     

[Dari mana?]     

[Mana ada pasien yang baru keluar dari icu, pindah ke ruang perawatan langsung waras]     

[Syukurlah..]     

[Ngomong-ngomong, Kenapa sudah di bawa pulang ke rumah induk]     

[Fasilitas yang aku miliki, melebihi kapasitas otakmu tentang arti kekayaan]     

[Cih!] Dan sang kakak menutup telepon lelaki menyebalkan, memamerkan kesombongannya.     

.     

Mahendra mulai merapikan beberapa bend perlu dibawa istrinya, pria itu terlihat menikmatinya caranya merapikan barang-barang sang istri yang tidak seberapa. Sambil terus mengamati tidur perempuan, Aruna seringkali menampilkan ekspresi resah dalam tidurnya. Sesekali dia seolah ingin menggaruk sesuatu. Dan Hendra buru-buru menangkap tangan tersebut. Membuat puk-puk kecil supaya dia yang terlelap kembali menemukan rasa nyaman.     

***     

"Kau siapa?" pria berkumis dengan perut meluber, sehingga lingkaran pinggangnya tampak mengembung, mirip orang hamil lebih dari 3 bulan.     

"Aku?" Anantha menggunakan telunjuknya untuk menunjuk wajahnya sendiri.     

"Di tempat ini hanya ada tembok dan kau, mana mungkin aku bicara dengan tembok!" Si kumis lebat bergerak satu langkah mendekat. Anantha seolah sedang didesak.     

"saya Anantha," dia ter sabda menjadi remaja.     

"aku tidak menanyakan namamu," tangan kumis lebat nunjuk-nunjuk wajah Anantha.     

"terus anda nanya apa?" yang ditanya berbalik bertanya.     

"malah nanyak!!" tampaknya dia bukan dari kota ini, logatnya kental sekali.     

"lah! tadi anda tanya 'saya siapa?' ya.. Saya jawab namaku lah" tak terasa ada kaki yang mundur perlahan, sebab kaki gemuk yang di depan maju perlahan.     

"malah nyolot, aku tuh tanya kamu siapa? Keluar dari apartemen keponakanku,"     

"mati aku!" celetukan Anantha tanpa sengaja.     

"apa? Mati?" tubuh Ananta didorong, dipegang kerah bajunya hingga menempel pada tepian lantai empat, apartemen Nabila berada paling tepi dan paling pojok. Secara langsung menyajikan sebuah lorong yang di lengkapi pagar pembatas setinggi perut, menuju udara bebas.     

Pernahkah melihat apartemen yang menghadap keluar?.     

Menyajikan Ananta yang saat ini di cengkeram kumis lebat sehingga tubuhnya condong ke udara. Dia menatap kearah bawa, seketika bulu kuduknya berdiri, pria ini merinding ketakutan.     

"Pak! Saya bisa mati kalau di takut-takuti macam begini," Anantha melirik ke bawah sekali lagi, cengkeraman semakin kuat, "Aaaaaaargh!" dia berteriak keras ketakutan.     

"siapa yang mati? Kau membunuh Nabila?" cengkeraman pada leher kian seenaknya.     

"Membunuh? Siapa yang membunuh? Nabila? Mana mungkin aku membunuh Nabila?" Anantha berucap sambil berteriak-teriak.     

"Lalu untuk apa kau keluar dari apartemen keponakanku?" masih konsisten menjorokkan tubuh Anantha ke udara.     

"Aku.. aku pacarannya.." awalnya kalimat ini Anantha ucapkan dengan nada terbata-bata, tapi lama kelamaan malah diulang-ulang, " aku pacar, kekasih, aku kekasih Nabila," dia yang bicara merogoh saku celana.     

"Lihat! Lihat kunci, kunci apartemen Nabila, dia, dia yang menyerahkannya sendiri.. padaku," intonasi gaya bicara Anantha berantakan. Terbata-bata mencoba mencari cara supaya dilepas oleh bapak berkumis lebat. Dengan perut yang kini sedang mengapit kuat diri Anantha pada dinding pembatas lantai 4.     

Wajah bapak berkumis, berubah keheranan, mengamati bandul kunci Nabila. Dia yang sedang mengamati perlahan melepaskan Anantha.     

"Kau benar pacarannya Nabila?" yang baru terlepas roboh dan terduduk di lantai. Sedangkan bapak berkumis ini merampas kunci lalu, melangsungkan pengamatan secara seksama, benda yang di bumbui bandul kuda berponi warna ungu di angkat di hadapan muka bapak tersebut, "kau," galak melirik Anantha.     

Anantha yang masih ngos-ngosan dan selonjoran mensyukuri keselamatannya, langsung berkesiap mendengarkan panggilan bapak berkumis lebat.     

"Bagaimana bisa, kau baru keluar dari apartemen Nabila pagi-pagi begini?!" dia mengintimidasi lagi.     

Ananta mulai bangkit dan ternyata bapak berkumis lebat hanya setinggi bahunya, tapi cara dia mengancam sungguh luar biasa.     

"Aku..."     

"Kamu tidur di apartemen Nabila?" Ananta yang tidak diberi kesempatan bicara, lelah berdebat.     

Mengangguk, mengiyakan pertanyaan Bapak tersebut.     

"APA?" mata bapak berkumis lebat membulat lebar, "sekarang ikut aku masuk!" baju Anantha ditarik pada bagian belakangnya. Mirip Kucing yang di jinjing pada bagian belakang lehernya.     

Bapak itu membuka apartemen Nabila menggunakan kuncinya sendiri, lalu melempar Anantha ke dalam. Memintanya duduk pada kursi tempatnya tidur semalam. Sedangkan kumis lebat berkecak pinggang, mondar-mandir mengamati Anantha dari ujung rambut hingga ujung kaki.     

"Sudah berapa lama berpacaran dengan Nabila?" tanyanya sambil memasang mata melotot.     

"Aku.." sama seperti tadi belum sempat menjawab, dia yang bertanya sudah membuat pernyataan sendiri.     

"Anak muda sekarang benar-benar mengkhawatirkan,"     

"yang anda pikirkan..."     

"Saat ini Nabila di mana?" masih konsisten memenggal kalimat Anantha, mendesakkan pertanyaan.     

"dia sudah berangkat kerja," Suara ini terdengar lelah. Susah sekali bicara dengan orang yang tak mau mendengarkan.     

"Bekerja? Dan kau?" kumis lebat menatap jam dinding.     

"Kau tidak punya pekerjaan? Jam segini masih keluyuran?"     

"Huuuh.." Anantha hanya bisa menghela nafas.     

"Telepon Nabila! suruh dia pulang ke apartemennya! Atau kau akan tersandera di sini," mata itu kembali melotot dan memaksakan kehendak.     

Karena sudah terpojok serta lelah berdebat, Anantha mengambil handphonenya di saku, menuruti om Nabila, dia menerbitkan panggilan untuk Nabila.     

.     

[Kak Anantha bisa saya bantu?] Suara Nabila lembut serta sopan, tidak menyadari yang kini sedang diajaknya bicara dalam posisi terancam.     

[Pulanglah kembali ke apartemen]     

[Ada masalah dengan apartemenku?]     

[Ada banget]     

[Maksudnya?]     

[Aku sedang disandera di apartemen mu]     

[Di Sandera??]     

[Iya, oleh orang yang..] Ingin rasanya mengatakan lelaki dengan kumis aneh dan perut mengembung, akan tetapi Anantha tidak berani, "bapak siapa? Maksudnya namanya siapa? Apanya Nabila?"     

"katakan! omnya satu-satunya dari Madura datang, Om Jakpar,"     

"Oh, Om Ja'far,"     

"JAKPAR,"     

"Oh iya.. iya.. Jakpar.. jakpar,"     

"     

[Om jakpar datang?] Tampaknya Nabila mendengar percakapan Ananta bersama omnya.     

[Dia menyanderaku, pulang lah tolong aku] keluh Anantha.     

[Coba berikan handphone kakak kepada Om,] Pinta Nabila.     

[Tak bisa!] si om nyolot begitu saja, [Tak ada negosiasi untuk hal-hal semacam ini] tukas om Jakpar sengaja dikeraskan supaya Nabila ikutan mendengar.     

[Om.. ini tidak seperti yang om bayangkan]     

[Nabila, aku ingin kita bicara baik-baik, pulang, jelaskan pada om] Jakpar yang baru saja merebut handphone Anantha, berakhir mematikan panggilan.     

.     

Sepanjang penantian kedatangan Nabila, pria itu masih saja mengamati Anantha, "berapa usiamu?"     

"33,"     

Ada dua alis yang mengerut, "kau? Jangan-jangan kamu sudah menikah?"     

"Belum.." kata belum dipanjangkan terdengar mirip keluhan _punya pacar saja belum genap sehari_     

"Nabila, memang sudah waktunya menikah! Sungguh menyesal aku tidak memperhatikan umurnya!" dia yang masih berdiri mengintimidasi menggerutu sendiri.     

"Kau tahu kalau kamu saat ini berada di pulau Madura, sudah kupastikan, aku menyeretmu ke lapangan dan kuminta warga kampung men-carokmu sama-sama," mendengar kalimat ini, Ananta meringsek, menunduk gemetaran.     

"Di Madura perempuan itu sangat berharga, ketahuan tidur bersama sebelum menikah itu artinya siap dirajam," duduk Anantha perlahan bergeser ke tepian sofa ketika kumis lebat ikut duduk di sofa yang sama.     

"Anak muda sekarang tidak tahu batasan! keterlaluan! Ditaruh di mana otak mereka, nafsu jadi nomor satu!" menggerutu dan marah-marah sendiri.     

Si kumis lebat akhirnya berdiri, tampaknya dia menuju pentry.     

Anantha berharap Nabila segera datang, ia melirik pintu.     

"Jangan coba-coba kabur!" ternyata yang di pantry masih setia mengawasi gerak Anantha, bahkan gerak kepalanya. Lelaki satu ini kembali terduduk kaku.     

_sialnya aku_     

.     

"Om haus," benar-benar mirip tahanan, Anantha tidak disuguhi apa pun, termasuk air.     

"semalam kamu berbuat apa? Sampai haus segala.. Tahan!" gertak kumis lebat.     

"Sudah aku bilang aku tidak melakukan apa-apa,"     

"malam-malam sebelumnya??"     

"mana ada malam sebelumnya? Aku dan Nabila..." suara pintu terketuk membuyarkan pertengkaran 2 laki-laki.     

"Nabila..??" seolah baru saja di datangi pahlawan penyelamat, suara Ananta mirip sekelompok orang yang mengucapkan kata 'power ranger..?' dari sereal televisi yang menampilkan pahlawan warna-warni.     

"Kak Anantha.. maaf," Nabila memasang wajah penyesalan.     

"Om.. ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.