Ciuman Pertama Aruna

III-100. Malam Pekat Terusir Pagi



III-100. Malam Pekat Terusir Pagi

0Lampu temaram kini tertangkap lebih terang, sela-sela celah jendela yang ada pada sisi dinding mulai menyusupkan cahaya. Matahari mengintip mereka membawa sinar berkilauan menerpa separuh tubuh.     
0

Malam pekat terusir pagi, udara dingin berganti hangat, dan seorang perempuan memeluk guling manusia tanpa ia sadari. Guling asli telah terusir sejak semalam kala ia menggeliat membuat ruang lebih lebar pada bagiannya. Menjengkelkan pria yang terdesak sebab wilayahnya terintimidasi.     

Tersajilah kini wajah tersembunyi di ketiak lelaki, hilang tertelan urai rambut panjang hitam. Serta tangan menguntai dengan berani merengkuh tubuh lelaki tanpa di sadari. Tangan itu memegang dada bidang.     

Mata lelaki yang perlahan mendapatkan terpaan sinar matahari yang mulai beranjak naik, mengerjap melebar dan menemukan kesadaran. Dia yang perlahan sadar mengangkat kepalanya. Dan menyadari pelukan perempuan serta rasa geli di ketiak. Terbit desah nafas separuh tawa. Si galak yang suka mengintimidasi bahkan kala tidur. Kini kedapatan memeluk dirinya. Mungkin dia bisa membalas kalimat-kalimat pedas dengan rasa malu yang di yakini bakal menyiksa perempuan ini.     

Tangan Thomas terangkat, mulai membuat sentuhan kejahilan untuk Kiki. Kepala gadis tersebut di totol-totol oleh jemari telunjuk Thomas sehingga ia mulai menggeliat membuat gerakan menampakkan wajahnya. Masih setengah sadar perempuan tersebut menatap langit-langit ruangan persegi empat.     

_benar-benar motel?_ dia bertanya-tanya pada dirinya, masih berharap kejadian semalam sekedar mimpi semata.     

Giliran memahami posisi tubuhnya, di dapati lelaki mendorong jidatnya agar menjauh dari ketiak. Per sekian detik dia yang mendongak bertemu mata dengan pria yang ter pegangi tangan bodohnya. Mau berteriak, sayangnya yang salah adalah dia. Tubuh Thomas berada di pojok dia lurus sempurna seperti tidurnya semalam. Dirinya yang melakukan kesalahan.     

Dengan canggung gadis ini lekas duduk, merapikan rambu. ingin rasanya segera minta maaf, tapi keburu aneh. Akhirnya berlari saja, melompat dari ranjang lalu membenamkan diri di balik pintu kamar mandi. Menggeleng kepala berulang, Kiki mengutuki diri sendiri, kebiasaan tidurnya yang buruk membuatnya malu luar biasa.     

.     

"jangan lama-lama, aku juga mau ke kamar mandi, Kebelet nih," Suara Thomas datar seolah tidak terjadi apa-apa, padahal di balik celetukannya ada senyum yang iya urai dan ter nikmati sendiri. _Liat saja akan kujadikan pelukanmu pagi ini sebagai senjataku! Hehe, kamu tak akan sanggup memarahiku lagi_ dia terkekeh mengetahui Kiki akan canggung padanya selepas kejadian pagi ini dan lelaki tersebut buru-buru menutup mulutnya supaya tawanya tidak di tangkap gadis yang sembunyi di kamar mandi.     

***     

"Nabila..??" seolah baru saja di datangi pahlawan penyelamat, suara Ananta mirip sekelompok orang yang mengucapkan kata 'power ranger..?' dari sereal televisi yang menampilkan pahlawan warna-warni.     

"Kak Anantha.. maaf," Nabila memasang wajah penyesalan.     

"Om.." keluhan seorang keponakan sambil berlari mendekati lelaki yang sibuk membuat kopi pahit serta sebuah kue dari lemari pendingin.     

"Duduk sana! Di sofa! pertanggungjawabkan kenakalanmu," gertak Pak Jakpar.     

"Om., ini tidak seperti yang Om bayangkan, sungguh," Keluh Nabila dengan memasang wajah melasnya.     

"Duduk sana!"     

"Om.." mencoba merayu.     

"Pegang ini!" dua buah cangkir kopi di sodorkan Jakpar pada Nabila. Sambil membawa kue di tangannya Jakpar mendorong Nabila supaya berjalan menuju tempat terpakunya Anantha, tepat pada sofa depan televisi.     

Dua buah cangkir yang menerbitkan aroma kopi di letakkan Nabila di atas meja yang sontak memicu seseorang memunculkan kengerian pada raut wajahnya.     

Bersama caranya menggeser kursi untuk duduk di hadapan Anantha, Jakpar mengintimidasi kemenakannya, "Duduk atau Om akan memastikan kamu ikut aku ke Madura," Om Jakpar ialah kakak dari Almarhumah sang ibu, yang punya kebiasaan mengunjungi apartemen Nabila pada sela-sela kesibukannya memasok kerajinan sabit serta peralatan dapur dari anyaman bambu khas pulau di ujung Jawa.     

Nabila duduk pasrah, dia sempat mengamati Anantha. Pria yang matanya fokus pada cangkir kopi, seolah air warna hitam itu sebuah kutukan. Buktinya ketika jakpar menggesernya untuk di angkat dan kemudian dia seruput, mulut Anantha mendesis lirih.     

"Bukan minuman lelaki keren," gerutunya untuk diri sendiri yang terdengar oleh Nabila.     

Ingin rasanya Nabila tertawa, dia tahu maksud kalimat Anantha. Om Jakpar duduk memamerkan perutnya yang konsisten bergerak-gerak. Serta caranya berdecak pinggang, bukan lagi kegagahan malah cenderung menakutkan. Sambil menegak secangkir kopi panas yang turut serta membasahi ujung-ujung kumisnya. Sebagai peminum kopi om jakpar tidak terdefinisi keren di mata keduanya. Terutama di mata Anantha yang sekarang anti Pati terhadap kopi.     

Minuman yang membuatnya tersedak, dan berakhir tertidur serta berakhir terintimidasi di sofa ini.     

Kopi di letakkan, mata menatap tajam siap menghunus Anantha.     

"Siapa namamu?" suara berat di terbitkan Jakpar.     

"Anantha,"     

"yang keras.. jangan gemulai jadi laki!!" suara Jakpar konsisten keras sesuai logat bahasanya.     

"Anantha!" pemuda ini mengulang sekali lagi.     

"punya keluarga?"     

"Iya.. ada.."     

"lengkap ayah ibu?"     

"Lengkap,"     

"Bawa mereka kesini besok, sebelum trukku balik ke Madura,"     

"Hah? Kenapa??"     

"Kenapa, kau bilang??," mata Jakpar tajam menggebrak meja. Percikan kopi jatuh berserakan setelah cangkir tersebut bergoyang-goyang sekian detik.     

"Beraninya bilang kenapa, setelah tidur dengan keponakanku," telunjuk yang besarnya setara jempol Anantha di acung-acungkan brutal kepada lelaki yang kini mengumbar permusuhan.     

"baik! Aku tidur di apartemen ini semalam, tapi saya berani bersumpah tidak ngapa-ngapain, saya berada di sofa ini dan Nabila di kamarnya sendiri," suara Anantha turut meninggi. Mengubah kata 'aku' jadi 'saya' supaya lebih wibawa.     

"Mana ada orang pacaran se-usia kalian bertindak alim kayak gitu, setan itu ahli. Walau aku dari kampung otakku ini lebih jeli tak bisa kalian bohongi,"     

"terserah anda percaya atau tidak! Itulah kenyataannya," kalimat Anantha terdengar menyebalkan.     

"Om, yang di katakan kak Anantha benar, ini sekedar kesalahpahaman,"     

"huuuh.. (mendesah) perempuan menyerahkan kunci apartemen pada lelaki yang berstatus pacar, kalau bukan malam ini, malam sebelum-sebelumnya atau besok, kalian bisa melakukan hal-hal di luar budaya kita," dia yang sedang berceramah terdeteksi meredam kemarahan yang telah mencapai ubun-ubun.     

"Sekarang kemas barang-barangmu, Nabila!"     

"Kenapa Om?" resah Nabila.     

"Kamu itu terlalu polos, lugu, yatim piatu, tinggal sendirian mudah sekali di manfaatkan lelaki hidung belang macam begini. Sudah pengangguran, minta di tampung juga!" gertak om jakpar.     

Nabila melirik Anantha di tengah kebingungannya.     

"Siapa yang hidung belang? Lihat hidungku sewarna! Coklat semua, aku juga.." Anantha malah terkesan bercanda.     

"Ikut om pulang! Bereskan barang-barangmu," jakpar fokus pada keponakannya sendiri. Di matanya Nabila yang penurut ini tidak akan aman tinggal sendirian terlebih punya pacar yang tak jelas.     

"Kenapa anda memaksa Nabila? Karena saya," tanya Anantha.     

"terserah kamu, aku sudah tidak peduli denganmu," ketus jakpar.     

"Sejujurnya anda salah paham bapak, saya itu tidak pengangguran, saya seorang CE.. em.." Anantha ingat bahwa perusahaannya baru bangkrut. "Huuh.. saya tukang koding yang sebentar lagi akan mendapatkan tender besar," Anantha mengingat penawaran adik iparnya, "bahkan bisa jadi saya akan dijadikan General Manajer perusahaan,"     

_Janji Hendra masih berlaku -kan?_ bertanya pada diri sendiri.     

_Ah' anggap saja iya_ di jawab-jawab sendiri.     

"Iya.. om, kak Anantha kakak bosku, ingat Bu Alia yang pernah Bila ceritakan, dia adik kak Anantha, manajer pemasaran yang menolongku mendapatkan pekerjaan," Nabila ikut merayunya.     

"benarkah?" si tukang mengintimidasi sedang menurunkan tensi.     

"Kak.. tunjukan foto keluarga kakak," permintaan Nabila buru-buru di sambut Anantha dengan mengeluarkan handphone dari saku celananya.     

Layar masih di sentuh, belum sempat buka kunci. Om jakpar berujar, "Foto bisa di edit, telepon kakakmu, biar aku sendiri yang berbicara dengan Bu Alia,"     

"Adikku," jengkel Anantha. Pria tersebut membuat panggilan kepada adiknya Aliana, berharap semua kegaduhan ini lekas kelar.     

[Ada apa kak?] Suara cerah Alia yang kini tengah berada di rumah induk keluarga Djoyodiningrat. Lesmana sekeluarga sedang menjenguk si bungsu.     

[Alia.. om Nabila mau ngomong nih]     

[Hallo] suara jakpar berbeda terhadap seseorang yang banyak membantu keponakannya.     

[Bisa saya bantu om?]     

[Mohon maaf, saya harus mengatakan kebenaran] Di ujung sana Alia sempat terenyak sejenak, [kakak Anda saya tangkap basah tidur di apartemen keponakan saya] Suara Jakpar menjadi bijak berwibawa.     

[Jadi Kakak semalam tidur di apartemen Nabila?]     

[Ehem] ada yang batuk di buat-buat, mengiyakan kalimat Aliana.     

[Wah, bagus itu.. kita nikahkan saja sekalian]     

"Alia.." ada yang berteriak protes ... ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.