Ciuman Pertama Aruna

III-102. Pengganggu Di Celah Pintu



III-102. Pengganggu Di Celah Pintu

0Mahendra baru sadar, Aruna berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan keluarganya. Berbicara dengan nada ceria serta hangat. Bahkan Hendra turut larut, lagi-lagi tertipu.     
0

.     

Kamar dua anak manusia ditinggal yang lainnya. Tersisa sepasang suami istri, satunya memejamkan mata sedangkan si lelaki duduk pada sofa, tidak jauh dari ranjang istrinya. Menatap Lamat tanpa banyak berkedip, dia mulai frustrasi memegangi pelipisnya. Menghitung angka, berharap bisa mengurangi sakit yang kian meningkat di kepalanya, berasa berat menerima jatuhnya Aruna atas perilakunya.     

Sudah 2.100 angka dia sebut, menghitung dan terus menghitung. Lebih kurang sekitar 35 menit Mahendra belum beranjak dari tempatnya. Manusia kecil ini menyiksanya lagi dan lagi. Cara menyiksa yang paling sempurna hanya milik Aruna, perempuan yang selalu mengusahakannya kebaikan untuk orang-orang terdekatnya.     

Ingin rasanya marah tapi pada siapa. Ingin menyuruhnya berubah tapi perempuan tersebut membuatnya jatuh cinta karena hal yang sama.     

Gadis kucir kuda yang berjalan di antara interior warna putih restoran. Tersenyum kecut menatapnya, tak banyak protes dan tak banyak bertanya, sekedar membuang tatapan ke jendela ketika merasa kecewa.     

Kini sudah mengandungku buah hatinya. Setelah malam-malam dingin perlahan menghangat. Adegan mencuri-curi bibir di sambut desahan memabukkan.     

Mahendra bangkit dari tempatnya duduk. Mendekat dan perlahan turut membaringkan tubuhnya di ranjang. Menyentuhkan ujung jarinya dengan gerakan ringan seolah mengambang di udara tapi sejujurnya dia benar-benar menyentuh wajah perempuan itu.     

Mata biru menapaki bentuk bibirnya, bulatan mungil hidungnya, pelupuk mata terpejam, dan perlahan-lahan jemarinya turun ke bawah, mengenang berbagai kenakalan, di sudut leher itu.     

Hendra mulai membuka selimut yang ia pasang. Tubuh tersembunyi di bungkusan kain hangat menampakkan sesuatu yang tak lagi berada di dalam baju. Baju Aruna Ter tanggalkan tadi. Walaupun sebagian dadanya terpaksa di tutupi untuk mengikat luka yang berada di belakang punggung. Tubuh Aruna masih menyisakan sesuatu yang iya rindu. Kehangatan yang menemani hari-hari Mahendra tiap malam sebelum bencana datang.     

Dada membuncah di cukupkan ter tahan, dia hanya bisa mengamatinya. Sambil menahan rasa sabar, Mata biru melengkapkan gerakannya. Menyusuri tempat-tempatnya menumpahkan cinta. Hendra rindu tubuh hangat itu, teramat rindu sampai-sampai tak terbendung lagi. Mendorong kepalanya mendekat ke sana. Mendekati tempat yang siap untuk dikecup sesaat.     

Alangkah terkejutnya iya, ketika bibir itu menyentuh milik istrinya. Ketukan datang disusul pintu terbuka. Anna hadir sebagai pengganggu yang tiba-tiba muncul di celah pintu.     

Mahendra memaksakan dirinya untuk duduk. Kembali menutup tubuh istrinya menggunakan selimut semula. Lelaki bermata biru mengamati perempuan di ujung sana, sebuah isyarat untuk menanyakan apa tujuannya datang.     

"Kakek memintamu turun," tanpa minta maaf perempuan itu menatap Mahendra, percaya diri.     

"Katakan padanya aku tidak akan turun, aku.. menunggu istriku," mata pria itu kembali melihat wajah dari tubuh yang enggan bergerak.     

"Sayangnya makan malam kali ini spesial teruntuk keluarga mertuamu, mereka sudah siap di meja makan, malam ini sepertinya sengaja di buat berbeda untuk menjamu mereka, kau yakin tidak akan turunq?" cara komunikasi Anna cenderung mengesankan. Konsisten hangat dalam setiap momen di hadapan Mahendra.     

"pergilah dulu," tubuh mata biru kembali merebah, perlahan mendekati perempuan yang belum berkenan membuka mata.     

"Sayang, bangunlah, berhenti membuatku resah, ayo kita ke bawah, keluarga kita akan makan bersama, kamu tidak ingin lihatnya?" ujar Mahendra di telinga Aruna. Kenyataannya Aruna belum memberi tanda-tanda balasan apa pun.     

dengan nafas yang ditarik berat, Mahendra berdiri meninggalkan istrinya. Sebelum ia benar-benar pergi, mata biru membuat permintaan kepada Susi supaya menjaga istrinya.     

.     

.     

Dining room yang biasanya sepi dan dingin, saat ini meja panjang tersebut hampir penuh terisi. Keluarga Lesmana cenderung duduk di sisi kiri, sedangkan keluarga Mahendra banyak di sisi kanan.     

Kedatangannya yang belakangan, mengundang pasang mata menoleh kepadanya. Sebelum duduk mata biru menyampaikan permintaan maaf, Aruna belum bisa hadir di tengah-tengah mereka. istrinya sedang istirahat. Jelas sekali wajah yang tertangkap kecewa ialah wajah bunda Indah. Mahendra memilih duduk di dekat ibu mertuanya yang gundah tersebut.     

Baru saja kursi digeser yang kemudian terduduki, Dia tampak tersentak ketika menamati siapa-siapa saja yang berada di meja makan, terdapat dua wajah perempuan hampir serupa. Anna tentu saja serupa dengan saudaranya, Leona.     

Leona yang diamati Mahendra terang-terangan, segera menyapa pria tersebut, "lama tidak berjumpa, senang bertemu Anda tuan," sapa Leona.     

"Apa ini pertanda sudah saatnya aku diizinkan meruntuhkan janjiku?" kalimat ganjil yang hanya terpahami keduanya. Di mata Mahendra kedatangan Liona sama dengan terhapusnya perjanjian mereka. Dia menerima Nana sebagai sekretaris pribadinya, asalkan Liona pergi dari Indonesia.     

Secara tersirat ada permusuhan yang tertangkap tetua keluarga ini, "Ehem.." dehem Wiryo memberitahu agar mereka fokus pada jamuan makan. Wiryo memutus ketegangan antara cucunya dengan perempuan yang kedatangannya telah ia setujui.     

Bahkan tadi, lelaki berumur tersebut dirayu anna hingga berkenan menemani gadis kecil yang dulu pernah mengisi hari-harinya sebagai penghibur selain disiapkan untuk jadi sahabat cucunya. Wiryo turut menjemput saudara perempuan di bandara. Betapa bangganya Leona, kedatangannya disambut tetua.     

Supaya terkesan lebih santai, Wiryo membuka percakapan sebelum hidangan siap dinikmati, "saya ucapkan terima kasih, akhirnya diberi kesempatan bertemu lagi dengan Lesmana dan keluarga. Semoga putrimu lekas sembuh. Aku berharap ke depan kita lebih banyak berkumpul," Lesmana menimpali kalimat ini dengan anggukan kecil.     

"Boleh saya menambahkan," Mahendra menyusupkan kalimat setelah ucapan kakeknya.     

"silakan, semua yang berada di sini boleh bicara," menimpali kalimat Mahendra.     

"sebagai rasa hormatku, untuk ayah dan bunda, beserta kakak iparku, Kakak Lia dan suaminya," kalimat Mahendra demikian sopan, ada pasang mata yang sempat saling bertemu yaitu Sukma dan Gayatri. Dua perempuan ini terkejut bukan main. Mahendra punya cara bicara yang teramat berbeda terhadap keluarga istrinya.     

"Aku berharap dengan sangat," wajah mata biru sendu sesaat, "kembalilah ke rumah anda yang dulu. Saya akan sangat terpukul ketika permintaan saya tidak di iyakan," dia menatap lekat Ayah istrinya, serta kini menengok bunda Indah yang berada di sampingnya. Tangan perempuan itu dipegang, hingga terbit rasa malu-malu yang dihadirkan Indah.     

Di sisi lain Gayatri mengerjapkan mata berulang. Gayatri belum bisa menerima terkait putranya yang tertangkap sangat dekat dengan ibu mertua daripada dirinya sendiri.     

Indah melepas tangannya yang terapit di antara permukaan meja dengan tangan Mahendra. Sebuah tepukan kecil mendarat di punggung lengan menantunya. "semua keputusan tergantung.. tu.. itu.." perempuan tersebut menggerakkan tangannya ke arah samping, ke arah Lesmana tanpa melihatnya.     

"Kita makan saja dulu, nanti di bahas lagi," Lesmana berupaya mengurangi gelisah yang di hasratkan Mahendra.     

"kita sih oke aja, asalkan ayah oke," Aliana membuka piring dan mulai mengambil sendok yang berjejer rapi di samping kanan dan kiri piring.     

"ayolah, ketika perut Aruna membesar kami tidak kesulitan jarak saat berkunjung ke rumah ayah," Mahendra konsisten merayu.     

"makan dulu, eh, apakah sudah di perbolehkan mulai makan," Lesmana tertangkap mengalihkan pembicaraan. Ada senyum kecil yang terbit dari bibir Mahendra. Cara Aruna saat terdesak ialah mengalihkan pembicaraan, ternyata cara tersebut dipelajari dari ayahnya.     

"Silakan," ujar Wiryo sambil mengangkat tangannya tanda mempersilahkan.     

Adegan Mahendra yang tengah berkomunikasi dengan keluarga istrinya, kesannya biasa saja bagi keluarga lain di luar sana, akan tetapi tidak dalam benak 2 perempuan yang saat ini sedang menutupi ekspresi tertegun.     

Sejujurnya keduanya berperang antara bangga melihat Mahendra yang begitu hangat. Sayangnya di sisi lain dua perempuan tersebut mulai memikirkan mengapa mereka tidak bisa sesantai itu dengan Mahendra.     

"mohon maaf, ngomong-ngomong kalau boleh tahu.. siapa Anda berdua," di tengah hibuk gerakan di tengah jamuan makan yang cukup sunyi. Celetukan Alia membuyarkan konsentrasi menikmati hidangan.     

"mereka anak angkatku," mengejutkan, Wiryo yang memberi jawaban. Mungkin Wiryo ingin membungkam rasa penasaran Aliana.     

"oh begitu," balas Alia.     

.     

"Maaf saya telat," suara familier di telinga Mahendra.     

"Tuhaaan.. Kenapa kau kemari?" Hendra memundurkan tempat duduknya, suara kursi bergeser ke belakang terdengar jelas. Dia berdiri dan berjalan tergopoh-gopoh. Mendekati tubuh perempuan yang di pegangi ajudan perempuan.     

"Kita kan mau makan bersama," suara ini padahal terdengar lemah.     

"Kau.. Jangan membuatku marah! kita kembali ke kamar!" titah Mahendra menghentikan setiap gerakan.     

"Hen.."     

"Jangan membuatku marah! Please!" suara nafas beradu raut wajah merah padam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.