Ciuman Pertama Aruna

III-103. Pola Sidik Jari



III-103. Pola Sidik Jari

0"Hen.."     
0

"Jangan membuatku marah! Please!" suara nafas beradu raut wajah merah padam.     

***     

"Anda sudah percaya sekarang?" pertanyaan Anantha untuk Om Jakpar, laki-laki ini lebih percaya diri setelah Om Nabilla menelepon adiknya yang dia panggil dengan sebutan sopan, Bu Aliana.     

"Saya akan menunggu kedatangan ibu Aliana besok, sesuai janjinya," mata itu menatap Anantha dengan cara berbeda, lebih bersahabat, "sekarang kau boleh pergi," lelaki dengan postur tubuh tambun tersebut kini berdiri, dia bergerak menuju pintu apartemen Nabila lalu membukanya. Isyarat yang jelas, bahwa Ananta diharuskan segera keluar dari tempat tinggal keponakannya yang kini duduk di samping sang pria.     

"kak Anantha maaf..," Nabila merunduk.     

Lelaki tersebut bangkit dari duduknya. Sebelum ia melangkah pergi, sebuah gerakan mengusap rambut di peruntukan Anantha pada Nabila.     

Anantha juga mengeluarkan kunci bandul kuda poni dari sakunya, dia menyodorkan benda milik Nabila di bawah wajah gadis yang sedang menunduk. Dengan mengumpulkan keberanian Nabila berusaha memberanikan diri, meraih kunci sekaligus menengadah, keduanya sempat bertemu muka sesaat, sebelum akhirnya lelaki tersebut menghilang di balik pintu, terusir om Jakpar.     

***     

Malam yang panjang, gelap dan dingin, berubah menjadi di pagi yang cerah. Langit menunjukkan semburat putih, terbungkus background warna biru cerah. Pada caranya mengemudi motor, pemilik rambut hitam pekat ini membuat posisi duduk yang maju ke depan, dia memanfaatkan sedikit saja tempat duduk. Jelas sekali Kiki sedang menanggung rasa canggung.     

Sejak usai mandi di motel hingga kini perjalanan mereka dilanjutkan dengan kendaraan roda dua, percakapan yang biasanya didominasi perempuan galak sekarang lenyap. Kontras sekali antara suasana langit cerah dengan suasana kikuk dua anak manusia yang sedang mengendarai motor metic. Mereka terdiam membisu bersama hembusan angin yang menerpa rambut panjang .     

"Kau tahu apa yang paling lucu dari kelakuanmu?" Thomas berusaha memecahkan kecanggungan. Kiki tak menyambutnya.     

"Pernah lihat ikan buntal? Dia suka sekali mengembung kalau marah, eh' sekarang kempes," lelaki berambut panjang ini sengaja membuat lelucon.     

"Aaargh.." Bukannya di balas, gadis berambut hitam terurai lebat tersebut malah memutar gas motornya, kecepatan motor melonjak seketika. Hingga Pria yang duduk di belakang tersentak, spontan berteriak. Balas dendam paling curang.     

.     

Pagi ini keduanya tidak langsung pulang ke rumah Kiki, Thomas meminta berhenti di sebuah Mall mewah, kata pria itu di dalam Mall ini terdapat showroom yang menerima jual beli benda-benda original brand ternama.     

Setelah berganti pakaian pagi tadi, pria yang keluar dari kamar mandi motel berubah jadi seseorang yang berbeda. Thomas benar-benar bukan pria biasa.     

Kiki sempat mengamati cara ia mengeluarkan baju dari dalam tas ranselnya, celana panjang gelap, gesper senada, serta baju lengan panjang slim type berbahan catton dengan warna Drak blue terlihat sempurna membungkus tubuhnya, di mana pada dua sisi lengannya terlipat hingga mendekati siku. Terlalu berbeda di sebab kerapiannya yang punya daya berlebih, termasuk bau segar parfum yang semalam sempat dia bawa.     

Thomas jauh sekali tatkala di bandingkan dengan pria yang selama ini terbaring di kamar bapaknya. Lelaki yang di bawa pulang dari sungai. Kotor, berantakan penuh luka yang dengan bau busuk menusuk.     

Walaupun Thomas masih menggunakan penyangga untuk membantunya berjalan. Pria tersebut tetaplah menawan. Terlebih rambut terurai milinya saat ini di kucir man bun ke belakang. Dagunya yang selama ini ditumbuhi banyak bulu, tercukur bersih sehingga rahang tegas tersebut tertangkap jelas. Tak pernah ter bayangkan oleh Kiki bahwa Thomas aslinya lelaki setampan ini, bukan sekedar tampan dia bisa di kategorikan lelaki metroseksual yang biasanya menjadi pemeran utama berbagai serial televisi. Kiki mengekori jalannya sembari mencuri pandang.     

Pintu kaca Mall tergeser otomatis untuk dua anak manusia yang sedang berjalan bersama-sama. Kiki merasa seolah dirinya ialah sekedar asisten yang mengekor Thomas.     

Kiki menatap dirinya di cermin, melihat baju yang ia kenakan sekedar seragam tempatnya bekerja. seragam yang memaksanya berdiri di belakang kasir sambil mengucapkan salam sapa, 'selamat datang, ada yang dibutuhkan lagi, bisa saya bantu, Terima kasih sudah mengunjungi toko kami' kalimat yang sudah menancap di kepala Kiki. Sejengkel dan semarah apa pun dia, ekspresinya harus tetap tersenyum lebar.     

Sama seperti ketika ia memasuki showroom mewah. Pramuniaga yang berada di hadapannya menggunakan seragam tapi tidak ada mirip-miripnya dengan yang dikenakan Kiki. Seragam hitam lengkap dengan pin nama berwarna emas mengkilat dan para prianya menggunakan kemeja putih bersih sedangkan para perempuannya melengkapi keprofesionalannya dengan balutan blazer.     

Toko berkelas yang membuat keberadaan Kiki seolah ganjil. Pasang-pasang mata itu menatapnya, untungnya Thomas selalu menoleh ke belakang tiap kali dia merasa Kiki mulai jauh darinya.     

"Berapa nomor rekening anda?" pria yang sedang bertransaksi tersebut ditanya oleh pramuniaga.     

"Saya butuh uang cash," jawaban inilah yang akhirnya dibalas berupa lembaran uang yang jumlahnya belum pernah Kiki lihat. Kecuali meja kasurnya penuh ketika mendekati hari raya.     

Lembaran-lembaran yang tersusun di atas meja kaca. Dimasukkan Thomas ke dalam tas ranselnya kemungkinan ada sekitar tiga jam tangan yang dia lepas kepada toko berkelas. Kiki sempat melihat raut wajah beratnya saat sebelum benda-benda di dorong di atas meja kaca yang kemudian di terima pria dengan papan nama di atas sakunya, keemasan mengilat.     

Semburat rasa berat itu masih terlihat tatkala mereka sudah keluar dari showroom.     

"kamu menginginkan sesuatu?" Kiki menggeleng saat Thomas menawarkan barang-barang mereka lewati sepanjang perjalanan menuju pintu keluar Mall.     

"kita pulang saja," tandas Kiki.     

***     

Lantai D Perlahan kembali normal, bangunan yang roboh kini telah kokoh. Tinggal finishing di beberapa bagian. Termasuk melengkapi perabotan. Vian yang kehilangan ruang kerjanya sementara bergabung bersama tim yang kehilangan pimpinan.     

Vian kini mendapatkan 2 mandat sekaligus. Selain memimpin tim internal dia juga berperan sebagai negosiator eksternal seperti yang dulu dilakukan Thomas.     

Di tangan pria yang struktur wajahnya tirus mancung dan kurus, sudah di pengang hasil sidik jari yang menempel pada alat berbentuk persegi dengan fungsi pembuka pintu cluster Thomas.     

Perlahan-lahan berkas mulai di buka. Dua buah struktur pola sidik jari tersaji di sana. Pola sidik jari resmi Thomas dengan pola sidik jari yang ditemukan terlaporkan tidak ada perbedaan.     

Vian terdiam, tidak beranjak dari duduknya, membisu, seolah memikirkan sesuatu. Entah apa yang sedang pria ini pikirkan. Yang pasti Vian belum memberi tahukan kepada siapa pun. Memilih membuka laci meja dan menyelipkan berkas tersebut. Ada hembusan nafas serta mata menerawang bebas, sebelum akhirnya tertangkap gerakan tangan mengunci rapat laci tempat di sembunyikannya sidik jari Thomas.     

***     

"Bapak? Ada apa?" bukan cuma Kiki, Thomas yang menyusul belakangan terkejut bukan main. Perabotan di rumah Kiki jatuh berserakan, tiga penghuni di dalam menerawang kosong kehadiran dua orang yang pergi dari rumah selama dua hari.     

"Kenapa adik tidak sekolah?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.