Ciuman Pertama Aruna

III-105. Sindiran Sinis



III-105. Sindiran Sinis

0Perempuan paruh baya ini sedang bersedih, saat tamu yang datang berencana pulang. Rumah Megah Djoyodiningrat sangat sepi dibanding prediksi orang lain.     
0

"Apa-apaan ini?" Indah mendatangi Oma Sukma dia terkejut dengan bawaan yang disuguhkan nyonya besar keluarga besannya. Setelah salah satu asisten rumah induk mengabarkan mobil keluarga Lesmana tidak muat menampung pemberian Sukma.     

"mohon maaf, kami tidak bisa membawa semuanya, anda tidak perlu memberi kami bawaan sebanyak itu," suara indah campuran rasa haru yang merupakan ungkapan terima kasih serta bingung teraduk jadi satu melihat pemberian tidak wajar dari Sukma.     

"tenang.. akan ada mobil kami yang mengekor di belakang mobil kalian," Sukma sama keras kepalanya saat memaksakan kehendak, mirip cucunya, Hendra yang mengharapkan mereka kembali ke rumah lama.     

Sebelum benar-benar pergi, mumpung Lesmana masih bercakap-cakap bersama suaminya, Wiryo. Sukma menarik lengan Indah. Membawa ibu Aruna masuk ke dalam ruangan sepi. Perempuan itu memegang rapat kedua tangan indah, "Maaf, maafkan kelalaian kami,"     

Alis Indah hampir menyatu mendengarkan permintaan maaf yang diluncurkan Sukma.     

"aku juga ibu, Aku tahu kau pasti kecewa, keluargaku belum bisa menjaga putrimu," mata Sukma semburat merah berkaca-kaca.     

"percayalah Aruna tidak akan mengalami kejadian buruk lagi," tangan dan ucapannya sama-sama bergetar, seiring menetesnya air mata Sukma meminta keikhlasan Indah atas kejadian yang menimpa putri bungsunya. Sukma sadar menjadi perempuan di keluarga Djoyodiningrat tidak serta merta menawarkan kenyamanan, menjadi bagian keluarga ini artinya siap hidup penuh risiko.     

Sukma tahu betul keadaan ini, kondisi yang membuatnya jarang diizinkan keluar dari rumah induk.     

"aku sendiri yang akan menjaga putrimu," karena perempuan di hadapannya berderai air mata, Indah pun tak kuasa menahan air matanya sendiri. Perempuan kadang terharu hanya karena melihat haru perempuan lain.     

"Terima kasih sudah menerima putriku dengan baik, aku titip," Sukma mengangguk pada sela-sela kalimat perpisahan antar dua orang ibu dari keluarga masing-masing.     

"jangan menolak pemberianku," Sukma menghapus air matanya, demikian juga yang dilakukan indah. Keluar dari ruangan sambil senyam-senyum seolah tidak terjadi percakapan serius selain bertukar pesan kebahagiaan.     

"Sering-sering berkunjung kemari," kata Sukma pada Indah, ibu Aruna perlahan melangkah mendekati suaminya.     

Tepukan indah di pundak Lesmana, membuat laki-laki ini menoleh, menyadari Sudah saatnya mereka pergi. Sambil mengangguk ringan Lesmana menundukkan punggungnya. Berpamitan kepada Wiryo.     

Mobil Mereka menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu gerbang, meninggalkan si bungsu sendirian di rumah Megah ini.     

"lain kali kita berkunjung ke rumah Ayah," Hendra menyadari istrinya mulai gelisah.     

"naik ke punggung, lalu tidur berdua,"     

"Salah," cela Aruna, yang bergerak mendekati mata biru, menelungkupkan tubuhnya di atas punggung lelaki tinggi tegap dan kokoh, kontras dengan perempuannya yang perlahan kehilangan berat badan.     

"apa yang salah," perjalanan mereka menuju kamar utama diselingi percakapan ringan.     

"Kita tidur bertiga,"     

"Oh," sepanjang langkah kaki lelaki yang membawa tubuh istrinya di punggung, tertangkap lesung pipinya setia menghiasi. Dia tak henti-hentinya mengurai tawa saat perempuan di punggung protes terhadap tiap-tiap ucapan yang terlontar dari mulut lelaki bermata biru.     

.     

.     

"Lihatlah hasil prediksiku, keluarga Lesmana benar-benar mampu merubah Hendra, ini bukan sekedar perjanjian pernikahan," ujar Wiryo pada putrinya yang berdiri tidak jauh dari lelaki paruh baya tersebut, dia duduk di atas kursi rodanya tepat di tengah-tengah lantai pertama yang menampakkan pintu ukiran Jawa yang baru menutup di atas sana, pintu kamar pewaris tunggal Djoyodiningrat.     

"kau yakin dirimu selalu benar?" ekor mata Gayatri melirik papinya, "siapa yang sempat memiliki niat menikahkan putraku dengan anak angkatnya," nona utama keluarga ini menyindir tetua Djoyodiningrat.     

"aku rasa tidak ada salahnya memiliki dua istri, yang satu berperan sebagai pendamping di ranah bisnis, menghandle tugas dinas presdir. itu masuk akal, kita harus mendorong kelahiran banyak penerus, bagaimana menurutmu?" kursi otomatis itu bergerak menghadap putrinya, Gayatri.     

"Kau takut yang dilahirkan Aruna perempuan?" Gayatri mengiringi kalimat tanya dengan senyum sinis. Seperti kisah lampau tentang pewaris perempuan satu-satunya yang tak bisa diharapkan.     

Cerita sesungguhnya terkait kelahiran bayi cantik bernama Gayatri. Sayangnya Sukma tak lagi bisa mengandung, dia mengalami gangguan tepat pada rahimnya, tumor bersarang di sana dan Wiryo bertahan dengan satu istri.     

Mungkin itu kesalahan baginya, karena tidak memiliki keturunan laki-laki yang membanggakan seperti terlahirnya Rio bagi Clara. Namun di luar prediksi siapa pun bayi laki-laki bermata biru secara mengejutkan menyambung garis keturunannya. Wiryo menjadi amat berambisi, pewaris yang lahir di luar prediksi merupakan peluang besar untuk menjatuhkan para dewan yang sedang mencanangkan gerakan penggulingan untuk dirinya.     

Ambisi itu membuatnya menjadi berbeda, mengatur kehidupan cucunya dan banyak anak sebagai uji coba.     

"Cih, kamu benar-benar takut? kau lupa Aruna masih muda? (Dia masih punya kesempatan melahirkan lebih banyak keturunan)" Gayatri kian berani melempar hinaan kepada papinya sendiri, "Atau jangan-jangan kamu ketagihan mengatur hidup bocah-bocah itu, yang kau besarkan berdasarkan doktrinmu? Seperti robot berwujud manusia, mereka menjadi dewasa sesuai keinginanmu, hehe" Gayatri mengakhiri monolognya dengan tawa nyaring, simbol sindiran sinis paling mutakir.     

"Putriku tidak boleh melupakan kebenaran, putranya berhasil menjadi CEO hebat dan calon Presdir yang kuat karena caraku," ucapan Wiryo menghentikan langkah Gayatri, perempuan ini terbalik dan menatapnya tajam.     

"Siapa bilang? Kau merasa keberhasilan ini milikmu, jangan lupa dia normal seperti sekarang bukan sekedar karena skenario yang kau buat," Gayatri melangkah mendekati papinya, "tampaknya papiku kecanduan setelah anak-anak kecil di rumah kuning yang di kumpulkan menjadi gelombang manusia-manusia hebat secara tidak wajar," Wiryo menarik bibirnya tatkala mendengar ujaran putrinya. Ada senyum di sana, senyum tipis.     

"Hehe.. dugaanku benar," perempuan itu menghina, menawarkan tawa aneh.     

"Ingat Wiryo! Kegaduhan berlarut-larut ini dilatarbelakangi dendam adik perempuan ingin membunuh Kakak lelakinya sendiri, hanya karena merasa diperlakukan berbeda. Padahal salah satu ibu mereka sudah membunuh ibu yang lainnya. Silakan mengulangi sejarah," kalimat Gayatri dilontarkan dengan suara rendah, ritme lambat, intonasi datar, yang pasti dia berhasil memukul telak ayahnya sendiri.     

"Beraninya kau bicara sembarangan!" Wiryo memekik, ia meradang geram.     

"Apa aku salah!?" Gayatri menantang papinya sendiri, "kau tidak bisa menjawabnya,"     

"Kenapa kau selalu melawanku! Membuatku marah!" gertakan Wiryo mengudang ketakutan. Para asisten rumah induk yang mendengar didera kalut mendalam. Perdebatan Ayah dan putrinya tidak lagi disimpan rapat menggunakan kalimat-kalimat bernada rendah. Wiryo memaki menggunakan volume tinggi.     

"24 tahun aku pasrah, memilih berdiam diri setelah menjadi gila karenamu, kali ini aku tidak akan tinggal diam. Aku orang pertama yang akan melawanmu kalau kau berani menyentuh bayi Hendra," suara Gayatri konsisten rendah mendesah.     

"Aku menyayangi mereka, aku menyayangi kalian," Mata Wiryo melempar tatapan nanar.     

"Jangan menatapku seperti itu, aku tidak sedang gila, dan aku tak lagi gila," Gayatri menatap dengan berani papinya, dia berekspresi, ekspresi marah yang langka. Membuat kepala Wiryo di penuhi tanda tanya. Gayatri selaku marah kepadanya akan tetapi bukan seperti ini raut wajah yang perempuan tersebut sajikan. Lebih kepada wajah datar dengan guratan kaku, sedangkan di hadapannya kini ialah raut muka marah lepas.     

"Bisakah kalian berhenti bertengkar," Sukma datang, perempuan paruh baya ini terlihat lelah, kecewa dan pasrah, "dari pada energi kalian gunakan untuk bertengkar, temukan orang yang menusuk punggung Aruna menggunakan gunting,"     

"Dari mana kalian..? Huuuh," Wiryo mendesah, memutar arah kursi rodanya, "itu hanya kabar burung, Aruna jatuh saat bekerja jadi punggungnya terluka," Wiryo konsisten menggunakan cara lama, menutup rapat apa pun terkait kehidupan di luar sana pada istri dan putrinya. Mereka hanya di izinkan melihat hal-hal baik saja.     

Bisa jadi dia menginginkan keadaan yang sama berlaku pada cucu mantunya, Aruna. Berada di rumah mewah nyaman dan aman, biar di luar sana jadi urusan orang-orang yang telah di siapkan untuk menghadapi gelombang persaingan bisnis maupun pertikaian berlarut-larut dua keluarga.     

"lagi-lagi kau menganggapku perempuan bodoh yang tidak tahu apa-apa," cela Sukma meninggalkan suaminya, sekian detik berikutnya Gayatri membuat keputusan yang sama menjauh dari papinya.     

***     

Desahan ini terbit dari nafas pria yang sedang menikmati bibir istrinya, berbeda dengan suara-suara yang terdengar di luar. Di dalam kamar seorang lelaki memegangi kepala perempuannya, jari-jarinya menyusup di sela-sela rambut, matanya terpejam, mulutnya terbuka. Si nakal yang teridentifikasi sebagai Indra perasa tanpa tulang sedang beraksi, menjelajahi deretan gigi ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.