Ciuman Pertama Aruna

III-106. Candu Urutan Ke Tiga (Menikah+)



III-106. Candu Urutan Ke Tiga (Menikah+)

0***     
0

Desahan ini terbit dari nafas pria yang sedang menikmati bibir istrinya, berbeda dengan suara-suara yang terdengar di luar. Di dalam kamar seorang pria memegangi kepala perempuannya, jari-jarinya menyusup di sela-sela rambut, matanya terpejam, mulutnya terbuka. Si nakal yang teridentifikasi sebagai Indra perasa tanpa tulang sedang beraksi, menjelajahi deretan gigi. tak lama suara kecapan beradu, sepasang manusia yang saling menikmati, bersahutan. Mengekor putaran jarum berwarna merah pada jam yang terpasang di atas televisi, menempel di dinding.     

"Haaah," mata itu terbuka, memainkan rambut pendek di tangan sambil perlahan melepas tautan yang diiringi desahan nafasnya.     

"begitu saja," perempuannya kecewa.     

"Mau yang bagaimana?" senyum itu menyajikan susunan gigi putih rapi. Mahendra kembali mendekat mengecek mata perempuan yang sedang menatapnya penuh minat.     

Bulu-bulu pelupuk mata itu dia masukkan ke dalam bibirnya, di tarik perlahan, berpindah ke sisi yang lainnya dan melakukan hal serupa.     

Sesaat berikutnya, Tubuh Mahendra menjauh, berdiri lalu berjalan mendekati gelas yang di dalamnya terdapat air putih. Pria itu meraih gelas lalu meneguknya, lehernya bergerak-gerak seiring tertelannya Zat cair tersebut, dan Sang Perempuan senang mengamatinya, menikmati jakun bergerak.     

"Apa yang membuatmu tak berkedip," dia menggoda.     

"Kau mencium perempuan yang belum gosok gigi setelah makan malam," Aruna menimpalinya dengan godaan.     

"Apa kamu lupa, aku pernah mencuri bibirmu tiap malam tepat ketika air di sudut bibir sedang gencar-gencarnya membuat pulau di permukaan bantal," dia menarik ringan bibirnya, sekali lagi gigi putih bersih dan lesung pipi berpadu sempurna.     

Mahendra meletakkan gelas di tempatnya, di atas nakas pribadinya, nakas hendra terletak pada sisi kiri tempat Aruna terbaring di atas kasur yang luasnya bisa untuk tidur 5 orang, kalau yang tidur berkenan dibaringkan seperti pindang.     

"mau ke mana?" ternyata Hendra sekedar meraih remote televisi, mengangkat remote tersebut sambil mengangkat bahunya, dia memberitahu Aruna secara tersirat, bahwa dirinya tidak akan ke mana-mana.     

Hendra sedang mengalihkan pikirannya, pikiran tentang menyentuh istrinya sampai ke dalam sana.     

Televisi sudah menyala, setelah memencet beberapa kali saluran, pria tersebut berhenti pada salah satu channel TV yang menyajikan Kamen Rider BLACK, terdengar suara tawa renyahnya menatap serial lama yang diputar ulang oleh salah satu stasiun TV.     

"dulu, waktu kecil, aku berharap bisa seperti dia," ujarnya menoleh sejenak pada istrinya.     

"Kamu ingin menolong banyak orang?" balas perempuan yang masih terbaring dengan cara yang sama, miring ke sisi kiri.     

"bukan.." geleng-an kepala ringan tertangkap, "Aku ingin memiliki belalang tempur, motor warna hitam bersungut. itu.. itu dia," Hendra mengarahkan telunjuknya pada motor aneh yang bisa bergerak sendiri, mirip kepala capung.     

"Sama seperti dirimu," perempuan ini melontarkan kalimat ejekan.     

"Apa yang sama?" wajahnya kembali terpaling, menengok ke belakang melihat istrinya yang berada di balik punggung. Mahendra duduk di bagian depan ranjang. Kakinya menyentuh lantai dan menjadikan ranjang sebagai kursinya.     

"sama-sama aneh," Aruna tersenyum senang berhasil menggodanya lagi.     

"Harusnya kita bertemu lebih awal, supaya kamu tahu betapa tampannya saat masih kecil," Mahendra tidak terima.     

"Aku tetap yakin, walaupun tampan seperti jatuh dari surga, kamu pasti golongan anak kecil yang di kategorikan sebagai bocah aneh," mendengar kalimat ini, Hendra memainkan bibirnya, mencucuh, menggigit, yang terlama menekuk bibir merahnya ke depan, manusia dewasa yang tak sadar memasang ekspresi kekanak-kanakan, ia sedang mengisyaratkan rasa tidak terima. Sayangnya tidak bisa protes.     

"kenapa?" Aruna kembali menggodanya setelah melihat laki-laki itu memilih diam diliputi rasa kesal, "tampaknya dugaanku tidak salah?" selain mulut ditekuk. Kini ada ujung mata melirik istrinya.     

Mata Aruna menyipit, melihat lirikan menggemaskan lelaki yang sedang ngambek.     

"Seperti apa masa kecil suamiku?" Kali ini Aruna tidak sedang menggoda.     

"Kamu bakal tertawa, menertawakanku!" Hendra memalingkan wajahnya, dia fokus melihat serial Satria baja Hitam ribbon.     

"dulu aku punya banyak sekali teman laki-laki,"     

"Aku sudah tahu," Hendra memenggal ucapan Aruna.     

"Suka sekali bermain bola dengan anak-anak kampung sebelah,"     

"Sudah tahu," konsisten dia kembali memutus kalimat Aruna.     

"Tahu dari mana?" Aruna tidak tahu buku kecil yang dia isi dengan berbagai catatan tentang dirinya kala terkurung dan bosan di belenggu di kastel mewah ini, masih sering pendapat prioritas untuk mengisi tas kerja Mahendra supaya bisa di baca berulang-ulang, seolah tidak pernah ada bosannya.     

"aku sangat cerdas, bahkan ketika masih kecil-" dia membanggakan dirinya sendiri, sepertinya Aruna tidak terkejut dengan kebiasaan tersebut, Mahendra cenderung narsis saat berada di hadapannya, "sekarang aku sedang membaca memorimu," dia memundurkan tubuhnya, dibanting ringan, mental di atas ranjang tepat hadapan tubuh terbaring miring.     

Sekejap berikutnya Mahendra menggulung tubuhnya, dia menghadap ke arah istrinya, menatap mata perempuan itu sambil berbisik 'konsentrasi' segera pukulan ringan mendarat pada dadanya.     

Suara terkekeh menggelegar, "baby.. jangan tiru keanehan Deddymu," tangan kanan mengusapi perut.     

Melihat cara komunikasi yang disuguhkan Aruna, lelaki bermata biru turut meringsek maju, ikut-ikutan membuat sentuhan di atas permukaan perut perempuan hamil.     

"Waktu aku kecil, aku tidak punya banyak teman, lebih tepatnya Aku sulit mendapatkan teman," tiba-tiba dia mulai bercerita tanpa di minta, "aku kesulitan mengeluarkan suara, berbulan-bulan kehilangan kemampuan bicara karena tragedi yang.. itu," Hendra jarang sekali membuka dirinya pada Aruna. Di balik cerita mengharukan, ada rasa bangga terbit di hati Aruna.     

"Lalu apa yang terjadi," setiap kalimat suaminya di upayakan mendapat sambutan hangat.     

"kumpulan perayu datang," kalimatnya membingungkan.     

"Siapa perayu?" tanya Aruna.     

"Sekelompok perempuan dan laki-laki dewasa salah satunya Diana, mereka sebut diri mereka tim dokter,"     

"Kumpulan psikiater?"     

"Iya,"     

"Dan kamu mau bicara?"     

"Tidak.. aku belum mau bicara,"     

"lalu?"     

"aku pemurung dan pendiam sampai usiaku 10 tahun,"     

"siapa yang kau temui di usia 10 tahun, hingga kamu mau berkomunikasi dan membuka diri pada orang lain?" Aruna tampak pemasaran.     

"silih berganti kakekku mendatangkan anak-anak yellow house, mereka didatangkan untuk menstimulusku, supaya aku terhibur, tujuan utamanya agar aku mau berteman dengan mereka, sayangnya aku lebih suka membaca buku, bermain sendiri,"     

"yellow house? Rumah berwarna kuning?" Aruna dipenuhi tanda tanya pada kepalanya.     

"rumah di tengah-tengah cluster mewah, menggabungkan tiga cluster sekaligus untuk menghidupi anak-anak yang dirawat kakekku,"     

"Semacam lembaga kesejahteraan anak?"     

"Entahlah aku belum pernah ke sana,"     

_dan kau berasal dari sana_ Mahendra masih ingat pengakuan Ayah Lesmana.     

"termasuk Anna? Maksudku sekretarismu?" Aruna membuat dugaan, dia pernah mendengar kakek Wiryo mengatakan Nana alias Anna adalah anak angkatnya.     

"Iya.."     

"jadi kamu bertemu dengan Anna, Sebab dia salah satu anak yang dihadirkan kakekmu sebagai teman bermain?" Aruna mencoba mencari benang merah pada kehidupan suaminya yang tergolong tidak selurus dan setampan wajahnya.     

"iya.. dia yang paling lama bertahan, Aku suka bermain dengannya,"     

"begitu ya.." air muka Aruna berubah drastis, "Aku gatal, bisakah kamu mengusap tepian perbanku yang ada di punggung," Tanpa kata, mata biru lekas melonggarkan kancing baju istrinya, dan mulai membuka punggung, membuat usapan sangat hati-hati.     

"Apakah dia paling spesial dibanding yang lain?" ada yang tersenyum mendengarkan ini.     

"persahabatan kami berakhir bencana, dan aku tidak suka caranya meninggalkanku," Hendra pria yang bicara apa adanya.     

"Sekarang setelah dia datang? Bagaimana?" sepertinya usapan Mahendra yang penuh kehati-hatian di punggung perempuan terluka ini hanya sekedar hukuman. Berani-beraninya lelaki tersebut mendongkol kan hati istrinya.     

"tidak bagaimana-bagaimana. Karena hatiku sudah dicuri perempuan mengesalkan, yang sekarang menghukumku dengan menggosoki punggungnya," Aruna terbungkam.     

"kamu punya kenangan manis dengannya?" Lagi-lagi pertanyaan Aruna mirip jebakan.     

"tidak ada kenangan manis, melebihi kenakalan gadis konyol yang menyuruh lelaki terhormat sepertiku membeli celana dalam," ekspresi buruk Aruna berubah total menjadi tawa.     

"Itu belum seberapa," keluhan lain muncul dibalik ucapan Hendra.     

"ada lagi yang lebih buruk?"     

"Tentu,"     

"yang mana?"     

"yang merambat di atas tubuh pemuda jomlo demi merampas dalaman, Tanpa rasa terima kasih, padahal bajunya tipis dan dadanya berukuran 36D," Aruna terkekeh mengusir tangan mengusap punggung.     

"Dasar mesum!" dia menautkan kancing bajunya. wajah Aruna berubah merah seperti tomat, demikian juga lelakinya. Menyipitkan mata satu sama lain sebab bibirnya menyajikan tawa ringan.     

Lama-lama laki-laki itu diam, "Semoga lukamu segera kering, aku merindukanmu," dia mendesah, matanya sayu.     

"Apa kamu merindukan ini juga," Istri Mahendra membuka kembali kancing bajunya, salah satu lingkaran di dada yang tidak terbungkus perban terbuka. Menggoda pria yang arah pandangnya terkunci pada benda kenyal yang keluar dari persembunyian.     

Aruna membuat elusan pada wajah pria rahang tegas. Tanpa menuntun lelaki tersebut sudah terfokus ke sana, pada benda yang katanya menempati urutan ke tiga. Urutan kekuatan candunya.     

Analogi Hendra tak akan jauh-jauh dari kokain yang mengandung candu, hingga sakau kalau tidak segera ter penuhi.     

.     

.     

"Sayang.. nanti ketika baby lahir, apakah miliku bakal dia rampas,"     

"Tidak, hanya bergantian," Jawab perempuan yang sedang mengusap-usap rambut lelakinya.     

"aku putuskan akan membelikannya banyak susu formula, supaya jatahku tidak di akuisisi," terdengar egois.     

"Bicara apa kamu?, dasar lelaki Aneh!" cela Aruna.     

"Aargh," perempuan mendapati kuncupnya di gigit.     

"kamu jangan melukainya seperti anak kecil!" Nasehat di bisikan di telinga pria yang enggan melepas cecapnya.     

"Aku tidak mau berbagi, titik!" melepas sejenak, sedetik kemudian kembali menaklukkan.     

"Daddy macam mana kamu ini!!" protes calon ibu yang bakalan melayani dua bayi dengan postur berbeda.     

"Macam-macam" berbicara sambil masih menyumpal kenakalan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.