Ciuman Pertama Aruna

III-107. Merindukan Tempat Spesial



III-107. Merindukan Tempat Spesial

0Aruna masih setia menapaki rahang menonjol pada dagu lelaki bermata biru yang berpadu dengan rambut kecokelatan lebat, kulit tubuhnya campuran putih bersih dan kuning Langsat. Bulu-bulu matanya sedikit berbeda dari semua warna di rambutnya. Terlihat lebih pekat dengan panjang tak sewajarnya lelaki.     
0

Ketika mengerjap setiap mata yang memandang dengan Lamat spontan ikut serta mengerjap. Spontanitas yang sama sedang di rasakan Aruna. Perempuan tersebut mengerjapkan mata tatkala lelaki di hadapannya menutup pelupuk mata.     

Visual yang kontras dengan namanya, Mahendra Hadyan Djoyodiningrat, terlalu lokal. Cara bicaranya pun lebih suka menggunakan bahasa tempat mommy-nya berasal. Jarang ada yang tahu, bahwa kakeknya melarangnya terlalu berbeda dengan dirinya.     

Sehingga laki-laki kecil itu diusahakan segera menanggalkan bahasa dari negeri pemberi warna biru di matanya.     

Menapaki kaki di negeri ini, sebagai balita yang diserahkan secara terpaksa oleh mommy-nya sendiri, yang mau tidak mau harus rela menjadikan putranya di atur sedemikian rupa sehingga layak menjadi pewaris tunggal Djoyodiningrat. Menyerahkan jiwa dan raga lelaki kecil berusia 5 tahun untuk diprogram sesuai kehendak presdir, kehendak tetua Wiryo.     

.     

Aruna kadang kala merasa dirinya seolah berada di alam mimpi. Ada janin di tubuhnya. Janin yang sebagiannya milik pria dengan paras malaikat.     

Setelah pertarungan sengit antara hati dan isi kepala. Aruna mengakui, Apa yang disebut malaikat oleh kebanyakan orang di luar sana, ada benarnya. Lelaki penyandang status suami mengusung kebenaran, bahwa dia menikah dengan pria yang cukup memukau.     

Baru sekarang, seiring waktu berjalan Aruna bisa membuka hati dan matanya. Berani melihat sosok Mahendra, yang dulu tak sekalipun dia biarkan matanya menatap terlalu lama, penguasa dari planet lain.     

Namun, saat ini yang Aruna rasakan berbeda. Walaupun Aruna lagi-lagi membuat imajinasi yang sama terkait Mahendra benar-benar makhluk dari planet lain, bedanya planet Mahendra saat ini sudah teridentifikasi; planet para Elf, dia peri-peri tampan yang sebenarnya, yang tersesat di bumi untuk hadir membawa Cinta berlebih.     

Terlalu berlebih, bertahan dengan segala cara, memaksakan kehendak supaya di yakini tidak ada cinta melebihi miliknya.     

Imaginator mengendus meminta pria itu mendekati sekali lagi, "Ada yang bisa kubantu? Sayang?" bisiknya.     

"Aku belum mau tidur," _Dan aku tahu kamu sedang tersiksa saat ini_ Aruna tahu Mahendra menahan naluri biologis di dalam tubuhnya.     

"Lihatlah langit-langit kamar dan berhitunglah sebanyak kau bisa," Hendra memberi ide.     

"Bukan ide bagus," Aruna hanya lelah berbaring pada sisi yang sama sepanjang hari, perempuan ini duduk dari pembaringan. Lelaki di sampingnya mengiringi.     

Terasa tangan besar merengkuh, tanpa menyentuh punggung. tangan tersebut meminta Aruna merapatkan tubuhnya pada dada suaminya.     

Aruna tidak serta merta mengikuti kemauan tangan yang mengharapkan dirinya segera bersemayam di pundak Mahendra. Perempuan yang kini terlihat lebih segar dengan rambut sebahu, memilih mengulangi perilaku yang sama. Menapaki dagu dengan rambut halus, "Sudah berapa hari kamu biarkan bulu-bulu ini tumbuh," dia tersenyum seolah baru sadar.     

"semenjak istriku manja, kian hari kian pilih-pilih makanan," jawaban yang tak di inginkan Aruna. Aruna tidak sedang pilih-pilih makanan, entah apa yang terjadi dirinya sendiri tidak begitu paham, dia hanya kehilangan nafsu untuk makan.     

Anggukan dua kali yang di tunjukkan Aruna, semacam kode demi mencukupkan pembahasan usang tentang makanan.     

"kamu tidak apa-apa?" tanya Aruna.     

"maksudnya?" mata Aruna mengarah pada suatu titik. Dan Hendra terkekeh, "aku sudah ahli meredam naluriku, apa kamu lupa aku mampu meredamnya tahunan," dia kembali terkekeh, Aruna pun tak bisa pungkiri bahwa hal semacam itu sangat menyiksa, baru sekarang Aruna menyadari sebab dia merasakan kegelisahan yang sama.     

" kamu mau menikmati malam?" tawar Mahendra. Perempuan tersebut hanya mengangkat kedua bahunya. Aruna tidak mengerti malam model apa yang bisa dinikmati dalam kondisi seperti ini.     

"berjalan-jalan melihat bintang dan udara malam," ia yang sedang bicara sedang meyakinkan.     

"menggunakan motor? Keliling kota?" semacam itu kesukaan Aruna.     

"Mungkin," ucapan Hendra hanya dibalas gelengan kepala, Aruna tak percaya. Mana mungkin Mahendra memberinya izin. Lelaki bermata biru terlalu protektif dengan banyak hal.     

"motornya diganti punggung," dia berdiri, berjalan menuju sisi depan istrinya. Sesaat berikutnya pria itu memegangi kedua telapak tangan Aruna, "Ayo," Mahendra menuntun Aruna menuruni ranjang.     

"nah," ujar mata biru setelah mendapati tubuh istrinya sudah nyaman di atas punggung, "sekarang saatnya mang ojek punggung ajak perempuan cantik jalan-jalan,"     

"banyak prolog," sentil perempuan yang mengharapkan dirinya segera berjumpa malam.     

.     

.     

"Anna? Kamu lihat apa?" Leona bertanya, Anna belum juga tidur, kakaknya sudah terlalu lama berdiri di tempat yang sama. terpaku di depan jendela kaca yang gordennya di singkirkan, matanya terlihat fokus mengamati sesuatu di luar sana.     

Dalam benak Leona mungkin Anna sedang mengamati danau, Sebab di luar sana terdapat danau di sela sela pohon rindang, taman bunga mengelilinginya pada bagian tertentu.     

Akan lebih indah di amati Pada pagi hingga sore hari. Sebaliknya tidak ada keindahan yang bisa ditangkap di malam hari. Di luar sana cenderung gelap. Mungkin sekedar bayang-bayang hitam yang bergerak-gerak. itu pun berupa daun pohon diterpa angin.     

"pernahkah kamu sangat merindukan seseorang?" Anna yang mendapatkan teguran berupa tanda tanya dari adiknya, tidak membuat jawaban apa pun. Ia malah berbalik bertanya.     

"Tentu," _Thomas, mungkin kah yang meneleponku kemarin sungguhan Thomas?_ Leona merindukan seseorang yang di kabarkan telah meninggal walaupun jasadnya belum ditemukan.     

"sama, aku juga merindukannya," suara Anna dari jawaban aneh menyusup pada sela-sela kesibukan Leona mengenang Thomas, kekasihnya yang terpisah jarak.     

Leona tidak menyadari bahwa kakaknya yang enggan kembali duduk di ranjang sebab dia menemukan dua sosok manusia berjalan di bawah sinar bulan. Lelaki mengendong perempuan yang merebut tempatnya. Harusnya yang berjalan di bawah sinar bulan dan berada di punggung Mahendra ialah dirinya.     

"Aku rindu di cintai setulus hati, aku rindu menjadi paling spesial, aku sangat merindukan tempatku," kalimat yang di lontarkan Anna terdengar seperti seseorang yang sedang mengigau.     

Leona kembali menyoroti perilaku ganjil kakaknya yang saat ini kian dekat dengan jendela, dan tangan-tangannya menempel pada kaca tersebut. Masih setia mengamati sesuatu di bawah sana dengan hasrat tinggi tidak mau di ganggu sama sekali.     

_Beraninya merampas tempatku_     

.     

.     

"bagaimana? Mang ojek punggung memuaskan, -bukan?" lelaki bermata biru minta pengakuan atas ide uniknya. Mahendra tidak tahu Aruna sedang tersenyum lebar. Mendongak ke atas melihat bintang. Atau menoleh ke segala Arah menikmati taman di malam hari.     

"Lumayan," jawab Aruna.     

"Lumayan atau lumayan?" Hendra tak suka perempuannya pelit memberi penghargaan. Dia tahu Aruna hanya sedang menggodanya.     

"hehee" perempuan di punggung terkekeh.     

"Angin malam, bintang, dan berada di luar ruangan, menghirup udara dingin alami, tidak buruk, yang kurang hanya kecepatan," monolog Aruna.     

"baiklah pegangi aku kuat-kuat,"     

Detik berikutnya suara tawa pecah, laki-laki yang membawa perempuan di punggungnya berlari mengelilingi taman membentang yang terletak pada sisi kanan rumah induk.     

"Sudah... Haha.." Aruna menepuk punggung. Meminta pria itu berhenti berlari.     

"tak masalah, sudah lama tidak menyempatkan diri olahraga malam hari," rutinitas yang hilang setelah Aruna datang, "ini olahraga malamku yang hilang,"     

.     

"Hen.. cukup," dia menepuk lagi, "cukup! aku mual," spontan ada yang menghentikan langkahnya.     

"Bertahan," Hendra membalik tubuhnya, berjalan gesit kembali ke rumah induk.     

"sudah di tenggo.. huk," ada yang mengunci mulutnya kuat-kuat.     

"Bertahan.. bertahan.." tampaknya Mahendra menuju kamar mereka.     

Aruna menggeleng berulang, sudah tidak mungkin tertahan lagi. Mata Mahendra berputar ke segala Arah mencari tempat yang tepat.     

"Wastafel pantry," kembali berlari lelaki bermata biru berhasil mencapai wastafel dan menurunkan tubuh istrinya. Entah apa yang terjadi suara perempuan muntah berulang kali memecahkan keheningan malam rumah keluarga Djoyodiningrat.     

Seorang asisten rumah tangga yang berjaga di pantry ikut panik menyiapkan minuman hangat.     

"Bagaimana? Apa yang kamu butuh kan?" pertanyaan Mahendra tidak di jawab, Aruna sekedar menggeleng, lalu kembali memegang punggung kran wastafel, Aruna muntah lagi dan lagi.     

"bangunkan suster yang berjaga!" Pinta Mahendra pada asisten yang baru usai meletakkan minuman jahe hangat untuk nonanya.     

"mual dan muntah, gejala umum yang di alami perempuan hamil muda," mommy Gayatri ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.