Ciuman Pertama Aruna

III-72. Seprai Lusuh



III-72. Seprai Lusuh

0Langit kembali menampakkan cahaya matahari setelah awan perlahan menyisih dari tempatnya bersemayam. Mereka yang sedang berbahagia sebab akhirnya punya kesempatan menjalani aktivitas bersama menuruni mobil mewah yang kini di buka sang pria.     
0

Lelaki bermata biru melarang ajudannya membuka pintu untuk sang nona. Mahendra berharap dirinya sendiri yang membuka pintu untuk istrinya.     

Dress berwarna hijau tua pekat bertaburan motif polka-dot putih menjulur menutupi lutut, membuat perempuan sederhana tersebut menjadi manis sekaligus anggun. Di tambah pita yang terikat manis sebagai aksen pada pangkal kancing baju di bawah leher, menunjukkan sang pemakai ialah perempuan muda yang mempunyai daya magis berbeda.     

Ujung lengan panjang dari dress tersebut di genggam seorang pria sebelum akhirnya keduanya memasuki lobi utama dan naik menuju lantai 5, lantai bernaungnya kantor pusat DM grup. Perpaduan unik di mana sebuah perkantoran di paksakan berada di antara fasilitas hotel bintang lima.     

Kini pintu lift terbuka dan sang lelaki mendapatkan dekapan tepat pada tangan sisi kanan tanpa meminta. Dulu untuk dapat pengakuan macam begini saja dia butuh mengancam segala. Sekarang tampaknya ada yang sudah luluh dan sukarela.     

Hendra melepas dekapan Aruna, dia lebih suka mendekap dari pada di dekap. Seiring langkah dua anak manusia, ada banyak pasang mata yang mengusung tanda tanya.     

Mereka yang melihat pasangan tersebut sedang di liputi rasa penasaran terkait status sang CEO yang membingungkan. Akan tetapi menjelma layaknya konfirmasi dari kasak-kusuk yang sedang hangat menyebar keseluruhan lapisan karyawan terkait seratus CEO mereka yang kabarnya rujuk dengan istrinya.     

Sang istri yang di nikahi karena perjodohan. Anak muda yang bahkan belum lulus kuliah dan kini magang di perusahaan Djoyo Makmur Group.     

Lalu bagaimana dengan undangan berisikan pertunangan? Ini yang masih jadi tanda tanya berikutnya.     

.     

.     

Pria yang menyandang status sebagai CEO di kantor ini sedang merengkuh sang istri tatkala memasuki kantor tempatnya bekerja, seperti biasa mata biru konsisten tenang tanpa ekspresi.     

Dia yang terkenal cuek, sekali tertangkap mata menggeser tangan di punggung perempuannya, Mahendra menggerakkan salah satu tangannya ke arah punggung ketika berniat menggiring langkah sang perempuan. Tujuannya supaya Aruna berbelok menuruti kehendak langkahnya.     

"Hen.. kan ruang magangku di sebelah situ, bukan ke arah ruang kerjamu?" Hendra mengerutkan keningnya ketika menyadari sang istrib tak berminat menemaninya menuju sudut utama berupa ruang kerja miliknya.     

"Kamu ikut ke kantorku sebagai istriku atau magang?" tanya sang pria menawarkan sesuatu di balik senyumannya yang misterius.     

"Keduanya,"     

"Yang benar saja, kamu tak mau mendapatkan sesuatu yang special dariku,"     

Bukannya menjawab perempuan Mahendra menekuk mulutnya, "Kenapa kamu mengganggu mahasiswa teladan yang ingin magang di perusahaanmu dengan benar," kalimat ini menggelitik si pria.     

"Begitu ya?" kata Hendra melepas bahu yang dia dekap sempurna.     

"baiklah karena niatmu baik ku izinkan kamu main sepuasmu,"     

"aku bekerja, bukan main-main! Kenapa kamu selalu menganggapku anak kecil? Sungguh menyebalkan!" ketus Aruna, membalik tubuhnya. Memaksakan diri terlepas dan berjalan menuju ruang divisi Desain.     

.     

.     

Hal yang mengejutkan dari apa yang di tangkap Aruna setelah menyusup ke dalam ruang desain adalah bilik-bilik kerja pada divisi desain produk tengah menyajikan wajah manusia-manusia frustrasi hingga seolah-olah tak ada yang melihat kehadirannya. Padahal dia datang telat dan cukup mencolok.     

Kak jou pun tak punya keinginan mendisiplinkannya. Ketika Aruna duduk pada kursinya dia mencoba mencari tahu dengan berbisik serta diam-diam mengirim pesan untuk Dea.     

[Lihat emailmu Aruna, di situ adalah tugas kita bahkan tugas semua orang yang ada di ruangan ini]     

Tak lama setelah mahasiswa desain berikut membaca dengan sesama tugasnya, dia kembali bertanya kepada sahabatbya, [Apakah kita mengerjakannya secara berkelompok?]     

[Kelompoknya telah dihapus, kita mendapat tugas secara individu] Jawab Dea.     

[Yang benar saja, produk dengan kapasitas seperti ini dikerjakan oleh kita??]     

[Kau tahu, yang bisa menyelesaikan misi ini dengan baik akan mendapatkan surat rekomendasi] kembali Dea membalas pesan Aruna.     

[Rekomendasi apa Dea]     

[Bagi karyawan resmi Djaya Makmur Group akan direkomendasikan naik jabatan, sedangkan bagi yang magang mendapatkan rekomendasi surat sakti, yakni di utamakan ketika melamar sebagai karyawan baik di kantor pusat ini maupun di seluruh anak perusahaan Djoya Makmur Group]     

[Wah benarkah? Apa yang sebenarnya terjadi?, Tapi kalau melihat tugasnya wajar sih, tugas membuat desain secara menyeluruh tak bisa di lakukan dalam waktu sesingkat ini] keluh Aruna.     

[Kamu dua hari tidak masuk]     

[Ah benar juga]     

Dea mengetik panjang tentang riwayat desain produk yang harus mereka selesaikan. Terkait penurunan penjualan bahkan penarikan dari pasar sebab kesalahan desain yang melambangkan hal tabu, tidak layak beredar di negara pada kawasan Asia tenggara, yang memiliki ribuan pulau ini.     

Pajang lebar Dea menjelaskan, hingga Aruna kini ikut berwajah frustasi seperti yang lainnya.     

***     

Kamar mandi Djoyo Makmur Group, cukup sepi di jam kerja seseorang bersembunyi di dalamnya dia baru saja menangis sejadi-jadinya. Tampak tisu berserakan dan mata memerah berpadu bengkak.     

Nana tak terima dengan perlakukan Mahendra, tapi dirinya bisa menahannya. Namun pagi ini tidak bisa di pungkiri kasak kusuk karyawan yang sedang menggunjingnya membuatnya tertekan.     

Dia tidak bisa melihat Mahendra terus-terusan bersama istrinya, Mahendra adalah miliknya sejak semula, saat mereka tumbuh bersama dan menjadi remaja. Anak itu dengan entengnya menyandang status sebagai istri Mahendra di Anggap Nana sebatas kamuflase dari pelarian Hadyan nya sebab pria tersebut kesepian. Begitu benak Nana mengamini setiap isi kepalanya.      

Sangat ngeri ketika dia akhirnya melempar kemarahan dengan menghancurkan gulungan tisu yang menjadi fasilitas bilik toilet perempuan.     

Sudah berulang kali seseorang keluar masuk dari kamar mandi, sebagian ada yang terdengar asyik mengomentari keadaannya, tentu saja nana tidak terima. Dan kesalahan tersebut secara tidak langsung terlimpahkan kepada istri Mahendra.     

Perempuan tidak tahu diri yang tiba-tiba datang kembali setelah hampir membuang Hadyan -nya. Jangan berharap anak itu bisa mendapatkan Hadyan.     

***     

Rumah sederhana di kawasan pemukiman padat penduduk, telah lama seseorang terbaring di sana. Di ranjang kayu tua dengan seprei lusuh.     

Lelaki dengan raut muka yang cukup tampan, rambut memanjang hingga bahu. Sayangnya kakinya berwarna merah bekas terbakar, dari pangkal paha hingga ujung tumitnya.     

keluarga sederhana ini menemukan sang pria tergeletak tersebut dari pinggiran sungai. Ayah yang sedang mencari kesenangan dengan memancing malah membawa pulang seorang pesakitan.     

"Kau tahu Ayah hidup kita sudah susah, Kenapa masih punya niat baik dengan menolong orang tak dikenal," perempuan yang bicara tak menyadari bahwa laki-laki yang sering tertidur tersebut kini telah bangun. Dia mulai bisa mengatur kesadarannya.     

"Makan saja susah, kau saja tidak bekerja, aku yang Cuma karyawan toko harus menanggung hidup seluruh keluarga. Dan kau menambahkan satu beban lagi??" Perempuan itu mengomel tiada henti. Sambil menyiapkan sarapan untuk dua orang adiknya yang satu berseragam sekolah dasar dan yang satunya seragam abu-abu putih.     

"Aku akan membantu Kakak bekerja setelah pulang sekolah, diamlah! Mulutmu membuat telingaku sakit,"     

"Riki, Apakah kakak mu ini tidak boleh mengeluh? Ayah! daripada kau cuma berdiam diri di rumah cari kerja sana,"     

"iya.. tiap hari Ayah juga cari kerja,"     

"Dan kau Laila, pulang tepat waktu!" perempuan yang di intip lelaki yang baru duduk dari ranjang berseprai lusuh sedang mengenakan seragam kerjanya. Dia sebentar lagi akan menghilang lalu pulang jam 9 malam. Perempuan itu bekerja 12 jam. Lalu adik lelakinya datang pukul 2 siang, setelah pulang sekolah dia akan membersihkan seluruh rumah. Kemudian menghilang Hingga jam 7 malam. Sedangkan si adik berseragam merah putih pulang jam 12 siang, setelah makan dan berganti pakaian dia juga akan menghilang hingga sore hari.     

Ayahnya pun entah ke mana, yang pasti Thomas ditinggal di rumah ini sendiri. Akan tetapi keluarga ini masih baik, menyiapkan obat-obatan sederhana termasuk makanan yang layak untuk dirinya.     

Pada sore hari, ayah keluarga ini menyiapkan kebutuhan Thomas dan membantunya membersihkan diri.     

Thomas meraih sarapan yang disajikan sejak pagi di dekat keranjangnya. Ranjang lusuh tersebut memiliki kursi kayu yang berfungsi sebagai nakas daripada tempat duduk. Sehingga di atas kursi kayu tersebut terdapat sarapan, dan obat-obatannya tergeletak sembarangan.     

Pria ini makan dengan lahap, dia yang awalnya selalu ingin menyerah saja, tapi tiap kali melihat kerja keras tulang punggung keluarga ini, si perempuan yang sering dipanggil Kiki oleh adik-adiknya dan ayahnya. Membuat Thomas ingin mencoba kehidupan kedua.     

"Kau bisa berdiri?" perempuan itu akhirnya mendatangi Thomas, sepertinya dia akan memastikan Thomas meminum obatnya.     

Thomas mengangguk mendengarkan pertanyaan dari Kiki, "kau bisa membalut luka mu sendiri?" Kembali Thomas mengangguk.     

Perempuan bernama Kiki keluar sejenak, kemudian menyusup kembali. Dia membawa sepasang alat bantu manual bagi seseorang yang kesulitan berjalan.     

"Aku mendapatkan ini dari temanku, harganya murah karena bekas, tak perlu berterima kasih, cukup pastikan kau segera sembuh dan pergi dari sini," perempuan tersebut ketus meninggalkan Thomas seorang diri.     

"Terima kasih," tetap saja Thomas menguraikan ucapan terima kasihnya.     

"Kau!" gadis itu berhenti melangkah, keberatan dengan ucapan Thomas dia berbalik sejenak. Sesaat kemudian akhirnya membuat langkah akan pergi.     

"Apa aku boleh meminta sesuatu," ungkap Thomas dengan nada lirihnya.     

"Asal tidak menyusahkan," kalimat Kiki terdengar tidak menyenangkan.     

Tapi sepertinya cara bicaranya adalah bawahan.     

"boleh aku meminjam Handphone mu?" izin Thomas, di rumah ini hanya Kiki yang memiliki handphone. Jadi perempuan itu satu-satunya yang bisa dipinjam.     

"kau ingin menelpon seseorang?"     

"Iya,"     

"Apa dengan menelepon kamu bisa pergi dari sini lebih cepat?"     

"kemungkinan besar iya,"     

"oke.. nanti malam, karena saat ini aku sudah telat untuk berangkat kerja," Thomas mengangguk ringan. Dan kembali kalimat Terima kasih dia tuangkan.     

"Kenapa kamu suka sekali mengucapkan terima kasih! Aku tak suka mendengarnya," kiki tampaknya memang punya kebiasaan bicara yang keras dan menyebalkan.     

"karena hanya itu yang aku punya saat ini," dia yang bicara kemudian memberanikan diri menatap Kiki.     

"dan aku tidak suka, jadi simpan apa yang kamu punya itu," perempuan ketus menghilang dari pandangan, saat kemudian bunyi laju motor terdengar nyaring penyusup di telinga Thomas.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.