Ciuman Pertama Aruna

III-39. Buih-buih Kecil



III-39. Buih-buih Kecil

0Di malam dingin sebuah tubuh yang masih bernafas bergerak meronta-ronta tatkala dua orang bertubuh kekar menyeretnya. Dia benar-benar di seret mendekati tepian jembatan. Mulutnya yang terbungkam oleh lakban di buka pada akhirnya.     
0

Pria yang menyadari bahwa ajalnya akan menyapa, berteriak keras meminta tolong. Apa daya tempat ini amat sepi di malam hari. Tinggal laju mobil yang bergerak cepat melesat di malam gelap, tanpa peduli dia yang ringkih ini akan di buang ke dalam aliran arus sungai lebar memanjang di bawah sana.     

Kakinya yang terluka dari paha hingga tumit masih menganga dan mulai meneteskan darah, sebab perban itu sudah koyak hasil di seret dua pria yang kini mengakat tubuh tak berdaya dan "Byur" Thomas bahkan tak berteriak lagi ketika dirinya di jatuhkan. Pria ini pasrah tatkala air secara perlahan menenggelamkannya.     

"Thomas pastikan saham yang aku beli berjalan sesuai kendali," suara Hendra menyusup di telinganya     

"Ya tuan, oh' asal Anda tahu kakek anda juga telah membelinya,"     

"Ah sial, kenapa kakekku selalu lebih cepat dariku,"     

"Saya juga tidak tahu,"     

.     

"Berapa orang yang menyusup di Tarantula grup?"     

"Ada 12 orang sayangnya hanya ada satu orang saja yang berada di kantor pusat dan posisinya hanya office boy,"     

"Tak masalah, kalau mereka membuka lowongan lagi pilih tim mu untuk menembus kualifikasi mereka,"     

"Mobilmu sudah saatnya ganti, kau bisa ambil di depan. Aku minta maaf belum bisa memberikan kesempatan kuliah S3 yang kamu inginkan, kami membutuhkan kecerdasanmu, juniormu belum ada yang mumpuni,"     

"Tetua apa Leona bisa kembali ke Indonesia?"     

"Tidak ada kesalahan yang bisa terampuni kecuali dia datang dan membuat pengakuan serta siap menerima hukuman,"     

.     

"Bluuss" udara dari mulut seseorang yang tenggelam hampir ke dasar sungai tersembur keluar.     

"Aku tak boleh mati, ayah membutuhkanku, ayah yang memberikanku hidup layak selama 20 tahun, apa salahnya ayah tahu kenalan anaknya, apa salahnya ayah menghukum dirinya, malu? Tak masalah, dari pada mati sia-sia," kembali buih-buih kecil terbang dari mulut seseorang bernama Thomas yang bermakna saudara kembar.     

***     

"Aaargh.. gawat!! Aku terlambat!" pekik Aruna berlari ke kamar mandi.     

"Terlambat?" telinga sensitif Hendra mendengar kalimat akhir teriakan istrinya.     

"Terlambat??" di buru-buru bangkit melihat tanggal yang terpajang pada nakas. Jemari laki-laki ini menyusuri deretan angka-angka yang tersaji.     

"Hem.. tanggal 5 masih seminggu lagi??" sedikit bingung, "terlambat apa," bicara sendiri.     

Tanggal 5 sudah di lingkari oleh lelaki yang berhasrat memiliki bayi, dirinya terdoktrin sebagai suami yang wajib berpacu menggalakkan proses supaya hasil segera terwujud.     

Hendra bangkit dari duduknya, tak masalah mencari tahu sebelum tanggalnya. Pria ini mengeluarkan testpack yang sudah dia siapkan di dalam laci nakas. Berjalan lincah di hadapan kamar mandi dan lekas mengetuk pintu.     

"Bentar.. mandiku cepat kok.." dia yang di dalam berteriak kencang.     

"Buka sebentar sayang.. kamu harus mencoba ini," kata Hendra meminta istrinya memahami bahwa ketukannya berarti.     

Dan pintu kamar mandi terbuka sedikit, "Ada apa?" tanya Aruna di sambut dengan sodoran tangan nakal Hendra menyusupkan alat uji kehamilan serta sentilan jahil pada tubuh tersembunyi.     

"Ih'," perempuan tersebut membalasnya dengan memukul punggung tangan sebelum akhirnya kembali menutup pintu.     

Hendra mengetuk-ngetukkan jemarinya pada pintu kamar mandi, selang beberapa ketukan pintu kamar mandi terbuka. Dan menyajikan tubuh perempuan berbalut piama handuk sambil menggerutu tak jelas.     

"kau itu! Benar-benar terobsesi dengan kehamilanku?" Aruna marah-marah.     

"Belum satu bulan kita tidur bersama," kata-kata ini di lontarkan Aruna sambil meraih tangan Hendra dan meletakkan testpack di tangan pria tersebut.     

"Katanya terlambat,"     

"Aku terlambat praktik kerja bukan yang lain," Aruna menggerutu mengenakan baju secepat dia bisa.     

"Aduh lupa menyiapkan pakaian pula, yah yang mana ini," tidak ada satu pun yang masuk akal di almarinya untuk di kenakan di lingkungan perkantoran.     

Giliran akan minta ijin berangkat bersama Hendra, lelaki tersebut sudah keluar kamar setelah mendapatkan panggilan.     

Aruna buru-buru membuka kantong belanja berisikan make up, menumpukan semua itu di atas kasur dan memilih memilah termasuk mengenakan semampunya.     

Dia keluar kamar masih setengah berlari, ketika Hendra di minta izin untuk pergi pria ini menyingkir tak ingin di ganggu. Seperti biasa meletakkan telunjuknya di atas bibir sambil berucap "Huss" melarang Aruna bersuara.     

Hendra sibuk dengan telepon penting yang mengusung kode percakapan rahasia. Dalam imajinasi Aruna Hendra punya seribu sisi tersembunyi di balik handphonenya.     

Ya sudah Aruna berangkat mengenakan motor metic dengan mulut menggigit roti di mulutnya. Meluncur secepat kilat.     

***     

"Ke mana anak itu pergi!" Wiryo menggertak semua orang di meja makan. Sarapan pagi ini isinya kemarahan.     

Gayatri memilih menyingkir, sedangkan Nana sudah menghilang sejak pagi. Kabarnya hari ini dia dan CEO alias Hendra memiliki Agenda bersama yakni peresmian perpustakaan daerah. Akhir dari Dream City.     

"Bisa-bisanya kau tidak tahu di mana dia tinggal!" Andos yang di marahi terdiam seribu bahasa.     

"Sukma masuk -lah," perintah Wiryo yang tak mau kemarahannya di dengar sang istri. Sukma yang selalu menuruti perintah, perlahan melangkah pergi di ikuti para asisten di sekitar yang secara otomatis memilih langkah pergi. Ini semacam aturan tak tertulis pada rumah induk Djoyodiningrat.     

"Jika dia tidak tinggal di hotel, jadi dia tinggal di mana?" Wiryo mendesak Andos dan Andos nyatanya malah menggelengkan kepala. Dia sama sekali tidak membuat penyelidikan yang di perintahkan. Wiryo menyadari ada sesuatu sampai-sampai Andos mengabaikannya dan terbungkam saja tiap di tanya Hendra ke mana.     

"Panggil Herry, hubungi dia sekarang biar aku yang bicara," desak Wiryo pada Andos. "Ajudan itu kesayangan Hendra, dia pasti mengikuti tuannya ke mana pun."     

Andos tertangkap menghembuskan nafas, bukan sekedar karena dia tidak menjalankan perintah tapi adanya informasi lain yang tak kalah penting, "Tuan sebelum mencari tuan muda Hendra, saya punya informasi yang jauh lebih penting."     

"Apa yang jauh lebih penting selain mencari tahu tiap malam cucuku tidur di mana, aku curiga dia melakukan kebodohan," Wiryo masih konsisten dengan rasa khawatirnya yang di tumpahkan dengan kemarahan.     

"Tuan muda menjalankan pekerjaan dengan baik, aku rasa dia hanya membutuhkan tempat pulang yang nyaman," dalam hati andos 'dia pulang ke pelukan istrinya'.     

"Semalam Thomas bunuh diri, berita ini telah sampai pada tuan muda, saya tidak tahu apakah hari ini mas Hendra bisa menangani, sebab dia memiliki jadwal lain yang tak kalah penting," Riswan akan kecewa jika Hendra tidak hadir dalam peresmian akhir Dream City.     

Bangunan perpustakaan yang memakan waktu hampir dua tahun telah usai dan telah menjadi simbol usainya proyek Dream City. Kota dengan yang akan menjadi impian banyak orang.     

"Thomas," mata Wiryo melebar.     

"Kenapa dia?" suara Wiryo bergetar.     

"Thomas pelaku pengeboman ruangan Vian," Jelas Andos.     

"kau yakin?" sela Wiryo.     

"Berdasarkan temuan Pradita terbaru, terkait siapa yang memasuki ruang server utama terakhir. Data sidik jari dan kornea mata Thomas yang terbaca sistem,"     

"Bagaimana putra putraku bisa saling menjatuhkan," guratan kekecewaan tersaji di wajah tua Wiryo.     

"Antar aku ke TKP," pinta Wiryo.     

"Saya tidak menyarankan," sela Andos.     

"kenapa?"     

"Thomas melempar tubuhnya ke dasar sungai, pihak kepolisian sedang melangsungkan pencarian. Setelah seorang warga menemukan kursi roda di atas jembatan,"     

"Baik, pinta orang melakukan pencarian, aku mau jasad Thomas di makamkan dengan baik," Wiryo tertangkap memejamkan matanya. Duka paling dia takutkan adalah menyerahnya seseorang.     

Putrinya terselamatkan walau berakhir seperti itu, istri cucunya terselamatkan walaupun harus memberi luka pada Mahendra cucunya sendiri, dan kini putra angkatnya sudah terlambat untuk di rangkul.     

"Bawa aku ke lantai D kumpulkan putra-putriku, aku mau berbicara dengan mereka," pinta Wiryo.     

***     

"Ke mana istriku pergi!?" suara Hendra mengejutkan Herry yang sejak tadi menunggu tuannya sibuk menerima panggilan.     

"Nona bilang dia sangat terlambat, nona berangkat dengan motornya,"     

"Sial!" desah Hendra melempar handphonenya ke atas meja.     

"Kenapa kau masih di sini! Cari dia! Awasi dia! Saat ini segalanya tidak baik!" Entah apa yang terjadi Hendra marah-marah pada Herry yang memilih keluar dengan segera memacu mobilnya mencari nona.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.