Ciuman Pertama Aruna

II-168. Elegi



II-168. Elegi

0"Kubilang jangan lakukan itu!!,"      
0

"Kenapa??!" sungguh Aruna sangat bingung.      

"Jantungku bisa melompat, dia akan jatuh dilantai," bisiknya lirih, sangat lirih hampir tidak terdengar.      

"Hehe," Aruna tertawa renyah di buatnya, "coba lebih keras lagi," tingkah Hendra berhasil membangkitkan niat jahil gadis ini, dia tidak bisa berhenti mengganggunya.      

"Kalau jatuh kasih aku saja," katanya masih senang mengganggu.      

Dan Hendra konsisten terdiam membeku. Dia benar-benar sedang canggung melirik sekejab-kejab  gadis yang masih menempel kepadanya, hingga si mata coklat di jatuhkan dan dia naik ke atas ranjang.     

"kalau kau berani membuatku malu lagi, lihat! akan kubuat kau tak bisa bergerak?!" kata cucu Wiryo sudah mengungkung Aruna dengan kaki dan tangannya. Postur blasteran ini membuat tubuh kecil itu tidak mampu berkutik.      

Sejenak kemudian mereka saling melempar pandangan saking malunya. Dan Hendra akhirnya menjatuhkan tubuhnya di sisi kiri tubuh perempuannya. Pria ini menyusupkan tangannya di sela tangan sang perempuan,  melintasi perut, sejalan kemudian menariknya, mendekatkan tubuh mungil itu ke dalam dekapannya, mengunci gadis yang terbaring.      

Selaras dengan caranya meletakkan dagu pada pundak yang tergeletak memikat, sambil memastikan indra penciuman dapat menjangkau sudut leher Aruna. Seperti seseorang yang lama tidak menghirup udara laut segar atau udara persawahan sejuk. Pria bermata biru menghirup bau tubuh perempuan memerah ini sebanyak-banyaknya.      

.     

.     

Telah lama dia kesulitan bernafas.     

.     

Gara-gara larinya pereda hari-hari suram,     

Sempat terlampau jauh dan terlampau lama.      

Sampai-sampai namanya bukan lagi rindu.      

Jauhnya lebih menyakitkan dari itu.      

.     

Elegi[1] paling menghunjam, menusuk, merasuk,     

Merusak segala rasa kedamaian jagat raya.     

Dia kesakitan, di seret rentang waktu.     

Bilur-bilur dua jantung terluka masih terasa.     

.     

Rindu macam apa?      

Hingga perjumpaannya membumbungkan rasa bahagia tak terkira.     

.     

.     

"Jangan pergi lagi!" pintanya,      

"Ketika kau pergi untuk ke dua kali, hari itu juga kau akan membuat akalku hilang seketika?"      

"Aku," Si perempuan berucap akan tetapi di hentikan.      

"Kali ini aku yang bicara," dia hanya mau di dengar, bukan untuk di komentari.      

"Aku bukan mencintaimu, akan tetapi membutuhkanmu, seperti udara bagi makhluk yang menghirupnya. Jadi kepergianmu akan membunuhku,"      

Aruna memiringkan tubuhnya, menghadap, menangkap Mahendra. Mengintip wajah pria yang bersembunyi di ceruk lehernya. Ternyata lebih dari prediksi Aruna, pria dewasa ini benar-benar sedang tersedu di sana.      

Lalu buru-buru merambat, memeluk dan bersemayam di dada perempuan yang menangkap, untuk memberikan kehangatan.      

Dia yang di sebut lelaki bermata biru, kini bersembunyi di bawah dagu perempuannya. layaknya anak laki-laki yang ketakutan akan malam gelap dan dinginnya kesendirian.      

"Apa aku se-berharga ini?" tanya gadis yang bahkan tidak percaya diri, karena merasa terlalu di cintai. Dia yang terbenam di sana mengangguk ringan.      

"Istirahatlah.. Tidak akan ada yang meninggalkanmu," gadis yang tumbuh menjadi perempuan dewasa, seraya berjanji di dalam hati, akan lebih mengenali lelaki yang tampaknya terlalu ketergantungan terhadap dirinya.      

"Baru ini aku merasa bahagia secara berlebih," katanya lirih, sangat lirih.      

"Sampai aku takut semua ini tak akan berlangsung lama. Seperti mommy-ku yang berubah tiba-tiba," ternyata Mahendra belum tidur, padahal dia sudah berada di sana cukup lama.      

"Tidak ada yang akan berubah, hanya saja hidup memang begini bukan?" si perempuan melempar pertanyaan.      

"Silih berganti sedih dan bahagia," jawab Hendra. "sesedih apa pun asal kamu bersamaku, aku siap melewatinya," kembali dia bermonolog.      

Ada senyum terurai dari bibir gadis yang mendekapnya. Walau tidak terlihat, hal itu tertangkap. Dia merasakannya, koneksi dua rasa pada batin manusia kadang kala menakjubkan. Seperti ibu yang tahu anaknya sedang sedih dan susah walau dia jauh di ujung sana. Atau suami istri yang tahu ada sesuatu walau tak sempat saling terbuka.      

"Aku sudah membuat garis bawah," Mahendra menceritakan hasil pemikirannya.      

"Garis bawah??" lagi-lagi perempuan ini di buat kelimpungan sendiri pada pria yang terlalu hobi memanfaatkan otak kirinya.      

"Garis bawah rasa syukurku," dia terhenti sejenak, bergerak-gerak mengeratkan pelukannya, "Asal ada kamu di sisa usiaku," monolognya kembali menerbitkan senyum perempuan yang dia ajak bicara.      

"se- rinci itu kau memikirkannya?" Aruna dapat kejutan lagi pada tiap pernyataan unik yang di paparkan Mahendra.      

"seseorang harus punya titik syukur, supaya dia tidak terus menerus mengejar kata bahagia yang sebenarnya berupa angan maya," definisi Hendra kadang kebangetan, kelewat out of the book, kadang bisa di lihat kebenarannya tanpa perlu di buktikan. Kejutan dari seorang pemikir yang sering kali merajut Aksioma tanpa dia sadari sendiri.      

"kalau kamu? Apa titik syukurmu?" pria ini melempar kalimat tanya, dia memang sedang penasaran.      

"Aku?" Aruna mencoba menghidupkan otaknya, lalu dia menggeleng, "jujur aku belum tahu,"      

Dan lelaki bermata biru terkekeh mendengar jawaban apa adanya yang sudah dia duga hasilnya, alias pasti perempuan ini akan bingung sendiri.      

"Jangan tertawa.. Aku memang tidak tahu?" kembali gadis ini mencoba merenungi, mengerutkan alisnya berulang kali. Tampaknya dia sedang memacu susunan neuron berantakan yang tak juga membuahkan.      

Sejalan dengan perilaku lucu, ada yang rela melepas pelukan erat sampai menyusahkan perempuan istirahat. Hendra penasaran, merayap lebih ke atas lagi agar bisa melihat ekspresi lucu Aruna.      

"Sudah kau temukan titiknya?" kembali mata biru menggoda.      

Gadis tersiksa karena dia tiba-tiba merasa bodoh seketika, sebab tak tahu titik syukur yang entah apa itu namanya. Mendesah nafas seperti sedang gelisah, lalu berkomat-kamit lirih, "belum, aku juga belum tahu ke depan aku ingin jadi apa dan bagaimana?"      

"Dilema perempuan dua puluh tahun, yang hidupnya bisa saja," tambah Hendra, seolah menyematkan beban di ruang spasial pada isi kepala Aruna.      

"Begitu ya.." gadis ini pasrah, "padahal hidupku tidak mudah, kenapa aku tidak tahu ya.." ujung-ujung kalimatnya di panjangkan tanda dia belum rela tak bisa pamer titik syukurnya.      

"Boleh aku membantu?" tawar Mahendra, sok bijaksana. Padahal tidak ada yang namanya bantuan terkait perenungan dari narasi panjang kehidupan seseorang ketika ingin menemukan makna mendasar dirinya ada, untuk meraih apa.      

Gadis polos ini mengiyakan, pasrah saja. Daya pikirnya belum sampai ke sana.      

"Bagaimana kalau titik bahagiamu ketika nanti terlahir bayi kita dari rahim ini?" senyum Mahendra terbit. Mengelus perut Aruna terang-terangan. Ada yang tiba-tiba memerah karena terhantam rasa malu, tentu saja itu Aruna. Gadis ini merangsek, menarik hem si pria dan buru-buru bersembunyi di dada lelaki bermata biru yang memiringkan tubuh kepadanya.      

"Kau setuju?" tanya Hendra yang tertular rasa malu Aruna, ikutan senyum-senyum sambil memberi penawaran pada gadisnya.       

"Entah -lah,"      

"Kau masih bingung??"      

"Iya,"      

"Tak apa, kita perlahan saja,"      

[1] Elegi : syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita     

[2] Merangsek : masuk lebih dalam     

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.