Ciuman Pertama Aruna

III-17. Pita Keemasan



III-17. Pita Keemasan

0Hendra telah usai mengganti hem-nya dengan hem baru, dia bergegas memasuki lift dari kamar pribadinya di lantai tertinggi menuju lantai lima kantor pusat DM grup berada.     
0

Pria ini beberapa kali memandangi jam yang terletak di pergelangan tangannya. Tampaknya menatap gerak jarum jam adalah kebiasaan yang kian repetitif dalam keseharian Hendra. Apalagi semenjak Aruna berkenan menyarahkan diri seutuhnya.     

Perempuan tersebut bukan sekedar bagian dari tanggung jawab seperti pada perjalanan pernikahannya dulu. Kali ini lelaki bermata biru berusaha keras untuk memprioritaskan putri Lesmana. Walaupun dia harus berjuang membagi tanggungjawab besar lainnya yakni jabatan yang ia emban.     

Mahendra berusaha menyelesaikan pekerjaannya seefisien mungkin, beberapa kali menolak menghadiri undangan pertemuan yang dirasa kurang penting. Bahkan mendelegasikan bawahannya dalam kegiatan kunjungan ke anak perusahaan atau meeting tertentu.     

Hal yang paling di khawatirkan lelaki bermata biru hanya satu, kalau-kalau kelakuannya ketahuan sang kakek. Tetua pasti akan menegurnya, ketika dirinya di temukan berani menolak beberapa klien sebab ingin pulang lebih cepat, apa lagi wakilnya Surya masih cuti.     

Akan tetapi dirinya tak boleh lalai terkait fakta bahwa perusahaan ini di bangun dengan dedikasi tinggi, dan di dukung gelombang besar individu-individu yang berperan sebagai karyawan. Mereka meletakkan harapan dari gaji yang tiap bulan di dapatkan.     

Seandainya Djoyo Makmur grup di huni 2000 karyawan berstatus ayah, bisa dibayangkan akan ada sekian kali lipat anak-anak yang menaruh masa depan dengan bergantung pada perusahaan DM grup.     

Seandainya ada 1000 ibu atau 1000 lajang yang terpaksa sebagai tulang punggung keluarga, hal yang sama juga turut menjadi bagian penting, bahwa sesuatu yang besar tegak lurus dengan tanggung jawab yang besar.     

Itu sebabnya tidak banyak orang yang mampu meraih puncak kesuksesannya, sebab tidak banyak yang berkenan mengambil tanggungjawab menuju keinginan tertingginya. Tanggungjawab konsisten sampai akhir.     

Kini Mahendra melangkah keluar dari pintu lift, dia masih sama seperti sebelum-sebelumnya tidak begitu menanggapi deretan karyawan yang berusaha menyapanya. Hendra hanya melihatnya sekilas sambil lalu.     

Akan tetapi giliran handphone-nya mendapatkan pesan, pria ini secara mengejutkan menampilkan lesung pipinya. Sesuatu yang amat sangat mahal di dapati para karyawannya. Hendra menerbitkan senyum sumringahnya sambil jalan.     

Seorang perempuan di ujung sana memiringkan kepalanya lalu berswafoto, Aruna sudah berada di dalam kelas dan tampak cantik dengan rambut terurai.     

Senyuman Hendra sejalan dengan arah langkahnya yang mulai salah. Herry menarik tubuh tuannya karena hampir saja dia menabrak pintu kaca, pria ini terlalu fokus pada handphone yang ada di tangan. Tak sadar ada banyak pasang mata yang melihatnya, mereka saling melirik ketika mendapati CEO -nya sedikit berbeda, termasuk terlihat terlalu tampan dengan senyum di bibirnya.     

.     

.     

"Surya??" seolah seperti adik bertemu kakaknya, Hendra demikian senang Surya sudah berada di tengah-tengah tim corporate secretary. Lanjutkan pekerjaan yang semalam belum usai.     

"Hai kenapa kau sudah masuk?" tanya Hendra.     

"Dea sudah banyak cuti kuliah untuk persiapan pernikahan, jadi dia ingin masuk kuliah, dia perlu menyusul ketinggalan, aku tidak mungkin berdiam diri di rumah," Surya bicara sambil bergerak memeriksa pekerjaan anak buahnya, "Hubungi Nara&tv, laporannya belum balance," ucapannya pada sela-sela percakapan dengan Mahendra. Surya meminta anak buahnya melakukan ini itu.     

Beberapa menit berlalu ada yang mengetuk pintu, Nana muncul dari sana. Sejenak tertangkap beberapa karyawan mulai berbisik akan tetapi baik Surya dan Hendra cenderung tidak peka terhadap hal-hal tersebut.     

Nana di bantu salah seorang asistennya menyerahkan undangan resmi sebagai tiket masuk pesta tiga tahunan Djoyo Makmur grup. Tidak ada yang aneh kecuali seseorang membuka pita keemasan yang tampak elegan tersebut. Akan tertera tulisan engagement dan itu mengejutkan tiap-tiap orang yang membaca.     

"Bos kita jadi cerai dong sama istrinya,"     

"Kasian sekali gadis itu,"     

"tapi keduanya sama-sama selingkuh kan?"     

"Aku rasa tidak, kalau kita lihat potongan video kesaksian Tania dan Danu Umar, mereka mengaku bersalah tapi tidak membenarkan perselingkuhan,"     

"kirim ke aku, aku juga mau lihat,"     

"Aku pikir dia akan kembali pada Tania, secara artis itu cantik banget"     

"Bagiku sekretaris Nana lebih cantik, hanya saja dia sedikit angkuh untuk berbaur dengan karyawan biasa seperti kita,"     

"Aku rasa istrinya terlalu polos, makanya kurang menarik,"     

Surya bergerak memungut undangan dari tangan sekelompok anak buahnya yang sedang merumpi. Sekejap mereka terdiam.     

Dan betapa terkejutnya Surya mengamati selipan kalimat engagement Mahendra & Anna. Surya menyimpan undangan tersebut di sakunya dia belum bisa mengkonfirmasi kepada Hendra.     

Sebab kini sahabatnya tersebut sudah ke luar ruangan bersama calon tunangannya, tadi Nana mengatakan ada yang mencari Mahendra.     

***     

"Apa yang terjadi pada bajumu Aruna?" Dea menamati tampilan Aruna. Sisi samping kaosnya tertangkap basah dan luarannya yang berwarna biru dimasukan ke dalam kantong plastik. Dea menduga luaran tersebut juga basa bahkan kotor.     

"Ah' bukan hal besar," kata perempuan bercelana jeans biru gelap duduk di hadapan Dea.     

Sesaat berikutnya Lily datang membawa pesanan mereka, tiga mangkuk bakso dengan jus aneka rasa.     

Ketiganya sedang menghabiskan waktu istirahat siang.     

"Bagaimana dengan pernikahanmu?" Aruna melempar pertanyaan yang turut menyulut rasa penasaran Lily.     

"Menikah itu ternyata tak sesuai ekspektasi," jawaban Dea menggiring tawa ringan Aruna dan Lily.     

"Kamu pikir kamu akan berada di Surga setelah menikah," canda Aruna.     

"Berada di pelukan Surya baru bener," ungkapan Lily menggelitik hati.     

"Hehe," ini tawa malu-malu Dea.     

"Emang apa yang terjadi?" Aruna mencari tahu keresahan Dea.     

"Pak Surya terlalu rapi, menyiksa banget tahu.." dan dua lawan bicaranya tertawa terpingkal, "untung ibu dan adik belum pindah, entah -lah ibu bilang kita harus saling beradaptasi dulu baru nanti kalau udah lama ibu mau pindah, aku baru sadar adaptasi yang di maksudkan ibu."     

Aruna menghentikan makanya ketika mendengar kalimat sahabatnya, "Kau belum apa-apa Dea, Hendra lebih parah, dia mengatur semua hal dari makananku bajuku sampai hal pribadiku di atur."     

"Sama saja, pak Surya merapikan ulang apa yang aku sentuh. Aku terlihat layaknya anak TK yang sedang main dan dia pengawasannya," Dea mengeluh lagi.     

"Apa kalian tidak punya pembahasan lain? Jomblowati sedang mengenaskan di sini," Lily menggerutu.     

"Kau terlalu menghayati patah hatimu dengan Timi, eh Tian Mizan, ah entah siapa namanya," Dea berujar, "Tunggu, aku kayaknya akan satu kantor dengannya," Dea menunjukkan surat tugas PKL yang baru dia ambil dari gedung administrasi kampus.     

"Sama," seru Aruna, "padahal aku mau bertukar denganmu, ternyata kau juga di tempatkan di desain produk DM grup ya."     

"Bagaimana rasanya sekantor dengan suami kita? Tiga bulan pula," Dea kembali mengamati surat tugasnya, "aku jadi menduga apakah ini ada campur tangan mereka," Lily mengembik kertas di tangan Dea, "kalau kamu Aruna, pak Surya pernah bilang dia akan mengusahakanmu PKL di kantornya supaya kau dan suamimu bisa kembali dekat."     

"Kau tidak tahu Dea? Mereka sudah rujuk diam-diam," suara Lily merendah.     

"Benar kah??" Dea begitu senang beranjak dari duduknya sejalan kemudian memeluk gemas Aruna.     

"Aku lebih bahagia Aruna kembali sama Damar," ini suara Lily tak suka melihat kebahagiaan Dea, lebih tepatnya gadis ini masih kesal di bully Mahendra.     

"Lily, kau ini!" Dea mencubit gemas pipi Lily.     

"Suami Aruna terlalu menakutkan," Lily tidak terima.     

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Surat Ajaib kalau kita semua harus PKL?" tanda tanya Aruna membuat ke-tiga spontan mengurai perenungan.     

***     

"Andos, tepat sekali aku juga akan mencarimu," orang kepercayaan tetua Wiryo terlihat berdiri sejenak menyambut kedatangan Hendra. Lalu keduanya duduk pada sofa di tengah-tengah ruangan.     

"Anda di minta menemui tetua Wiryo," ucapan Andos seiring caranya mengamati Nana yang duduk di dekat Mahendra.     

"Dia pasti sudah tahu kejadian di lantai D," Hendra mengkonfirmasi pemahamannya. Dan Andos terlihat mengangguk.     

"Kamu juga di minta hadir, pada makan malam keluarga hari ini Hendra," Nana menyela percakapan mereka.     

"Apa itu harus?" kata tanya ini menunjukkan bahwa Hendra keberatan.     

"Yang meminta bukan Oma Sukma, tapi Opa Wiryo," ucapan Nana sudah cukup jelas bahwa makan malam hari ini tidak akan bisa di tolak.     

"Mulai hari ini anda tidak di izinkan berkeliaran sembarangan," Andos menambah pesan dari tetua.     

"Kenapa??"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.