Ciuman Pertama Aruna

II-144. Sekian Inci



II-144. Sekian Inci

0Lima belas tahun sudah, aku membuntutinya. Sebagai orang biasa yang terpaksa menjadi temannya karena mendapat charity dari keluarga Djoyodiningrat.      
0

Hingga aku benar-benar bersahabat, hidup dan tinggal bersama, susah senang seperti saudara. Semua tentang Mahendra seolah telah aku kuasai. Kecuali satu tahun ini setelah dia ku dapati mengidap PTSD.      

Aku sempat tak yakin dia bisa menyembunyikan Serapi itu dariku.      

Tapi bagiku hal itu bukan sesuatu yang berarti. Hendra kutemukan kian manusiawi, dia punya rasa dan jatuh cinta. Walau semua orang mengkhawatirkan perilakunya yang  sempat mencekik leher sang istri atau mengurung gadis tak berdaya itu hingga pingsan. Aku tidak menemukan seberkas ungkapan cela pada diri Mahendra. Dia terlihat seperti seorang laki-laki yang sedang berjuang menyembuhkan diri.      

Namun malam ini, aku tidak menemukan rasa jenakku berada di sekitar pewaris tunggal Djoyodiningrat. Beberapa bulan ini setelah aku mengetahui keberadaan lantai D dan kadang kala di minta menemaninya. Aku selalu mendapat pertanyaan yang serupa tatkala kita usai meninggalkan ruang rahasia di bawah tanah tersebut.      

"Kau takut padaku?" dia selalu melempar kalimat tanya serupa berulang.     

Tentu aku menjawab 'tidak', tak sedikit pun aku menemukan rasa takutku. Hendra masih sama di mataku. Dia sahabatku, bosku yang perfeksionis dan kadang kala 'sialan'.      

Sayangnya malam ini jawaban yang sama tidak mampu ku temukan pada dirinya.     

Aku berjalan di belakang Mahendra, seperti biasanya. Membuntuti sahabatku yang jalannya tak mau diganggu.      

Dia minta setiap orang menyingkir pada tiap langkah yang di ambil. Matanya tak lagi teduh. Menyala penuh kemarahan. Memeriksa setiap gerakan: lari ringan, cepat dan pergerakan lamban pun tertangkap.      

Entah bagaimana dia menyeleksi tiap-tiap orang yang di curigai sebagai pegawai utama klub ini atau pengawal pribadi orang yang di cari.      

Hendra seolah sudah hafal gerak gerik tubuh buruannya dan dengan sigap merebut senjata api di dalam Jaz pengawalnya, lalu menembak mereka tepat di kaki. Dia layaknya sniper ulung, tidak meleset sedikit pun, walau sasarannya dalam posisi bergerak, kelabakan atau pun berlarian menjauh.      

Tiap kali dia mulai mengarahkan benda tersebut, kucoba mendekatinya. Kukatakan bahwa mereka cuma pekerja, seperti diriku yang harus menuruti atasannya. Sebagian berhasil, sebagian lagi tak kudapati kata-kataku manjur.      

Malam ini, sempat ku berpikir dia bukan lagi orang yang kukenal. Manusia-manusia berlarian darinya. Layaknya Gangler (moster penggangu)  pada sereal Lupinranger  (tokoh Hero berbaju berwarna-warni) yang aku gilai kala usiaku masih satu digit.      

Apalagi setelah pewaris ini mencapai lantai dua. Tak ada pintu yang di sisakan. Entah pengawalnya di minta membuka atau dirinya sendiri yang akan mendobrak paksa. Yang pasti pintu tersebut mendapat dorongan, tendangan, bahkan tembakan senjata api kala hendel pintu kian susah di jinakkan.      

Aku selalu mendapati orang yang mendekam di dalam ruangan, ketakutan. Di sisi lain sorot mata sahabatku terbaca memeriksa tiap perempuan. Dalam gerakan menakutkan ada satu kesimpulan yang masih mampu meredam hatiku. Hendra sedang mencari gadis itu, walau caranya melewati batas wajar.      

Hingga kami sampai pada pintu yang tampak berbeda, buru-buru dia dobrak tempat itu, tak memberi kesempatan pengawalnya membantu.      

Kami menemukan seseorang memegangi Handphone-nya, menggigil, mengekspresikan kengerian. Ruangan ini masih hangat, baunya bergulat campur aduk jadi satu. Terasa dengan nyata tempat ini baru di tinggalkan. Kusadari Mahendra menyentuh beberapa benda yang menunjukkan fakta: tembakau dipaksa mati sayang masih berusaha bertahan dengan titik merah api, minuman dengan air bergoyang lambat, bekas tempat duduk hangat.      

Dan satu lagi, tas nyentrik buatan tangan. Hendra mengenalinya, buru-buru mengeluarkan isinya. Dia dapati seperangkat benda-benda sederhana yang mengusung kebenaran komplikatif [1].      

Mata birunya menajam, menyudutkan pria berdiri ketakutan. Sambil memegangi handphone sang istri yang tertangkap retak pada permukaan layarnya. Pewaris tunggal Djoyodiningrat bukan sekedar menakutkan, aku yang menonton gerak geriknya ikut merinding seketika.       

Sahabatku tidak lagi sama, pada gerakan cepatnya merampas name tag yang menempel di bibir saku. Kulihat dia memeriksa tulisan manajer itu hanya sebagai alasan, sebab tujuan utama Mahendra ialah menembak kakinya dengan ekspresi biasa saja, seolah tak ada niatan apa-apa.      

Apakah kau pernah melihat seseorang membaca buku sambil melempar bekas Snack-nya tanpa melihat di mana letak tong sampah berada? akan tetapi detik itu juga pastik kotor meluncur tepat pada tujuannya. Itulah gambaran Mahendra detik ini.      

Dia seolah membaca name tag, tapi tangan kanannya santai melumpuhkan kaki orang di hadapannya hingga pria itu bersujud memohon, dan meratap ketakutan mengelus-elus kakinya.      

Kudapati mata biru meraih Handphone manajer itu lalu mengancam seseorang dengan kalimat dinginnya.      

Sesaat berikutnya di lempar Handphone tersebut secara beringas, lalu meraih leher manusia yang sedang menghasratkan keselamatan.      

"Beritahu aku ke mana mereka pergi!" pria di genggamannya terpaksa berdiri kembali, mengikuti gerakan tangan Hendra walau kaki kiri manajer itu bersimbah darah. Sambil menahan ucapannya si manajer terbatuk-batuk.      

Cekikan Hendra tertangkap menegang seiring batuk tak berkesudahan. Tak kulihat satu pun dari pengawalnya yang menahan Mahendra. Apakah mereka sudah terbiasa melihat ini? Atau -kah aku yang hidupnya terlalu biasa-biasa saja? sehingga tidak tahan melihatnya berbuat demikian?     

"Hah" nafasku tercekik sendiri, perilaku Hendra yang ini di luar kesanggupanku menatapnya. Kuberanikan diri bergerak mendekatinya, wajah pria di genggaman tangan kirinya membiru.      

"Hendra cukup, hentikan! Dia hanya pegawai," ucapanku mendapat sambutan. Pria itu di buang ke lantai. Tapi anehnya, cucu Wiryo tersenyum. Apa ini?      

Dia menarik pelatuk senjata apinya, menuju, dan mengarah pada kepala pria tak berdaya. "Hendra Cukup!" aku tidak didengar. Dia membuat gerakan kasar, membuat tubuhku terbanting dan meminta pengawalnya menghalangi niatku.      

Tak lama suara tembakan dari pistol yang di genggaman Hendra terdengar. Aku bahkan turut ketakutan menutup mataku.      

Pada nafasku yang naik turun sebab tak sanggup melihat orang terbunuh di hadapanku, apalagi pelakunya adalah kawan baikku.      

"Huuh.." embusan lelahku terbang ke udara bersama pelurunya yang sengaja di buat meleset sekian inci. Hendra tidak mungkin salah sasaran, kecuali di sengaja.  Dan akhirnya pria ketakutan membocorkan rahasia.      

"Mereka berlari ke arah tangga darurat. Di ujung lorong ini ada celah menuju ke arah kiri. Ikuti saja sambil meraba wallpaper-nya, nanti anda bisa menemukan satu space yang bunyinya berbeda. Itu pintu tangga darurat," pria tak berdaya di lepas begitu saja.      

Aku belum memahami cara berburu model begini. Terlalu mengerikan untukku.     

***     

"Argh!" gadis yang berlari secara terpaksa dan dalam kebingungannya ini tanpa sengaja terjatuh. Alas kaki yang di siapkan Rey sangat jauh dari kebiasaannya. Dia berupaya sebisa mungkin untuk menuruti tangan pria berhoodie yang menggenggam dan menariknya dengan sekuat tenaga.      

Sayang gadis ini tidak bisa bangkit kembali. Agaknya kaki Aruna terkilir dan para pengejar hampir mencapai perempuan yang di incar banyak orang.      

"Ah!" pria berhoodie mendesahkan gelisahnya. Dia melepas tangan Aruna. Melompat, lalu menendang salah satu lelaki suruhan Rey yang hampir menyentuh ujung baju perempuan yang kesakitan memegangi kaki.      

[1] komplikatif :berkaitan dengan komplikasi; bersifat komplikasi atau percampuran yang kusut (dari berbagai hal); kerumitan;     

Siapa yang membawa Aruna?     

.     

.     

__________       

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/       

1. Lempar Power Stone terbaik ^^       

2. Gift, beri aku banyak Semangat!       

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan       

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.