Ciuman Pertama Aruna

II-165. My First Love



II-165. My First Love

0Kini giliran penggugat yang menghadirkan saksi.      
0

Seorang Ayah berjalan gontai memandangi putra putrinya, Lesmana lah saksi dari pihak Anantha.     

Tak tahu kenapa jantung Aruna menderu resah, sedih, susah, gundah sampai sesak di dadanya terasa menyakitkan ketika menatap ayahnya bersumpah di ujung sana.     

Ayah yang gagah nan bijak, menjerat hati putri-putri yang dia miliki untuk jatuh hati pertama kali hanya kepada dirinya kini terlihat kacau dan seolah tak berdaya. Seperti sedang ter hakimi, akan tetapi oleh apa?      

Aruna belum sempat merangkai pendapat ketika sang ayah menyampaikan kalimat pertamanya yang mampu menggetarkan hati si bungsu: "A father should be his son's first hero, and his daughters first love[1]," Lesmana mendesahkan nafas mencoba mengontrol resah yang bersemayam di dalam dada.      

"Sayangnya aku tidak sehebat itu,"  sang ayah kembali berucap, atas penghakimannya yang pertama.      

"Yang terjadi padaku ialah kebalikan, putraku menjadi penolong bagiku, dan putri-putri ku memberikan cinta berlebih untuk ayahnya yang belum bisa memberikan apa-apa," dia terdiam sedang kesulitan melanjutkan kata berikutnya, kuasa hukum Mahendra yang ingin layangkan kalimat tanya di hentikan kliennya (Hendra).     

Di sisi lain raut muka Aruna dan Alian mengurai kesedihan.      

"Berdiriku di sini adalah bukti bahwa aku gagal, gagal menjadi ayah untuk putri bungsuku. Dan gagal mendapatkan maaf dari putra sulungku, Aku melukai mereka saat ini," gadis bungsunya mulai menangis.      

"Melukai gadis kecilku yang dulu terpaksa menikah untuk melindungi kehormatanku dan putra sulungku kini mencoba menutupi ke tidak mampu-an ku sebagai seorang ayah yang terlalu payah,"     

"Sayang sekali, aku pun tak berdaya untuk menolong mereka sama rata, bungsuku yang malang masih saja di paksa berpisah dari suaminya," suara Aruna kembali terdengar tanpa aba-aba "Ayah cukup! Hiks hiks.. Aya..h," air matanya tumpah berserakan, dia tidak mengerti kenapa jadi begini. Dulu gadis ini menanggung beban menikahi pewaris tunggal Djayadiningrat untuk menyelamatkan keluarganya, dan Kenyataannya semuanya hancur berantakan tidak tersisa.      

Mahendra buru-buru berdiri menenangkan Aruna. "Hentikan sidang ini Hendra aku tidak mau hiks hiks," Aruna menumpahkan sesenggukannya pada dada pria yang memeluknya, "Aku tidak mau ayahku terlihat seperti itu, hiks hiks hiks.. Hendra.."      

"Iya.., iya..," Pria ini mengusap berulang rambut perempuan dalam dekapan, mencoba menenangkan.      

Pada kursi saksi Lesmana masih meneguhkan kalimat-kalimat hukuman terhadap dirinya "Putra sulungku terlalu hebat bagiku, dia menggantikan peranku melindungi adik-adiknya. Sekali lagi karena aku ayah yang payah. Berambisi pada pekerjaan dan menelantarkan anak-anakku yang malang. Terlena karena putraku sudah merangkap menjadi diriku untuk menjaga bunda dan adik-adiknya," sang Ayah meratap, menatap Anantha      

"Lupa bahwa seorang ayah harus menyelamatkan putri-putrinya sampai akhir, bukannya sekedar pasrah dan menyerahkan si kecil begitu saja, apalagi menelantarkan bayi itu hingga merenggang nyawa," mata Anantha masih berwujud kemarahan. Belum mau menunjukkan ekspresi maaf untuk ayah Lesmana yang telah rela menghukum dirinya, menanggalkan baju ke besarannya sebagai pemimpin keluarga yang kabarnya di liputi keharmonisan luar biasa. Di hadapan tiap-tiap manusia yang kini turut serta merenungi kisah hidup mereka masing-masing bersama keluarga.     

"maafkan aku, maafkan ayahmu," tampaknya Lesmana hanya bicara kepada putranya.      

"maaf, ayah mengabaikanmu, mengabaikan adik-adikmu, Ayah tahu hatimu sakit, marah dan muak pada ayah. Maaf, ayah lupa putra putrinya bisa sangat kecewa hingga semua rasa sakitnya berubah jadi antipati," tatapan itu akhirnya di  balas oleh si sulung dengan membuang muka.      

Kalimat berikutnya yang meluncur dari bibir Lesmana bersama mata merah berkaca : "marahlah pada ayah saja, jangan kau hukum ayahmu dengan menggunakan adikmu," air mata laki-laki berumur ini sudah tidak bisa terbendung lagi. Mengusap celah di sudut pelupuk mata.     

"Hendra! Hentikan..! Hentikan ayahku! Kau bilang kau bisa lakukan segalanya 'bukan?? Hentikan sidang ini!" gadis dalam dekapan Mahendra bergerak-gerak, mengeluh dan berontak, ingin berlari menuju ke arah ayahnya padahal kaki yang pincang akan kesulitan untuk melakukan itu.      

"Anantha, kau keterlaluan pada ayahku, kau bukan kakakku!" Aliana masih berusaha terlepas dari jerat tangan Aditya. Dia berteriak lantang memaki kakaknya sendiri.      

"Hukum ayahmu dengan cara apa pun, tapi jangan gunakan adikmu, bukan salah atasan ayah, ayah saja yang tak pandai memilah kepentingan dan membagi  waktu untuk kalian, ayah saja yang terlalu berambisi,"      

Alia terlepas, dan berlari kepada ayahnya, seiring sang hakim meminta semua tenang padahal  penghuni ruang sidang ini sejujurnya sedang membeku melihat dua anak gadis Lesmana menyerukan rintihan wujud cinta pada Ayahnya. Dan turut kalut merenungi kalimat-kalimat penyesalan dari Lesmana. Berusaha keras mendorong putra sulungnya untuk mengurai maaf, sayang sekali hanya berbalas langkah pergi. Anantha meninggalkan ruang sidang. Sempat menatap tajam orang Mahendra yang berjaga di pintu utama, padahal berupaya memberinya bantuan.      

Mereka yang berdiri, berjaga, duduk dan memenuhi ruangan sidang ini rata-rata para lelaki.  Secara tidak langsung bagian dari junior Lesmana ketika mau merunut riwayat hidup sang ayah yang melangsungkan penghukuman kepada dirinya. Desah nafas, elusan dada serta gerakan ringan mengaturkan kegelisahan tertangkap oleh tiap pengamat.      

Siapa yang tidak ikut kalut ketika dua gadis mendekap ayah mereka meminta sang ayah berhenti bicara. Mereka berpelukan menangisi ayahnya, sampai-sampai para Hakim memutuskan untuk menghentikan sidang hingga waktu yang belum sempat ter sepakati.      

Sejenak yang lalu Mahendra membantu istrinya mendekati ayah Lesmana, gadis ini memeluk cinta pertamanya di atas pelukan sang kakak perempuan.      

Hingga perlahan tiap-tiap penghuni melangkahkan kaki meninggalkan ruangan komplikatif ini.      

Tersisa Aditya dan Hendra yang setia menunggui masing-masing perempuan mereka. Dua gadis itu masih enggan melepas pelukan.     

Sang ayah dengan gerak ringan meminta para menantunya membantu membujuk anak-anak perempuannya.      

"Aruna sudah.. Ayo, ayah pasti lelah apalagi kamu," bisik Hendra mengelus pundak gadis yang kini masih setia merangkul ayahnya. Alia pun masih sama, akan tetapi perempuan hamil ini akhirnya mau beranjak dengan wajah merah dan mata bengkak.      

"Kalian pergi dulu ayah mau bicara pada Aruna," mendengar ini Aditya dan Alia melangkah pergi sedangkan Hendra buru-buru menyiapkan kursi lalu menghindar hingga jarak tertentu sampai suara keduanya tak bisa terdengar oleh telinganya.      

"Sekarang ayah tidak mau melihat putri ayah menangis," gadis ini mengangguk-angguk, padahal air matanya masih menetes, "Aruna Ayah tidak suka, kau tidak menangis ketika terpaksa menikahi orang yang tidak kamu kenal, kenapa sekarang belum mau berhenti (menangis), mana putriku yang kuat??" Lesmana tak mau melanjutkan percakapannya jika si bungsu masih saja bercucuran Air mata.      

Dan gadis ini menelan dengan susah payah sesenggukannya.      

"Lihat! Putri kecilku ternyata sudah dewasa, ah' ayah lupa kau sudah jadi perempuan sekarang," Lesmana mencoba menenangkan dengan kalimat penghibur.      

"Dan cantik sekali," gadis ini akhirnya tersenyum malu-malu mendengar godaan ayahnya.      

"Ayah.." seru Aruna di hentikan Lesmana.      

"Huss!" sang Ayah meminta putrinya diam, "Sekarang ayah yang akan bicara," sambil menggosok rambut gadis kecilnya, Ayah membeberkan sebuah rahasia dan Aruna mengangguk beberapa kali mengatakan dia sudah tahu dan sudah mengerti sejak semula. Sempat membuat Lesmana tersekat, sejalan kemudian mereda menghasilkan senyum bangga.      

 "Mulai sekarang Ayah akan bertindak tegas! tidak mau mengakui Aruna putri Ayah, kalau perempuan cantik ini mengorbankan dirinya lagi dengan dalih balas budi atau apa pun, Ayah tidak peduli!"      

"Iya Ayah,"      

"Ayah mau Aruna hidup bahagia sesuai keinginannya, apa pun keputusan Aruna, ingin kembali pada suamimu atau pulang ke rumah ayah, bahkan merasa nyaman hidup sendiri pun, ayah akan dukung dan merelakan keinginan Aruna sepenuh hati," Lesmana menatap lekat putrinya. Aruna mengangguk berulang di tiap akhir kalimat.      

"Keinginan ayah cuma satu, Aruna hidup bahagia," Aruna mengangguk lagi.      

"Ayah boleh aku meralat pernyataan Ayah," gadis ini akhirnya bisa duduk lebih tegap. Cermin dia mulai bangkit dari keterpurukan.     

"Apa??"      

"My first love is my father," Lesmana terkekeh mendengarnya.      

"Tadi pernyataan ayah salah, aku benar-benar ingin marah. Apa ayah tidak pernah merasakan cinta yang besar dariku?" kembali Lesmana mengurai senyumannya, menangkap wajah ngambek putrinya.      

"Kalau ayah yang pertama lalu dia siapa?" Lesmana mengarahkan matanya pada pria Jawa-England yang mematung kebingungan tertangkap mata di perhatikan ayah dan putrinya secara bersamaan.      

 [1] Seorang ayah seharusnya menjadi pahlawan pertama anak laki-lakinya, dan cinta pertama anak perempuannya     

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.