Ciuman Pertama Aruna

III-18. Pergulatan Norak



III-18. Pergulatan Norak

0"Mulai hari ini anda tidak di izinkan berkeliaran sembarangan," Andos menambah pesan dari tetua.     
0

"Kenapa?" kata tanya ini terbit sebagai wujud ke tidak setujuan Mahendra.     

Andos tidak menjawabnya, malah memandangi Nana yang duduk nyaman di dekat Hendra. Sekejap, Hendra menyadari keinginan Andos. Dan Lelaki bermata biru meminta Nana keluar dari ruang kerjanya.     

"Kejadian di lantai D butuh di waspadai," akhirnya kalimat jawaban Andos terbit.     

"Aku tidak bisa, aku punya seseorang yang menungguku tiap malam," Akhirnya Hendra mengungkap sedikit rahasianya, tentang perempuan yang membuatnya tidur dengan nyenyak akhir-akhir ini.     

"Anda pasti sadar permintaan tetua bukan tanpa alasan," Andos membuat Mahendra terdiam.     

"Apakah kakekku pernah mengalami pengihanatan semacam ini?" Hendra membuka lebar matanya, dia membutuhkan keterangan Andos.     

"Bukan sekedar pengihanatan, beliau pernah hampir digulingkan, kakek anda sudah lebih dari cukup mempertahankan perusahaan ini agar tetap dalam kepemilikan tunggal Djoyodiningrat," Andos membalas kalimat tanya pewaris tunggal dengan fakta yang perlu di ingat.     

"Itu sebabnya tetua meminta penjagaan lebih untuk anda, dan anda perlu mengupayakan segera memiliki keturunan," kembali kalimat orang kepercayaan tetua terbit.     

Hendra tahu lebih dari cukup bahwa keberhasilan kakeknya menyingkirkan para penghianat adalah dengan memanfaatkan kelahirannya.     

"Aku tahu, aku sedang mengupayakan keinginannya," ada sedikit senyum yang terbit pada bibir merah pria blesteran Jawa-England ini. Dan tertangkap lagi perilaku repetitifnya, dia melihat jam yang melingkar pada pergelangan tangan, "Beri tahu tetua aku akan menemuinya selepas jam kantor,"     

"Baik,"     

***     

"Aruna," gadis tidak asing bagi Aruna dan Dea berdiri di dekat meja makan mereka. Merusak diskusi kecil tiga anggota Surat Ajaib.     

Sekilas terlihat Dea meletakkan bolpoin kasar, sedangkan Lily lebih unik lagi. Gadis berkaca mata menangkap aura tidak nyaman terbit dari sahabatnya Dea dan Aruna, akan tetapi Lily tidak tahu situasi apa yang sedang terjadi. Lily beda jurusan dengan dua sahabatnya tersebut jadi wajar dia tidak memiliki ekspresi apa pun terhadap Vira.     

"Aku minta maaf. Tadi, bikin bajumu basah," demikian perempuan ini menjelaskan maksudnya.     

_Mau apa makhluk satu ini_ Gumam Dea _Cinta di tolak ke bodohan bertindak_ Dea menggerutu sendiri, maksud Dea di tolak Damar.     

"Tadi sudah -kan," kata Aruna tak lagi melihat Vira. Gadis berkaus oblong setengah basah ini kembali fokus meminta Lily mencatat beberapa hal terkait diskusi mereka tadi.     

"Apa kamu tahu Damar sekarang sibuk apa? Di mana? Boleh aku minta nomornya?" pertanyaan Vira menghentikan aktivitas Aruna, "Boleh dong! tadi kamu bilang, kamu tidak akan kembali padanya." Kalimat desakan Vira terdengar mirip ejekan.     

"Cari tahu aja sendiri, kami juga nggak tahu," belum sempat Aruna menjawab Dea sudah meluncurkan jawaban.     

"Hai, penyuka Om-om, aku tidak bertanya padamu," hina Vira, sayang gadis ini lupa kalimatnya adalah hinaan teramat untuk pengantin baru dengan suami terpaut usia 10 tahun.     

Tanpa aba-aba Dea menyahut mangkuk bakso yang belum usai dia lahap. Tentu saja di dalamnya masih tersisa banyak kuah, Mie dengan aneka ragam isi. Bakso tersebut mendarat cantik pada kepala Vira. Mangkuk yang di pegangi Dea berakhir sebagai topi lucu pada kepala gadis yang sempat menghina Dea.     

"KAU!! DASAR KURABG AJAR!" teriak Vira menarik hijab Dea, Lily yang duduk di belakang Dea buru-buru pertahankan, Lily mencoba mendekap seputar leher Dea supaya Hijab tersebut tidak tersikap.     

"Kau keterlaluan!" ini suara marah Aruna menampar tangan Vira agar terlepas dari hijab Dea.     

"Temanmu yang keterlaluan, lihat rambutku, bajuku!" Vira berteriak lantang, membuat seisi kantin menoleh dan memperhatikan pertikaian mereka, termasuk sekelompok teman Vira yang perlahan bangkit dari kursi mereka dan mendekati Vira.     

"Itu karena mulutmu tidak sopan!" Lily ikut bersuara.     

"Tapi bukan berarti dia harus melempar bakso sembarangan," Vira terus saja berbicara dan kian merasa terbantu dengan kedatangan empat temannya.     

"Kenapa sih selalu saja ribut sama mereka," salah satu teman Vira bersuara.     

"Setahuku temanmu yang selalu ngajak ribut," Dea yang sudah membenarkan letak hijabnya kembali menatap Vira dengan tatapan tidak menyenangkan.     

"Yang benar saja, gue ngajak ribut janda dan penyuka om-om?? Ih' nggak level -lah ya," ucapan pedas pembully tidak tahu diri ini di sambut oleh kemarahan gadis yang jarang tersulut emosi. Aruna meraih wadah saos dan kecap dengan memiliki ujung runcing yang tergeletak di sekitarnya. Tutup botol saus dan kecap tersebut Aruna cabut hingga terlepas. Si penyabar menumpahkan kemarahannya, Aruna melukis sesuatu tepat di baju Vira.     

Sudah dapat di duga yang terjadi berikutnya, Vira menjambak rambut Aruna. Otomatis hal yang sama Aruna lakukan pada Vira.     

Dea yang tersulut emosi sejak awal ikut serta meraih rambut Vira. Kini giliran teman-teman Vira bereaksi, mereka membantu Vira melepaskan diri dari Dea dan Aruna.     

Sayangnya Vira sempat mencakar wajah Dea, pergulatan norak sekelompok mahasiswi yang kehilangan akal sehat mereka, tak bisa terhindarkan lagi.     

Aruna sempat malu sendiri ketika gelombang orang berusaha mereda percekcokan mereka, tapi apa daya sudah terlanjur basah. Perempuan bermata coklat ini kian bersemangat ikut-ikutan Dea yang masih bertahan membalas keresekkan Vira dan teman-temannya.     

"Kau lama-lama di diamkan jadi ngelunjak, bikin emosiku meledak!" ini kalimat Dea yang membuat Aruna makin berani menyerang Vira dan teman-temannya. Sampai-sampai sekelompok mahasiswa lain yang berusaha memisahkan pertikaian ini kesusahan.     

Lily bingung harus bagaimana? Terlebih kaca matanya terjatuh dia sedikit buram tanpa itu kecuali ketika kontak lensa di kenakan, gadis ini meraba di sela pertikaian.     

Ketika kaca matanya di serahkan seseorang, entah siapa?. Kaca tersebut sudah retak sebelah. Bersyukur tangan kedua sahabatnya yakni Dea dan Aruna terlihat telah melepas Vira.     

Ternyata seseorang dengan perawakan tinggi sudah berdiri di depan Aruna dan sempat kedapatan mendorong teman Vira yang mencoba meraih baju Dea.     

Lelaki itu mengangkat kedua tangannya ke atas setelah berhasil mendorong sana sini hingga berhasil melerai pertikaian. Kini yang di dapati ialah wajah-wajah bingung menatap keberadaan sosok lelaki tersebut.     

Lily mencoba membenarkan kaca matanya sekali lagi dan baru mendapati pemahaman bahwa pria yang kini bersuara adalah Herry, Ajudan suami Aruna yang membuatnya bolak balik antara foodcourt dan mansion sebanyak tiga kali, karena pria itu menghilang begitu saja dan menyerahkan tanggungjawab membawa kantong-kantong belanja se-enaknya.     

"Jika kalian masih saja bertengkar, saya bisa berbuat lebih," ucap Herry mengamati sekelompok mahasiswi dengan tampilan acak-acakan, "sampai kaki kalian tidak mampu berjalan pulang," katanya menakut-nakuti mereka termasuk dua orang perempuan yang kini kakinya lemas dengan tampilan raut muka memerah.     

Tampaknya Aruna dan Dea di rundung gelisah secara serempak. Jika ada ajudan Hendra di sini sudah barang tentu kekonyolan mereka berdua akan ketahuan suami masing-masing.     

Ketika satu persatu anak muda yang bergerombol perlahan pergi. Aruna berniat membuat negosiasi pada Herry, nyatanya pemuda tersebut sudah membuat panggilan.     

"Maaf, anda menelepon siapa?" tanya gelisah Dea mendahului niat Aruna bertanya.     

"Pak Surya," pria berbadan atletik itu menampilkan layar smartphone atas nama sekretaris Surya.     

"Mati aku.. mati aku.." keluh Dea memeluki badan Lily.     

"Walau wajahmu ada cakaran, kau masih cantik kok, tak perlu mati," Lily terlalu sarkas. Kian membuat Dea kalut dan menyuguhkan wajah meweknya.     

"Em.. Herry, jangan hubungi Hendra ya.. Please.." ada yang menerbitkan kalimat harapan dengan kedua telapak tangan menyatu dan terangkat seperti seseorang yang sedang berdoa.     

"Maaf, sayangnya sudah nona. tapi, tuan tidak menerima panggilanku, mungkin masih sibuk, makanya aku menghubungi sekretariat Surya," jawaban Herry melegakan Aruna.     

"He.. tetapi saya tidak bisa menjamin tuan Hendra tidak akan tahu," ungkapan berikutnya Herry menyadarkan Aruna bahwa Surya satu kantor dan tentu saja mudah bagi suami Dea memberi kabar Hendra.     

Kini bukan cuma Dea yang terlihat mewek Aruna tidak kalah galaunya.     

"Aruna rambutmu ada Mie nya.. cepat rapikan! sebelum suamimu datang. Suamimu -kan galak," Lily memberitahu dan buru-buru istri Mahendra mengibaskan berulang rambutnya.     

***     

"Hendra ayo ikut aku," Surya membuka pintu ruang kerja CEO DM grup, lelaki tersebut menarik tangan Hendra.     

.     

.     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.