Ciuman Pertama Aruna

II-148. Surel



II-148. Surel

0"kenapa aku di sini?"       
0

"Syukurlah.. akhirnya kamu bangun,"      

"Damar? Bagaimana aku bisa di sini?"       

"Kalau kamu bertanya apa yang terjadi padamu? Sejujurnya aku juga tidak tahu? Juan menghubungiku, dia bilang dia butuh tempat untuk menyembunyikanmu, jadi aku menawarkan tempat ini,"       

"Hoodie hitam itu Juan?"       

"Oh' kau tidak tahu itu dia?" pertanyaan Damar berbalas galengan.       

Lalu gadis ini bergerak, barulah dia menyadari tangannya tersangkut sesuatu. "Huu.. aku sakit lagi ya.." ungkapannya sedikit unik, tentang kekecewaan manusia yang menyadari dirinya lemah.       

"Kau butuh sesuatu? Akan aku bantu, katakan saja," Damar buru-buru bangkit dari duduknya. Dia tidak mengerti kenapa bahagia pagi ini. Bukankah harusnya, sebagai sahabat dia bersedih hati.       

"Tak perlu aku hanya.. au.. kakiku?" Aruna mendesah lagi, mendapati kakinya bengkak sebelah. Dan lebih berduka ketika Damar menggeser kursi roda untuknya.       

Akhirnya putri Lesmana pasrah ketika harus di bopong untuk sekedar menuju kamar mandi.       

"Kamu ingin mandi sekalian Aruna?"       

"Sepertinya.," teriak gadis ini dari dalam kamar mandi.       

"Sementara pakai bajuku tak apa ya?" terang Damar.       

"Mau gimana lagi? seadanya saja,"      

***      

Matahari beranjak naik ketika sebuah berita tersiar di televisi. Klub malam Heru ramai di sorot media, terlihat beberapa penjaga dan jubir mereka berceloteh santai, atas alasan-alasan yang di rasa kurang masuk akal.      

Hendra bersama kakeknya menatap layar televisi lebar di kamar utama rumah induk. Mata biru ini sedang berada di kamar tetua.       

Setelah genap menamatkan penjabaran mengada-ada jubir Heru, Wiryo mematikan televisinya. "Mereka menutup rapat kasus semalam,"       

Semalam banyak orang yang membuat laporan pada polisi terkait adanya penembakan dan penyergapan dari sekelompok orang asing. Penembakan yang ditujukan kepada beberapa orang terutama pegawai klub. Dan sebagian lagi melaporkan bahwa kelompok itu sedang mencari seorang perempuan.       

Anehnya juru bicara klub menyebutkan kejadian semalam murni pengambilan adegan film action. Cukup menggelikan, Tarantula secara sengaja menutupnya rapat-rapat. Bahkan menyebutkan sebuah alasan muskil yakni untuk mendukung pengambilan syuting pengujung umum sengaja tidak di beritahu supaya terkesan alami.       

Penjelasan yang menggelitik sekaligus mengusung tanda tanya besar. Apa tujuannya? Apakah mereka ingin berdamai? Atau ingin masalah ini tak perlu di besar-besarkan?. Padahal, andai mau di usut tuntas mereka bisa menggunakannya sebagai senjata dalam menggoyahkan Djoyo Makmur Group.       

"Apa prediksi kakek tentang ini?" tanya Mahendra, lamat-lamat dia sadar dan mulai memahami cara kerja lelaki tua yang dulu bertentangan dan di tentang keras.     

"Istrimu belum tentu berada di tangan mereka,"       

"Hah'," membuang nafas kecewa, "Aku tidak akan melakukan tindakan bodoh sebelum melihat fakta," maksudnya Hendra tidak akan menyergap klub malam Heru kalau tidak yakin Aruna di bawa Rey ke tempat tersebut.       

"Sayang, kau masih terbawa emosimu ketika menyelesaikan masalah. Itu sebabnya kamu gagal kali ini," suara Wiryo tegas menyudutkan.       

"Lalu aku harus bagaimana? Aku harus tersenyum senang ketika istriku terancam??" mereka mulai berdebat.       

"Ini -lah yang membuatku sering kecewa padamu," Wiryo meletakkan tablet kasar tepat di hadapan Hendra.       

"kau menunjukkan kelemahanmu dengan gamblang, ke mana isi kepalamu?" Demikianlah mereka berkomunikasi. Sedangkan di sisi lain Mahendra sedang membaca surel dari Tarantula grup, surel konyol tentang pengakuan bahwa mereka tidak membawa perempuan milik pewaris Djoyodiningrat.       

"Harusnya kamu masuk dengan gerakan yang lambat tapi tepat," maksud kakek Wiryo menyusup secara halus sesuai prosedur yang selama ini di jalankan oleh tim lantai bawah tanah Djoyo Rizt hotel.      

"Bukannya berlagak seperti mafia, sungguh menggelikan!" Hinaan tetua Wiryo tidak pernah setengah-setengah.       

"Dan kau percaya dengan pesan mereka?" Wiryo menatap Hendra tampaknya tatapan ini bermakna 'iya', tentu ekspresi tersebut menyulut gejolak hati cucunya, "Kenapa kau tidak kirimkan pesan perdamaian kalau kalian saling percaya, padahal itu cuma sebatas email!?" Hendra menggebrak meja dengan satu tangan, tanda dia kecewa berat dan akan memilih pergi, menegakkan kaki, menopang diri untuk bangkit dari kursinya.       

"Email itu dari Clara, ungkapannya  tak pernah melesat. dia akan mengakui perilaku buruknya jika itu dari dia. Demikian juga, dirinya tidak akan mengklaim sesuatu yang bukan tidakkannya," Wiryo kembali bertutur bahwa dia memahami adiknya.       

"Dan kamu yakin seratus persen?" Suaranya lantang. Mahendra tak lagi mampu menguasai diri. dia mulai mengusung pertengkaran dengan sang kakek.      

Bukan dikarenakan dirinya keras kepala, melainkan inilah simbol kemarahan menumpuk yang berkembang menjadi bara api.     

Bagaimana bisa? pria tua itu selalu memilih bertahan. Padahal, sudah banyak hati yang lelah serta keadaan yang terpecah belah. Sampai kapan ini semua akan usai?     

"Bersabalah sejenak," kata sang kakek menggerakkan kursi roda dengan tombol otomatis mengejar langkah Hendra, sejenak menatap, memintanya berhenti. Kemudian, kembali menyerahkan tabletnya.      

"Kau gila!" Ungkapan tidak pantas dari mulut seorang cucu, dan Wiryo mendiamkannya. Dia sadar Hendra mulai paham banyak hal. Siapa saja pasti akan mengatakan dirinya (Wiryo) gila, ketika anak dan keluarganya bahkan dirinya menjadi korban kemarahan, dendam atau entahlah, sesuatu yang hanya di ketahu-i kakak beradik satu ayah beda ibu. Apa latar belakang mereka selama ini?.      

Dan apa alasan mendasar yang di usung lelaki tua itu? Sehingga, selalu memastikan dirinya untuk bertahan tanpa banyak keluhan.      

"Di dalam pesannya ada link cctv, cctv sebelum kamu tiba (mengambil alih kendali), istrimu di bawa lari seorang berbaju hitam," ketika benda itu sampai di tangan Mahendra, Wiryo kembali memencet tombol penggerak pada kursinya. Ternyata tetua membuka pintu ukir jawa, sebagai isyarat menginginkan Hendra keluar.      

"Periksa video itu baik-baik dan kurangi tindakan gegabahmu. Sepertinya aku belum bias beristirahat (menyerahkan jabatan presdir). Kau masih jauh dari kualifikasi," kalimat ini membuahkan tatapan malas Mahendra.      

Sebelum langkah pergi cucunya, Wiryo berdehem, sebuah pesan dia ujarkan dengan nada serius : "Setelah kamu berhasil menemukan putri Lesmana, pilihannya masih sama seperti dulu, terkurung di sini atau lepaskan sekalian. Cara ini masih jadi pilihan terbaik untuk dia dan untukmu,"      

"Hehe," dia tertawa dingin menangkap gegak gerik cucunya yang terlihat sedang berpikir. "Nalarmu tak sejalan dengan emosimu. Semalam, Kelemahan utamamu sudah tertangkap jelas. Hanya dua itu pilihannya, atau putri Lesmana kembali dijadikan bulan-bulanan permainan mereka."       

Mahendra menelan getirnya sendiri, dia menjadi tak berdaya seketika. Melangkah resah menuju kamar pribadinya bersama sang istri. Pintu ukir Jepara di dorong dan membuka lebar di hadapannya. Bukan dia saja yang merindukan gadis kecil menggelisahkan, ternyata tempat ini juga sama, kehilangan nyawanya.      

Awal mula kehadirannya sangat menyusahkan. Tiap kali akan masuk, dia perlu meminta bantuan pelayan agar memastikan Aruna dalam posisi terjaga, duduk atau berdiri. Lambat laun Mahendra tak membutuhkan itu, bahkan tidur Aruna menjelma menjadi bonus yang menyenangkan. Sebab bisa langsung di peluk secara paksa, dan otomatis gadis itu akan meronta-ronta minta di lepas, lalu si jahil dengan memasang tampang tak tahu malu meminta sebuah imbalan, berupa kecupan di pipi atau lumatan di bibir baru mangsa kecil itu di lepaskan.      

Hendra masuk lalu duduk di meja kerjanya, kembali membuka leptop kemudian memeriksa surel berisikan video cctv. Sempat mengirimkannya pada Pradita untuk di periksa, dan dia turut mengamatinya berulang kali. Video itu terpotong pada gerakan Aruna ter- tabrak laki-laki berjaket hoodie hitam, kemudian di tarik paksa untuk berlari bersamanya. Pada potongan gambar tak bersuara tersebut, juga tergambar jelas ada sekitar empat orang memburu hoodie hitam beserta istrinya.      

"Hadyan kau sudah makan?" seorang perempuan masuk di susul para asisten rumah tangga membawa nampan sesaat kemudian meletakkan sejumlah makanan. bau harum terbang sampai pada indra penciuman Mahendra, menggoda dia yang perutnya belum terisi sejak semalam.      

"Aku sudah menyiapkan air hangat, berendamlah dulu, bersihkan dirimu. Aku yakin kamu akan lebih segar dan.." kalimatnya dilontarkan dengan hati-hati sambil mendekat meminta Mahendra untuk berdiri, "Dan akan lebih mudah menyelesaikan pekerjaanmu kalau kamu dalam kondisi fresh."     

Tampaknya Hendra menuruti ucapan Nana, mata biru berdiri membiarkan Nana membantunya melepas Jas dari tubuhnya. Sejalan kemudian melonggarkan dasinya.      

Mahendra tertangkap menghirup bau harum yang lain, bukan makanan. Bau yang hadir dari tubuh perempuan ini, "Pafum apa yang kamu gunakan?"      

"Kau suka?"      

"Ya,"      

Perempuan bermata lebar itu tersenyum, meraba hem Hendra dan mulai membuka kancingnya.      

"Kalau kamu di minta untuk tinggal di tempat ini, dan tidak di ijin kan keluar. Apa -kau bisa melakukannya?"     

"Tentu, asalkan permintaan itu darimu,"      

"Stop!" Hendra menangkap tangan Nana.     

.      

.      

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.