Ciuman Pertama Aruna

II-172. Kaki Telanjang (Menikah+)



II-172. Kaki Telanjang (Menikah+)

0"Kau tak ingin menemuinya?" ini Dea yang tadi mengajak teman-temannya berfoto bersama yang kemudian sengaja di urungkan,  dengan niatan mendekati Aruna. Untuk berbicara mengenai kemurungan yang melanda gadis ini.      
0

"Kau tidak ingin menemui suamimu?" Aruna sempat terkesiap sesaat mendengar pertanyaan Dea yang  hadir secara tiba-tiba.      

"Apakah aku masih dianggap istri?" gadis ini kehilangan rasa percaya diri, "Dia bahkan terlihat tidak akan lama berada di tempat ini," Aruna kembali fokus menyendok es buah ke wadah gelas di tangannya.      

"Maka dari itu ke sana dan temui dia,"      

"Apa dia masih mau menemuiku?"     

"Bukankah Hendra yang sedang menunggu, apa kau lupa permintaan terakhirnya Aruna?"      

"Aku tidak yakin bisa hidup sesuai keinginannya, Dea," Aruna kembali menatap pria di ujung sana, "Hendra orang yang berbeda."     

"Kalau aku jadi kamu aku akan tetap berada di sampingnya," ini kalimat Dea.      

"Kenapa begitu?"      

"Karena dia suamiku, tidak ada alasan lain,"     

Aruna terdiam mendengarkan monolog sahabatnya.      

"Kau juga akan menyerahkan dirimu malam ini untuk pak Surya?" kali ini Aruna bertanya.      

"Iya,"     

"Semudah itu?"      

"Bukan masalah mudah atau sulit," Dea ikut menatap dua pria bercakap di ujung sana.      

"Dia suamiku, itu haknya," mereka terdiam sejenak. Sama-sama sedang melamun.      

"Asal kamu tahu, kewajiban utama seorang suami adalah menjaga istrinya. Menjaga tercukupi kebutuhannya, makannya, kesehatannya, keselamatannya termasuk kebahagiaannya," kalimat Dea mengawali tatapan lekat Aruna. "Aku tidak mengerti bagaimana kamu bisa ragu terhadap pria yang ingin memenuhi kewajibannya, andai dia seorang yang jahat, menakutkan, merugikan, tak mungkin pak Surya masih bisa tertawa renyah bersamanya."     

Deg     

"Pak Surya sempat berkata suamimu seolah kembali seperti dulu. Aku tidak mengerti apa maksudnya itu, dia hanya bilang Hendra makin sedikit bicara. dia mirip robot hidup. tepat sama sebelum nona Aruna hadir dalam hidupnya, itu kata suamiku" Dea mendorong seseorang agar memiliki keberanian.     

Deg     

Kalimat Dea membuahkan hasil, mengiringi lari gadis yang akhirnya tak rela melihat mobil mewah itu beranjak dari tempatnya.      

"Apa kau yakin kau siap kehilangan pria sebaik dia Aruna? Seseorang yang bahkan membangun rumah belajar tempatmu menenangkan diri saat ini. tidak ada yang boleh memberitahumu, bahwa tempat itu dibangun sebagai kado spesial pesta pernikahan blue oceans yang tak sempat dia utarakan sebab malam harinya kalian mengalami kejadian buruk,"      

"Pak Surya bilang, bisa jadi kesempatan kalian bersama semakin kecil, lebih tepatnya kesempatanmu kembali kepada Hendra semakin sulit, keluarganya meminta dia untuk segera menikahi perempuan lain, kabarnya perempuan itu rela di atur sesuai kondisi keluarganya,"     

Aruna berlari  kian kencang menanggalkan alas kakinya, gadis ini berteriak keras sambil menangis, "Hendra..." teriakannya tampak sia-sia, mana ada kaki yang mampu meraih laju Bentley.      

"Hendra.. hiks.. hiks.." tapi Aruna tidak peduli gadis ini kehilangan kesadarannya, dia makin mempercepat larinya secepat dan sekuat dia bisa.      

Sampai kenyataan menggerogoti tubuh manusianya, dia terjatuh karena kelelahan.     

Di sisi lain seorang ajudan yang berada dalam satu mobil dengan Mahendra mendapat panggilan, Sejenak berikutnya membuat laporan, "Tuan, mobil di belakang memberitahu nona mengejar mobil kita,"      

"Nona?"      

"Nona Aruna, istri anda, mengejar mobil ini,"      

"Putar balik sekarang juga!!" perintah mata biru.     

.     

Gadis itu terduduk kepayahan, menyusup dari hiruk-pikuk lalu lalang,  lorong jalan buntu menjadi pilihannya bersembunyi. Dia menangis, membenamkan  wajahnya dengan kedua lengan yang bertumpu pada lutut tertekuk, terbenam cukup lama hingga isak tangis menghilang dengan sendirinya.      

Air matanya tak bersisa.     

"Sudah cukup menyiksa diri sendiri?" suara ini tidak asing bagi Aruna, dia buru-buru mendongak. Ternyata benar, Hendra yang bicara. Berdiri tegap di hadapannya.      

Gadis ini, buru-buru berdiri menyeimbangkan kakinya.  Mengerjapkan mata, bahkan mengucek matanya berulang kali. Seperti sedang memastikan yang ada di depannya benar-benar pria yang barusan dia kejar menggunakan kaki telanjangnya.      

"Aku mau mencoba hidup dan tinggal bersamamu," ini suara keberanian sang perempuan.      

"Mencoba?"     

"Iya,"      

"Mencoba berarti ada batasannya. Sampai di mana percobaan itu dikatakan berhasil?" dia masih pria yang sama. Lelaki bermata biru yang mendetail di tiap  keadaan.      

Mata gadis ini menerawang,  membuat kesimpulan, "ketika kamu bisa membuatku bertahan lebih dari dua bulan,"      

"Aku tidak mau main-main, kau sering membumbungkan ku kemudian menjatuhkanku, Aku lelah kau perlakukan seperti itu. Jika kamu berniat kembali padaku berikan cintamu seutuhnya". Hendra merapikan baju Aruna. Lari gadis ini tadi membuat penampilannya berantakan.      

Perempuan mungil itu terpaksa pergi tanpa melihatnya kembali. Aruna merasa gagal bernegosiasi dengan Hendra. Sayangnya tidak, untuk aroma tubuh khas menggoda. Gadis ini membawa umpan yang tak pernah dia sadari. Lelah, gelisah, Aruna berjalan gontai masih telanjang kaki.      

"Tunggu! Dua bulan ya?".     

"Iya.. ". Aruna berbalik menangkap mata biru.     

"Apakah sesuatu yang dulu tidak aku dapatkan sebagai suami bisa kurasakan?". Mahendra menatap lekat gadis mungil itu. Percaya-tak percaya pemilik kokain benar-benar mengangguk.     

"kemarilah mari kita buktikan?!"     

Detik itu juga dia kembali menawarkan tangannya kepada perempuan pengusung candu terhebat, tentu saja lekas disambut Aruna. Spontan mata biru menarik tangan gadis itu, memintanya memasuki mobil yang dia kendarai sendiri.      

Pria ini sempat meminta kepada para Ajudannya; tak boleh dan tak ada yang di izinkan mengikuti ke mana dia pergi.      

Pada perjalanan mereka, Aruna terus mengamatinya. Menamatkan Hendra yang mengendarai mobil dengan laju lebih cepat dari kebiasaan normalnya.      

"kau akan membawaku ke mana?"      

"Tidak ada kalimat berakhiran tanda tanya untuk perempuan yang memutuskan percaya, terlebih menyerahkan diri seutuhnya,"     

Keterangan Mahendra mengunci bibir Aruna. Terdiam membisu, bahkan ketika dia akhirnya tahu ke mana Hendra membawanya gadis ini masih konsisten mengunci rapat mulutnya.      

Aruna dituntun memasuki sebuah mansion di atap gedung.  Sejenak kemudian gadis ini memutuskan untuk membersihkan diri.      

Ketika coat itu sudah mulai tergeletak, begitu juga gesper dan jam tangan. Ada yang melepas kancing di pergelangan tangan kemudian menggulungnya naik ke atas, kiri dan kanan.      

Hendra sempat menarik kelambu, sejalan kemudian mengamati atap-atap gedung di bawah sana. Tepat ketika sebuah pintu kamar mandi terbuka, gadis itu tampaknya melangkah keluar dari sana.      

Suara Mahendra menyapa, "kau tak bertanya kenapa harus kamar ini?"     

"Aku perempuan yang percaya," Aruna menjawab begini, sebab dia benar-benar sedang ingin di anggap sebagai perempuan yang pasrah dan percaya, sesuai ucapan Mahendra sebelum-sebelumnya.      

Lelaki bermata biru terkekeh mendengarnya, ketika dia berbalik, "Ah,"      

Gadis itu sudah menanggalkan piama handuknya, menyisakan dua buah lingkaran dan sebuah segitiga di atas epidermis tubuhnya.      

Termasuk semu merah pada seluruh permukaan wajah beserta gerakan kikuk malu-malu, saking malunya dia membalik tubuh menawarkan punggung yang sama memikatnya di mata sang pria.      

Dalam hitungan detik tubuh itu tertangkap, di dekap dari belakang.      

Sebuah kecupan mendarat pada bahu sang perempuan, "Aku ingin tahu, ruang yang membangkitkan ingatanku 22 tahun yang lalu ialah kutukan atau -kah keberkahan," kalimat Hendra mendesah tepat di dekat daun telinga, bukan sekedar merinding gadis ini merasakan sensasi menggetarkan.      

"Aku ingin mengganti ingatan buruk itu dengan ingatan baru," kalimat pria ini adalah awal dari sesapannya yang kadang berbuah gigitan.      

"Bantu aku membuat ingatan baru yang lebih indah tentang perempuan," Aruna di pondong dan geletakkan perlahan di atas kasur.      

"Kau mau?" gadis ini mengangguk tanpa ragu. Dia yang tersenyum mulai merangkak dan sesaat kemudian menghujaninya dengan kecupan berulang.      

Menghirup dan menghisap kokainnya puas-puas. Tidak menyadari tiap kali isapan itu terjadi bekas merahnya akan timbul di sana.      

Gadis yang di puja sedemikian rupa sudah menggeliat gelisah di bawahnya.      

Begitu juga mata biru yang jantungnya berdetak hebat ketika berhasil membuat perempuannya meloloskan keluhan demi keluhan.      

Dia yang ingin melangkah ketahap berikutnya,  masih konsisten dengan segala keunikan. Lelaki bermata biru tidak tahu cara merayu, dia malah meminta izin pada istrinya.      

"Aruna bolehkah aku..". Pria itu sudah tidak mampu lagi menahan gejolak di dadanya. Ditarik oleh magnet kuat dari tubuh harum perempuan yang terengah-engah di bawah kendalinya.      

.     

.     

.     

__________        

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/        

1. Lempar Power Stone terbaik ^^        

2. Gift, beri aku banyak Semangat!        

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan        

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.