Ciuman Pertama Aruna

Menggelitik



Menggelitik

0Gadis itu mengikuti permintaan Hendra menyusup disela-sela Coat CEO Djoyo Makmur Grup. Mendekap dengan serius tubuh mungil Aruna. Menjaganya dari benturan, bahkan tuan muda tidak mengijinkan Aruna melihat keadaan diluar. Dia benamkan kepala Aruna di dalam dadanya.     
0

Pengawalnya mulai mengeluarkan pistol yang tersembunyi dibalik jasnya.     

"Jangan ada tembakan dari dalam mobil ini. Aku tidak mau calon istriku ketakutan". Hendra menekan alat ditelinga.     

"Kita harus menembak ban belakang, ini akan membantu mengurangi kecepatan".     

"Minta mobil dibelakang melakukannya, ini perintah!". Tegas Hendra.     

"Mereka masih terlalu jauh. Waktu kita hanya 10 menit untuk sampai pintu tol".     

"Mohon pengertiannya tuan. Jika mobil ini belum berhenti di exit tol. Kita semua tahu tidak ada harapan". Komunikasi mereka berburu dengan suara gesekan Blentley dengan dinding pembatas tol.     

"Hendra... ". Suara lirih terdengar dibalik Coat Hendra.     

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Aruna. Tenanglah.. semua akan baik-baik saja". Pria itu mendekap semakin erat, memberikan usapan ringan menenangkan.     

"Tuan tidak ada waktu lagi.. ". Pinta pengawalnya.     

"Maafkan aku Aruna. Tetaplah bersembunyi". Dekapan Hendra semakin kuat. Tangannya menyilang, menyisakan jemari tangan menyusup mencari lubang telinga Aruna dan menekannya kuat-kuat. Seolah gadis itu tidak di ijinkan mendengar apapun.     

"Sekarang!!". Hendra memberi ijin.     

Pengawalnya mengeluarkan sebagian tubuh dari jendela mobil. Suara tembakan beberapa kali terdengar dan guncangan pada sisi kiri mobil terasa demikian kuat. Tanda bahwa ban mobil telah pecah.     

Pengawal bernama putra kini memegangi stir mobil. Membiarkan hery partnernya, menembak ban mobil sisi kanan. Guncangan semakin keras beradu dengan suara gesekan yang berdecit menyakitkan telinga.     

Aruna berulang kali ingin melihat keadaan diluar namun Hendra tidak membiarkannya. Tangan dan tubuh pewaris Djoyodiningrat berusaha keras menjaga tubuh mungil di dalam Coatnya agar aman dan tidak tahu apa-apa.     

"Hendra ada apa...?? Hendra...?".     

"Tenanglah Aruna.. tenang.. ".     

Putra sempat melempar kekecewaan karena exit tol sudah nampak. Kecepatan mobil sebenarnya telah jauh menurun, namun masih mustahil bisa berhenti sebelum exit tol.     

Tiba-tiba dari arah sebelah kiri, mobil tersebut mendapat benturan keras. Hendra sempat terbanting. Bersama Aruna dalam dekapannya. Ternyata bantuan datang, mobil pengawal di belakang berhasil menyusul. Menghimpit Blentley yang dikendarai tuannya. Mobil itu tergesek sempurna antara pembatas tol dengan mobil para pengawal.     

Syukurlah berhenti tepat beberapa meter sebelum exit tol. Rasa lega menjalar dari hati masing-masing penumpang.     

"Tuan silahkan keluar, kami tidak yakin mobil ini bisa bertahan lama". Gesekan yang kuat bisa mengakibatkan ledakan kapanpun juga.     

"Berikan aku kain atau sapu tangan kalian?". Permintaan Hendra segera dipenuhi. Cucu Wiryo sigap menutupi mata Aruna dengan mengaitkan sapu tangan. Dan tak membiarkan kedua tangan Aruna meraih benda itu.     

Hendra segera melepas Coat nya. Aruna keluar dengan mata tertutup termasuk kepala hingga tubuhnya terbungkus Coat menjuntai panjang milik Hendra. Gadis mungil ini hampir tak terlihat. Hendra memeganginya, memastikan mobil satunya membawa mereka melesat jauh.     

Hingga akhirnya tuan muda merelakan Aruna membuka mata, memberikan ijin melihat kondisi diluar.     

"Hendra ada apa tadi?".     

"Sudahlah jangan banyak berpikir". Pria itu terbaring lelah diatas kursi mobil. Merasakan tubuhnya yang mulai ngilu menahan benturan tadi.     

"Aruna bagaimana kondisi mu? apa ada yang terluka?". Dia masih sempat memastikan keadaan calon istrinya. Hendra pernah mengakibatkan gadis itu terluka . Kali ini hal yang sama tidak boleh terjadi lagi.     

"Kau memelukku terlalu erat, aku hanya kesulitan bernapas".     

"Kalau boleh tahu, ada apa sebenarnya?". Gadis itu masih penasaran. Kenapa Hendra tidak mengijinkan dirinya melihat kejadian barusan.     

Hendra memandanginya, dari balik tubuh lelah dan mulai sakit dimana-mana. Aruna terlihat berantakan. Rambutnya acak-acakan dan bajunya kusut karena tadi Hendra berusaha keras mengekangnya.     

"Bawa kami ke rumah induk!". Pria itu mengabaikan pertanyaan Aruna.     

_aku bisa istirahat dengan aman disana_.     

"Tuan muda, bagaimana kondisi anda?".     

"Apa kita tidak sebaiknya ke rumah sakit?". Pengawalnya mulai khawatir.     

"Pergi ke rumah induk sama saja, disana ada tim medis yang bisa di andalkan?".     

"Aruna beritahu ayah Lesmana kau ada di rumah induk kami".     

"Ayah mu pasti sangat khawatir jika kamu pulang telat. Aku butuh sedikit waktu sebelum mengantar mu pulang". Hendra perlu memeriksa memar di lengan kirinya yang terasa makin menyakitkan.     

"Aku bisa pulang sendiri".     

"Tidak! Tidak ada pulang sendiri mulai sekarang!".     

"Aku juga bisa di antar pengawal mu kan?!".     

"Jadi kamu bisa istirahat dengan nyaman".     

_sepertinya Hendra terluka_ gumam Aruna     

"Tidak! Beri aku waktu sebentar, sebelum mengantar mu pulang".     

_Aku menyesal karena tadi pagi kau dijemput oleh para pengawalku saja_     

Dan Hendra mulai memejamkan matanya. Gadis mungil itu sedikit penasaran dengan tangan kiri Hendra. Walaupun sengaja disembunyikan, terlihat jelas keningnya mengerut tiap kali bergerak.     

Aruna mendekat dan mencoba menyentuhnya. Sebuah gerakan tangkas meraih jemari Aruna. Ternyata pria yang memejamkan mata masih awas.     

"Tidak ada yang perlu diperiksa duduklah yang tenang".     

***     

Mobil pembawa pewaris tunggal Djoyodiningrat melaju cepat memasuki jalanan khusus yang seminggu lalu Aruna lewati, artinya rumah induk sudah dekat. Sesaat kemudian Gerbang terbuka mobil itu melesat meliuk dan berakhir didepan pintu utama rumah induk Djoyodiningrat.     

Ada beberapa orang yang sudah berdiri disana. Kejadian tadi tampaknya telah sampai pada mereka. Laki-laki berpenampilan rapi dengan kaca mata bulat. Membantu Hendra keluar dari dalam mobil. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dibelakangnya terdapat perempuan yang berusaha mencatat isi percakapan tersebut. Mungkin itu dokter dan suster.     

Langkah Hendra terhenti lalu memandang Aruna.     

"Beri tahu pelayan, untuk membantu nona merapikan diri". Arahan yang diberikan Hendra membuat gadis mungil ini tidak biasa lagi mengikuti langkah Hendra, pria itu menghilang dibalik lorong bersama dokter dan perawat pribadi.     

Sesaat kemudian Aruna disambut oleh dua pelayan ramah.     

"Silahkan masuk". Pelayan itu membuka dua daun pintu sekaligus, pintu cantik nan elegan. Aruna berfikir dia akan memasuki sebuah ruangan lain, Aruna sama sekali tidak menyangka bahwa didalamnya terdapat ranjang tidur besar berwarna putih.     

Apa ini kamar? interiornya cukup menarik dan sedikit unik. Terlalu unik karena salah satu sudut ruangan terdapat meja kerja dilengkapi dengan rak buku menjulang tinggi disisi kanan dan belakang. Menyisakan beberapa tempat untuk jendela kaca yang tak kalah tingginya. Didepan jendela terdapat kursi yang menempel, tempat untuk menangkap pemandangan diluar. Interior pertama yang menarik hati Aruna dari rumah ini.     

Yang paling menggelitik bagi Aruna ialah siapapun yang akan duduk dimeja kerja itu. Secara leluasa matanya dapat menangkap gerak gerik orang yang tertidur pada ranjang super king didepannya. Karena tata letaknya terlihat jelas disengaja seperti itu.     

Hal tersebut hanya salah satu bagian saja, belum sudut lainya. Nakas yang dihiasi lampu-lampu cantik, meja rias, televisi dengan sofa yang nyaman serta fasilitas lainnya. Dalam benak Aruna, ukuran kamar ini sekitar 3 bahkan 4 kali dari kamarnya. Sayang Aruna belum melihat ruang display baju dibalik pintu. Mungkin bisa 5 sampai 6 kali kamarnya.     

"Nona kamar mandi ada dibalik pintu". Sang pelayan membuka pintu dengan sopan.     

"Baju akan kami siapkan diatas ranjang".     

"Jika anda butuh sisir dan make-up mohon maaf meja rias masih kosong".     

"Kami akan membawakan sisir dan makeup secepatnya".     

"Santai saja aku cuma butuh sisir". Sela Aruna.     

_pasti rambutku berantakan_     

"Anda bisa istirahat di kamar ini sembari menunggu tuan muda".     

Aruna mengangguk ringan.     

"Jika anda membutuhkan bantuan lain. Pencet tombol 0 pada telepon tersebut". Pelayan itu mengarahkan tangannya.     

Style dan pembawaan para perempuan yang rapi ini seperti pelayanan hotel bintang 5.     

_Jadi Hendra hidup seperti ini tiap saat_ Aruna sibuk dengan pikirannya sendiri. Bersamaan datangnya pelayan lain membawakan minuman hangat serta makanan ringan.     

"Ada pertanyaan silahkan?". Salah satu dari mereka mencoba menangkap keresahan Aruna.     

"Kalau boleh tahu, ini kamar siapa?".     

"Oh' ini kamar anda".     

"Apa??".     

"Ini adalah kamar yang disiapkan oma Sukma untuk anda dan tuan muda".     

"APA???".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.