Ciuman Pertama Aruna

II-89. Aura Yang Sama



II-89. Aura Yang Sama

0Hendra menatap ramah masing-masing peserta. Seiring gerakannya duduk kembali, CEO muda yang belum sempat dia ajak berkenalan tadi terlihat menatapnya penuh arti.      
0

Setelahnya ada sesuatu yang membuat Hendra terheran, lelaki tidak asing itu sedikit ragu-ragu untuk memperkenalkan diri selalu mempersilahkan yang lain terlebih dahulu sambil mencuri pandang melihat Mahendra. raut wajahnya cukup bijaksana dan damai untuk seorang CEO yang kebanyakan cenderung pekerja keras dengan raut muka tegas.      

_Tunggu, kenapa aku merasa hampir mirip dengannya?_ pria yang kini mengalihkan pandangan bercakap-cakap dengan samping kanan kiri, setelah diamati tingginya sebelas dua belas dibandingkan dengan Hendra. Lebih-lebih seumpama Hendra tidak memiliki darah campuran dalam artian Jawa saja, bisa jadi mereka akan tertangkap memiliki aura yang sama.      

Hendra menjentikkan jarinya dan spontan Surya yang berdiri di pojok belakang persis seperti para sekertaris  yang lain bergerak mendekati Mahendra. Hendra segera minta informasi siapa pria tersebut, tapi di urungkan karena pria itu kini berdiri memperkenalkan diri.      

"Saya putra Rio, saya datang menggantikan ayah saya" Hanya itu kalimat yang dia ucapkan tidak seperti yang lain. Kumpulan CEO selain dia memperkenalkan diri dengan formal dan sesuai prosedur, tentu saja ada kerutan di dahi beberapa CEO yang tidak mengenalinya dengan jelas termasuk Mahendra.      

Melihat raut muka kesal Hendra buru-buru Surya mendekat karena tadi dia sudah mendengar pertanyaan atasannya, "Dia Gibran."      

"Tunggu siapa?" Hendra kembali memastikan.      

"Pasti kamu merasa tidak asing, Gibran Diningrat putra Rio Diningrat, CEO Tarantula dua tahun terakhir setelah terpilih dalam rapat para dewan Tarantula".      

"Oh" kalimat tersebut yang muncul dari mulut Hendra setelah tanda tanya di hatinya terjawab, memang cukup berbeda dari foto yang pernah dia lihat.      

Tepat ketika Surya menyingkir, mata biru tak lagi fokus pada pembahasan yang terjadi pada jamuan makan siang, dia lebih sibuk dengan pergulatan batin dengan isi otaknya sendiri.     

Sial! Bagaimana bisa orang seperti ini yang mengirim para pengancam keluarganya. Lebih kesal lagi mengingat kekacauan yang dia perbuat pada awal pembangunan Dream City, bagi Hendra hal tersebut yang paling tidak bisa di maafkan. Mereka secara nyata menjadikan istrinya sebagai target sniper, setelah sadar mendekati kegagalan di rubahlah targetnya pada Mahendra kemudian meleset dan Riswan-lah korban salah sasaran.      

Api kemarahan seolah menyala-nyala dari mata cucu Wiryo, andai ini bukan pertemuan resmi pasti detik ini juga dia akan mendatangi lelaki bernama Gibran lalu menghajarnya kalau perlu sekalian bersama para ajudannya.      

_Wah' aku tidak membawa ajudan kecuali Hery_ Hendra menelisik setiap pasang mata para bodyguard yang di bawa masing-masing CEO. Entah mengapa dia merasa perlu mendekati pria yang berkenalan sebagai putra Rio, Hendra ingin tahu seperti apa CEO yang menjadi musuh besar keluarganya selama turun temurun.      

Mata biru menemukan dua orang yang sangat perhatian pada Gibran, pasti itu bodyguard-nya. Keduanya bahkan membawa senjata api terselip dalam persembunyian.     

_Wao orang ini sangat berhati-hati_ Batin Hendra.      

Tak lama setelah diskusi hangat yang dilewatkan mata biru para kolega mendekat. Hendra paham dirinya cukup seksi untuk di dekati bukan dalam hal fisik melainkan terkait statusnya di dunia bisnis.      

Djoyo Makmur Grup dari generasi ke generasi semakin berkembang pesat justru kini mampu mendominasi Asia Tenggara. Perusahaan yang terkenal kuat menerpa badai apa pun termasuk badai scandal yang melekat pada CEO sekaligus pewaris tunggalnya maupun berita miris tentang di jadikannya Mahendra sebagai target pembunuh bayaran tidak menyurutkan hasrat mereka untuk mendekat dan bekerja sama.     

Namun, cucu Wiryo sedang bed mood, tentu ekspresinya ikut resek tidak sewajarnya ketika dia berada di hadapan publik. Surya buru-buru menarik mundur lelaki bermata biru, "Apa yang kau lakukan?" Surya melebarkan matanya.     

"Banyak pejabat dan kolega penting, perbaiki ekspresimu atau kita undur diri lebih awal" Mahendra bukannya peduli dengan ocehan Surya. Raut mukanya makin janggal, ternyata oh ternyata CEO tarantula berjalan menyingkir dan tertangkap Mahendra terlepas dari pengawalnya.      

"Minggir kau!" Secepat dia bisa pria ini menyusul CEO Tarantula, membuntuti Gibran dari belakang hingga pada lorong kosong pria bermata biru berjalan mendahului targetnya.      

"CEO Tarantula" Senyum Hendra mengembang.      

"iya," lawan bicaranya mundur selangkah mencoba memahami situasi.      

"Bisakah kita bersaing dengan cara jantan!" Hendra menyeringai.      

"Apa maksud Anda?" tanya Gibran di buat bingung.      

"Hah! Haha!" Hendra mulai tertawa mengerikan, "Aku tidak tahu bagaimana keluargamu membentukmu? Tapi kita bisa menyudahi kekonyolan yang di wariskan pada kita" Mata biru Hendra sedang melambangkan penghinaan dan ancaman secara bersamaan.      

"Aku tidak mengerti maksud Anda" Gibran berusaha menyingkir.      

"Dua kali ancaman pembunuhan padaku, Tiga kali pada istriku dan yang terakhir ku pikir kalian ternyata bukan bagian dari kalian, faktanya pejabat yang ketakutan setelah terbongkar sebagai penerima suap dan pengikut kalian" mendengar ungkapan Mahendra yang blak-blakan, raut muka Gibran terjengah. Pria ini tidak habis pikir dia yang didepanya dengan lugas menjabarkan serangkaian serangan yang di lakukan Tarantula.      

"Saya akan memanggil para bodyguard saya, bila Anda mencoba mengancam saya" Gibran berupaya memasang tampang tenang padahal pria ini sedang pada mode penuh kewaspadaan.      

"He! Hehe caraku membalas tidak se-murahan kalian" Hina Hendra. Gibran masih mengamatinya, lelaki ini berusaha tenang dengan perilaku Hendra yang jelas-jelas merundungnya.      

Tak lama terlihat dua bodyguard milik Gibran mendekat sepertinya mereka menemukan sesuatu yang tidak beres pada percakapan Mahendra dan Gibran. Surya pun tidak mau kalah segera menyusul Mahendra.     

"Kau pikir aku akan sama dengan tetua Wiryo yang memilih diam hanya karena kalian memiliki pertalian saudara dengan kami. Dengarkan aku anak Rio! Djoyo Makmur grup belum pernah menampakkan wujud aslinya," Kembali Mahendra berbicara walau mereka sudah saling memunggungi. Sebab tidak ingin ada keributan berarti, mereka memilih menyingkir satu sama lain sebelum orang-orang menemukan perdebatan antara dua pewaris dengan satu garis keturunan.      

.     

.     

"Tapi kita bisa menyudahi kekonyolan yang di wariskan pada kita" ungkapannya sangat menarik untukku, andai aku bisa aku juga sama ingin menghentikan permusuhan yang di turunkan padaku.      

Aku bahkan ingat dengan jelas, kamu-lah orang yang sama yang telah menolong Syakila kala dia memilih bunuh diri dari pada di paksa jalan denganku.      

Aku tahu betul bagaimana kau melompat dan menangkap tubuh Syakila calon istriku ketika aku tidak sanggup lagi menggenggam tangannya.      

Sayangnya aku tidak bisa melawan ayahku walau sejujurnya aku punya niat yang sama denganmu ingin menghentikan 'kekonyolan ini'.     

"Bagaimana dengan perusahaan yang jelas-jelas melakukan akuisisi terselubung terhadap start up lokal yang masih berkembang untuk di jadikan bisnis baru mereka," Dan kau berusaha menyentuhku dalam diskusi akhir yang harusnya berjalan cepat sebagai penutup.      

"Sebaiknya kita diskusikan ini lain waktu, karena setahu aku banyak juga yang senang hati di akuisisi mirip seperti kakak anda" Gibran membalas sentilan Mahendra.      

.     

.     

|Kakak Hendra? Perusahaan siapa yang sudah jatuh di tangan Tarantula?|     

.      

.      

__________________________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.