Ciuman Pertama Aruna

Semerah Cakrawala



Semerah Cakrawala

Aruna menatapnya dengan tatapan berbeda, mata yang tidak pernah menunjukkan kemarahan kini melemparkan api.     

Sekejap kemudian Dia seolah menghembuskan nafas menutup matanya dan luruh kembali : "Lepaskan aku". Suaranya melemah, kemarahan itu diredam lagi dan lagi. Gadis yang pandai menyembunyikan banyak hal, sedang berusaha menutup rasa sakitnya dalam dalam.     

Siapa yang bisa tahan melihat ini, termasuk laki-laki yang jatuh cinta  ikut dibuatnya hancur hanya karena menangkap ekspresi wajahnya.     

Menatap sesuatu yang sulit dipahami, bagaimana dia bisa menggunakan otaknya ketika ekspresi gadis itu terlalu sulit diprediksi.     

"Jika aku tidak mau??".       

"Cukup Hendra!". Pintanya.      

"seperti dirimu yang menganggap penting perjanjian pernikahan kita, seperti itu pula aku akan mendapatkan hak ku". Mahendra mulai meraba lagi.      

"Kau akan melanggarnya HENDRA!!".      

"Aku tidak peduli".      

"jika melanggar perjanjian adalah hal yang wajar di matamu. Harusnya ayahku tidak mengorbankan putrinya, harusnya ayahku melanggarnya saja, Harusnya Aku bisa terlepas dari status gadis jaminan kesejahteraan keluarga. Mengapa aku berada disini! Mengapa aku harus menikah?! Dikurung sepanjang hari, DAN DIPERLAKUKAN LAYAKNYA PEREMPUAN SAMPAH!!". Aruna mulai berteriak.      

"kau tidak bisa menjawabnya kan?". Ungkapan gadis itu membuat seseorang membeku.     

"Tidak perlu berpikir dan tidak perlu membuat jawaban. Tapi jangan pernah kau lupa, kedatanganku berasal dari perjanjian ayah dan kakek mu!. Hiks hiks.. gadis penjamin kesejahteraan keluarga. Bukankah mulutmu selalu mengatakan itu ketika marah!!". Aruna tidak berkenan diraba lagi, kekuatannya sudah hampir runtuh. Dia menumpahkan sesuatu yang seharusnya tak layak diucapkan walaupun hal itu untuk melindungi dirinya. Namun dia tetaplah manusia bukan malaikat,  sedatar apa pun gadis itu dia punya naluri yang sama.      

Bukan ini alasan yang sebenarnya, tapi sekali lagi Aruna harus melindungi dirinya dan melindungi apa yang tak boleh dia suara kan.      

Aruna tidak punya cara lain selain mengingatkan lelaki bermata biru tentang eksistensi kehadirannya di tempat ini.     

Kegundahan dalam hati gadis itu sesungguhnya sama besarnya dengan kegundahan yang terjadi pada lelaki yang habis-habisan mengharapkannya. Siapa yang bisa bertahan terhadap sentuhan seseorang yang perlahan lahan juga diperkenankan mengisi kehidupannya.      

Namun siapalah dia. Dia bukan subjek pada kejadian yang telah diatur tiap saat. Dia adalah objek yang harus menerima perlakuan.      

"Aaaargh!!". Cucu Wiryo memukul air yang perlahan menunjukkan ketenangan. Bersama gerakan perlahan Putri Lesmana mengais dan mengenakan baju yang tak lagi layak.      

Kini giliran seorang pria berstatus suami ikut-ikutan menatap kosong langit menggelap.      

Perempuan melangkah keluar dari bathtub, menyisakan mata merah tapi bukan menyala. Tetesan air dari caranya berjalan, walau laki-laki itu tidak memandangnya sama sekali. Dia tahu ada tetesan lain yang menyakitkan melebur jadi satu.      

Sama seperti dirinya, yang akhirnya ikut tumbang. Mahendra kehilangan kekuatannya, dia tidak pernah sekalipun membasahi sudut matanya.      

Semenjak matanya kering dan suaranya hilang karena menangis meratapi rasa takut kehilangan mommy. Ia tidak lagi merasakan rasa sedih yang berarti untuk diratapi.      

Kecuali hari ini. Hari di mana matanya merah semerah cakrawala, warna pertama yang dia dapati ketika melirik mata istrinya tadi. Saat pertama kali dirinya mulai membuka resleting itu. Perempuan mungilnya juga melihat panorama senja sehingga kornea mata ikut memerah karena pantulan warna jingga jejak matahari yang tenggelam meninggalkan salah satu sisi permukaan bumi.      

Bersama suara rintik shower membasuh perempuan di dalam sana. Pria itu mengeluh sendirian.      

~     

"Hendra.. bukankah aku sudah menjadi gadis penjamin yang baik.. Aku tidak pernah minta apa-apa darimu. Aku selalu membayar kompensasi yang kau inginkan. Tiap kali aku menginginkan sesuatu dan kau memberikannya".      

"Apalagi sekarang kamu sudah sembuh, kamu bisa mendapatkan keinginan mu dari perempuan mana pun".      

"siapa yang memberitahumu Aku sakit".      

"Tanpa diberitahu, melihat perilaku unikmu siapa saja akan berusaha mencari pemahaman. Dari mana aku tahu itu tidak penting. Yang terpenting sekarang kamu tidak lagi bergantung pada ku".      

"Apa itu artinya kamu menyuruhku mencari perempuan lain?". Hendra mencapai batas kegelisahannya.     

Aruna tidak memberinya jawaban.      

"malam ini aku tidur di kamar Dea, besok kita jalan-jalan ya..". suara Aruna masih bisa lemah lembut bahkan perempuan itu membelai pipinya.      

_Perilaku macam apa ini! Dia baru saja berteriak pada ku, lalu menghancurkan hatiku, sekarang membelai pipiku_ Mahendra ingin marah dan berteriak tapi dia tak bisa.     

"Kau belum menjawab pertanyaanku?!".      

"besok kita seru-seruan.. sayang sekali sudah jauh-jauh ke Bali.. nanti kita coba banana boat". Aruna mengalihkan pembicaraan.      

"kau belum menjawab pertanyaanku?!".      

"Aku sudah lapar pasti makanan di sini enak enak, bagaimana kalau nanti kita...".     

"kau belum menjawab pertanyaanku?!". Hendra mengulangi pertanyaan yang sama bahkan nadanya pun sama.      

"Aku ingin bersenang-senang, sebagai kompensasi luka yang kau perbuat hari ini".     

"kau belum menjawab pertanyaanku?!". Hendra bersih kukuh.     

"Em.. seperti yang ku katakan di awal, kalau besok Aku Dan kamu punya kesempatan melihat senja bersama. Aku ingin ditemani jalan-jalan di tepi pantai. Mungkin ada jawaban di sana".      

Menyisakan kecupan di pipi sebelum perempuan melangkah keluar dari bathtub.      

~     

~     

[Flashback. Chapter 26, Pencuri Pertama]     

(Setelah Kepergian Hendra - Aruna dari rumah induk Djoyodingrat)     

"Hee.. Apa yang membawa putri ku berkenan menemui papinya? Apakah ada kejadian hebat hari ini?". Wiryo cukup takjub setelah hampir 20 tahun lebih anak dan ayah ini tidak pernah saling bicara.     

"Aku yang memberi tahu Lesmana tentang sakit yang diderita Mahendra". Wajah ayu itu enggan menatap papinya sendiri.     

"Tepat sesuai dugaan ku". Wiryo menjawab singkat.     

"Dia ingin putrinya.. ". Belum usai Gayatri menyelasaikan ucapannya.     

"Aku sudah mengerti, anak itu bisa dia ambil kembali kapan saja". Wiryo melengkapi.     

"Kalau hari itu datang jangan sampai kau menyakiti putra ku".     

"Apa kamu pikir aku tidak menyayangi cucu ku, walau aku pernah menyatakan penolakan karena dia hadir secara tiba tiba. Aku tidak pernah membencinya sedikit pun, aku menyayanginya seperti aku menyanyangi mu". Sang papi berharap putri semata wayangnya berkenan untuk sekedar meletakkan gambaran dirinya pada bola mata si kecil ayu yang sekarang menjelma menjadi perempuan tanpa emosi.     

"Kau menjadikannya alat mu". Hina Gayatri.       

"Aku tidak pernah menganggapnya demikian". Wiryo menolak tuduhan putrinya.       

"Hee..". Gayatri hanya tersenyum, senyum penghinaan yang disamarkan.      

"Dia harus kuat untuk bertahan di keluarga ini. Aku hanya menyiapkan pewaris yang bisa memikul beban yang diwariskan secara turun temurun dari keluarga Djoyodiningrat". Tegas Wiryo.       

"Iya... bukan pewaris lemah seperti ku. Kau gunakan putra ku untuk membalas kesalahan mu dalam mendidik ku". Gayatri kini menatap papinya. Tapi bukan tatapan yang diharapkan lebih kepada tatapan kemarahan.       

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

Bantu Author mendapatkan Power Stone terbaik ^^     

Hadiah anda adalah motivasi untuk kreasi saya. Beri aku lebih banyak motivasi!     

Silahkan tinggalkan jejak komentar, aku selalu membacanya.     

Review bintang 5     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak     

INFO : Instagram bluehadyan, fansbase CPA (Hendra, Aruna, Damar)     

Nikmati Cuplikan seru, spoiler dan visualisasi CPA     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.