Ciuman Pertama Aruna

II-87. K O M P E N S A S I



II-87. K O M P E N S A S I

0"Hendra aku belum memberimu kompensasi atas bantuanmu"       
0

Kutahu apa yang terjadi padaku, kata sederhana berisikan 10 susunan huruf K O M P E N S A S I menjadi penyulut rona merah di wajahku. Rona mukaku yang tertangkap kaca mobil sudah mirip tungku panas kelaman terpanggang di atas kompor sebab kelupaan di angkat pemiliknya.       

Dan ujung jemari Aruna mendekat menyentuh bibirku, seketika jantungku berhenti berdetak dan aku seolah tidak bernafas. Aku mengumpat diriku sendiri "Hendra.. nafas Hendra.. !! nafas..!!" hahaha aku larut menatapnya penuh harap.      

Sial! Harusnya aku tidak menampilkan ekspresi seperti ini, Aruna pasti tahu aku tidak bisa melepas bola mataku dari bibirnya yang memabukkan. Dia bergerak perlahan mendekatiku "lambatnya Tuhan.. seperti siput!!" hatiku meronta-ronta mengikuti ritme istriku yang ragu-ragu seperti siput keluar masuk rumahnya.      

Kuhembuskan nafasku, aku lelah menunggu keraguan istriku. Ah' sedetik kemudian bersamaan embusan nafas kudapati rasa lembut membasahi bibir bawahku, "Tuhan.. ini nikmatnya bibir Aruna" si lambat yang membuat tubuhku bergetar hebat bagai ada listrik yang dihantarkan dari denyutan bibirnya menuju ke seluruh tubuhku.     

Dia mengulum bibir bawahku malu-malu, ketika aku perlahan membuka mata menangkapnya ternyata bukan hanya aku yang memerah seperti tungku. Aruna juga sama wajahnya merah menyerupai tomat yang siap aku gigit.     

Aku tarik saja pinggangnya masuk ke dalam Kursi penumpang karena Sebenarnya dia masih berdiri di luar mobil sedangkan aku duduk di kursi tepian mobil.      

Kuhentikan gejolakku ingin menguasainya atau mendominasi gerakan lambatnya, aku ingin membiarkan dia yang memuaskan kami dengan caranya.      

Ouch' ini hanya teori otakku saja, sungguh teori yang bersemayam tak lebih dari 5 detik. Sebab, ketika dia mencoba keberanian yang tak pernah aku temukan sebelumnya seketika otakku lumpuh. Aruna dengan lidah kecilnya menyusup ke rongga mulutku.      

Dan tubuhku bergetar lebih hebat bersama dia yang makin berani menyesapku. Otomatis aku bergejolak ingin membalasnya, ku tanggalkan teori sesaat yang sempat berniat membiarkan dia saja yang bermain.      

Haha' aku menertawakan diriku sendiri ketika aku akhirnya tetap mendominasi. Tapi anehnya Aruna tidak seperti biasanya dia merebut caraku mendominasi, dia lebih aktif. Gila! Ini membuatku gila dan tergila-gila seketika.      

Jika ada orang yang melihatku tentu dia akan berpikir aku lelaki terperdaya dikutuk menjadi budak cinta.      

Bagaimana tidak, ketika istriku makin mendekat perlahan menuju pangkuanku kudapati diriku hanyut, mataku kabur dan jiwaku sudah melayang-layang di awan-awan bersama caraku memegang celana jeans-nya yang sudah duduk nyaman di atas pahaku.      

Itu alasanku selalu menyebutnya kokain, aku seperti orang nge-fly hanya karena baru saja menghirup harum aromanya.      

"Wuih.. mobil ini panas sekali" itu suara Hery yang aku tangkap mengibas-ngibaskan tangan kanannya ke arah wajah memutuskan keluar dari kursi pengemudi.      

"Hehe" aku dan Aruna terkekeh tidak tahan mendengar keluhannya.       

Dan kami mengerjap-ngerjap mata mencari kesadaran, aku tidak mau melewatkan momen bagaimana dia berupaya mengusap bibirnya dengan punggung tangan lalu turun dari pangkuanku.      

Wajahnya yang merah semakin parah dan tertunduk malu-malu. Tunggu! Aku suaminya bagaimana bisa di berperilaku seperti ini. Aku tahu istriku memang unik gadis dingin yang hobby menolakku, kadang juga ragu-ragu tiap kali ingin menerima perlakuan manis dariku.      

Tapi kali ini melihat semu kemerahan di pipi Aruna, aku rasa sesuatu di dalam diriku terdobrak dengan keras. Pertahananku sebagai lelaki normal sekali lagi dia lucuti. Seakan-akan aku ingin menjilat pipinya kalau perlu menggigit tomat itu, parahnya otakku berkeliaran ingin merobek bajunya. "Dia istriku.. Aaargh!!" jiwaku berteriak kesetanan.      

Namun, Aruna tetaplah gadis polos yang menatapku dengan mata bulatnya seperti bayi tanpa dosa. Kalau aku berbuat yang tidak-tidak, bisa dipastikan aku akan kehilangan dia selama-lamanya.      

"Huuuh.. tahan Hendra tahan.. ingat.. ingat dia layang-layang dengan benang rapuh yang mengharuskanmu pandai tarik ulur perlahan supaya dia tetap terbang ke angkasa dari kendalimu" betapa konyolnya aku sekonyong-konyong mengingat majas eufemisme karya Oma Sukma yang beliau bisikan tiap kali aku murung merindu gadis ini.      

"Mas Hendra aku balik dulu.. makasih ya.. bantuannya" Aruna tersenyum bersama susunan gigi yang terlihat kemudian mengatup bertautan menutup bibir merahnya yang masih basah karena lumatanku.       

Sial! Dia memanggilku mas?! Gadis kecil sialan, dengan jalan apa aku tidak ikut turun dari mobil lalu membuntutinya.      

"Em??" Aruna tampak bingung melihatku berjalan mengiringinya.      

"Aku ingin melihat tempat tinggalmu yang baru"      

"Oh' oke" matanya berbinar menatapku dengan senyuman manis. Yach! Aku dibuat meleleh lagi, saking melelehnya karena bertubi-tubi mendapat perilaku manis setelah satu bulan penuh tak dapat menyentuhnya.      

Tanpa sadar aku berjalan kebablasan, dia raih tanganku. Sekarang telapak tanganku di kuasai Aruna, dia tautkan dalam genggaman telapak tangannya. Lihatlah! Dengan cara apa aku tidak mabuk di buatnya.      

Kususuri tangga kecil yang hanya cukup untuk satu orang dengan tanganku yang masih dia genggam. Kami melempar senyum satu sama lain seperti sepasang kekasih yang baru saja jadian.      

Tepat ketika aku sampai di Rooftop outlet surat ajaib, sekali lagi mulutku di bikin ternganga. Buket bunga pemberianku dia susun di teras dan tepian tempat tinggal barunya. Tepian yang asih ter naungi atap dia letakkan botol air mineral yang dibelah menjadi dua lalu di isi setengah air dan terbentuklah vas-vas sederhana dengan bunga-bunga pemberianku tersusun indah versinya.      

Versi gadis jurusan desain, dia sangat sederhana. Tanganku sampai terlepas dari genggamannya saking tertegun melihat karyanya. Apa dia lupa dia istri siapa? Walau kami terpisah dia masih pegang salah satu platinum cardku. Lagi dan lagi Aku tidak pernah mendapatkan tagihan dari platinum card yang aku serahkan padanya.      

Dan hari ini kudapati dia menyusun buket bunga pemberianku dengan caranya yang unik bin sederhana. Aku dibuat geleng-geleng kepala oleh kelakuan gadis kecil satu ini.      

"Em.. tempat tinggalku kecil Hendra.. aku tidak bisa memasukkannya ke dalam rumah.. tapi lumayan kan masih aku letakkan di tempat teduh"      

"Oh' aku malah heran kenapa repot-repot  membuat vas untuk bunga-bunga ini?. Kapan kau kerjakan semua ini?"     

"Tadi pagi.. hehe aku mau bunganya bertahan lebih lama.. sayang banget kan mahal-mahal Cuma sekejap saja dinikmati" dia tersenyum padaku, ungkapannya pun seputar sayang membuang-buang uang.      

"Aruna.." Suara merdu laki-laki, dan mataku menatap tajam padanya. Sepertinya dia sudah menunggu lama di Rooftop tempat istriku tinggal.      

"Kau sudah menunggu lama??"      

"Lumayan sih.. tapi pemandangan di sini cukup menyenangkan untuk dinikmati jadinya nggak berasa lama.."      

Aku tak henti menatapnya anehnya dia tidak memancarkan aura permusuhan seperti yang sudah-sudah.      

Bahkan pemuda jangkung itu melambaikan tangannya padaku "Hai.." lalu tangan berani itu masuk saku celana jeans-nya masih dengan santai mengikuti tubuh istriku yang bergerak mendekati pintu dan memutar kunci meminta kami berdua masuk.     

|Em.. Pemuda jangkung saingan Hendra.. kalian masih ingatkan dia siapa|     

.      

.      

__________________________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

1. Lempar Power Stone terbaik ^^      

2. Gift, beri aku banyak Semangat!      

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.