Ciuman Pertama Aruna

Terimakasih



Terimakasih

0Aruna membolak-balik handphone barunya. Terlalu bagus. Sembari melihat aplikasi apa saja yang dapat segera dipulihkan, dia juga mendownload aplikasi tertentu yang menjadi kebutuhannya sebagai desain projek Surat Ajaib.     
0

Untung saja nomornya masih bisa diselamatkan. Aruna melirik Hendra, wajah CEO Djoyo Makmur Grup menjadi begitu dingin. Layaknya manekin, tak bersuara. Bahkan serasa tidak bernafas.     

Aruna harus memulai percakapan, tapi dari mana?. Dari kata terimakasih atau maaf. Ya, dia perlu minta maaf. Sepertinya Hendra tadi tahu bahwa nomornya disimpan dengan nama 'CEO gila'. (+_+)     

Tapi jika maaf yang lebih dahulu dia suarakan, apakah CEO itu dapat dipastikan tidak marah?. Ah' sungguh menyebalkan berurusan dengan lelaki misterius, pemarah, suka semuanya sendiri, dan banyak kumpulan ungkapan negatif didalam otak Aruna untuk pewaris Djoyodiningrat.     

Diurungkan sudah kalimat 'maaf'.     

"Hendra terimakasih". Aruna menyapa.     

Dia hanya melirik kemudian kembali terdiam.     

"Terimakasih juga untuk hari ini". Tambah Aruna.     

_Tunggu hari ini??_     

_Tidak layak ada kata terimakasih kecuali kemampuan kartu ajaibnya_     

"Terimakasih untuk hari ini aku ralat". Kening Hendra mengerut mendengar ucapan Aruna.     

"Aku ganti. Titip pesan terimakasih ku kepada kartu ajaib mu". Aruna lebih puas dengan pilihan kata dalam ucapan terakhirnya.     

Dua penumpang didepan terbatuk-batuk menahan tawa. Tidak tahan melihat perilaku calon istri tuannya.     

"Kau memang tidak tahu cara berterimakasih dengan benar?!". Hendra mengucapkan kalimat itu dengan nada rendah suram.     

"Aku tahu kamu marah".     

"Tapi aku tidak bisa mengucapkan terimakasih untuk semua perilaku mu hari ini". Aruna ikut terdiam.     

Mereka saling tidak menyapa hingga sampai pada tempat tujuan Aruna. Mobil yang membawa rombongan mereka tinggal 2 saja. Yang berisikan para fotografer termasuk Surya telah pamit terlebih dahulu karena ada keperluan lain.     

"Stop". Ucapan Aruna menghentikan orang-orang didalam mobil Blentley Continental, menghentikan niat mereka untuk segera keluar.     

"Beritahukan pada para pengawal mu. Tidak ada yang boleh keluar dari mobil kecuali kau".     

"Aku yakin kau tidak mau pulang sekarang, Walaupun aku paksa". Pinta Aruna.     

"Kenapa? Ada masalah apa dengan para pengawal ku?". Hendra merasa permintaan Aruna aneh.     

"Penampilan mereka norak!".     

_Apa??_ dua pengawal didepan tersentak.     

"Mereka seperti para mafia, panas-panas begini pakai jas hitam, gerak-geriknya senada pula.. !!". Jengkel.     

"Di kampung pinggir seperti ini, style mereka akan mengundang banyak pertanyaan!". Aruna memang selalu begini. Hendra ingat betul kejadian salah kostum ketika pertama kali menjemputnya di kampus 'casual style'.     

"Ya baiklah.. ".     

"Tapi ngomong-ngomong tempat apa ini??". Hendra sedikit bingung dengan kondisi bangunan yang mereka datangi.     

Bukan panti asuhan seperti bayangannya. Terlalu buruk.     

Aruna tersenyum melihat kebingung Hendra. Founder Surat Ajaib memberikan penjelasan sembari mengeluarkan kantong belanja dari bagasi mobil.     

"Namanya sanggar belajar mandiri. Tempat ini dulunya adalah sekolah jalanan. Tapi karena anak-anak memilih ngamen atau mulung dari pada sekolah. Akhirnya LKS yang menaunginya berinisiatif menjadikan sanggar belajar".     

"Mereka bisa belajar apa saja disini tiap sore dengan para relawan. Dan yang telah memutuskan siap mengikuti paket A, B, atau C. Akan dikelompokkan tersendiri, mereka mendapat bimbingan lebih intensif, jadi lebih simpel tanpa paksaan". Hendra terlihat semakin bingung. Keluarganya mengelola banyak beasiswa charity tapi tidak pernah mendapati yang sejenis ini.     

Aruna tersenyum menenangkan.     

"Kamu baru pertama kali ya.. ke tempat seperti ini?".     

Pria itu memandang sekeliling dengan awas. Terlihat hati-hati menginjakkan kakinya pada bangunan yang hampir sepenuhnya terbuat dari kayu. Berbunyi 'kriet kriet' ketika berjalan membuatnya takjub. Melirik Aruna memastikan apakah hal itu bukan suatu masalah.     

"Ayolah Hendra bangunan ini tidak akan roboh karena berbunyi". Aruna menarik Coat Hendra supaya segera masuk tanpa ragu.     

Bangunan yang disebut sanggar belajar itu mirip rumah panggung. Lantainya terbuat dari kayu dan tentu saja dindingnya juga berbahan kayu. Dari teras depan tampak dua ruangan dengan jendela berjejer terselimuti klambu putih pudar. Pintunya pun cukup unik, sebuah pintu geser manual. Di kantor Hendra ada banyak pintu semacam itu. Namun dia tidak membayangkan bahwa pintu geser bisa terbuat dari kayu yang termodifikasi manual oleh kearifan lokal pembuatannya.     

Hendra berjalan lebih cepat karena tarikan Aruna. Gadis itu menggeser pintu kayu didepannya.     

"Selamat sore.. Kak Aruna datang..". Wajahnya berubah cerah. Menyapa riang anak- anak didalam. Hendra pernah melihat ekspresi itu dua kali.     

Pada perjumpaan pertamanya dalam penghargaan 'startup pendatang baru terbaik kategori craft' yang diraih Aruna. Kala itu mereka belum saling kenal. Namun Hendra menyadari gadis itu begitu bersinar, dikelilingi banyak sahabat. Ketika turun dari panggung teman-temannya berlarian menyambutnya. Acara tersebut memang berlangsung di universitas Tripusaka, kampus Aruna.     

Hendra diundang sebagai pembicara disana, karena dirinya termasuk salah satu CEO muda paling berpengaruh. Aruna mungkin tidak ingat bahwa mereka pernah bertemu jauh sebelum janji pernikahan antara ayah Lesmana dan tetua Wiryo dilangsungkan.     

Wajah bersinar berikutnya terjadi ketika Hendra dan sekertarisnya menjadi peserta seminar untuk para startup. Setelah itu Hendra tak lagi menjumpainya. Gadis itu lebih banyak murung dan sesekali marah karena tertekan. Mungkin itu sebabnya dia tidak pernah menyukai Hendra. Hendra datang dengan cara yang frontal, memaksanya menandatangani kontrak pernikahan sebelum saling mengenal.     

Tiga temannya yang membimbing anak-anak menghentikan aktivitas mengajar. Mereka berdiri menyambut Aruna. Dan secara spontan anak-anak berlari riang memeluk Aruna. Hendra mundur, dia tidak terbiasa dengan hal semacam ini. Anak-anak itu sebagian besar berbaju kusut. Beberapa yang lain terlihat tidak terurus.     

Hendra pikir didalam ruangan ini ada meja dan kursi belajar. Seperti sekolah pada umumnya. Ternyata ruang belajar yang dia lihat hanya memanfaatkan meja lipat mungil. Tidak ada kursi untuk duduk.     

Aruna begitu santai memberikan pelukan kepada mereka, dia sesekali berjongkok mensejajarkan dirinya dengan tinggi anak-anak ketika menjawab pertanyaan mereka.     

"Baiklah mari duduk dulu...". Aruna membuat tepuk ringan bermakna 'ayo bergegas aku punya kejutan'.     

Gadis itu terlihat memeluk salah satu dari tiga pengajar lainnya. Dan sempat berbincang sesaat. Sebelum ketiganya keluar membantu mengambil kantong-kantong belanjaan. Tadi Hendra tidak bisa bawa banyak. Dia kesulitan beradaptasi dengan lantai berbunyi.     

"Hari ini kak Aruna membawa banyaaak hadiah". Gadis itu berbicara didepan dengan riang. Rambutnya yang terurai mengembang dan bergerak-gerak, berpadu balutan midi dress dan make up minimalis yang Hendra siapkan. Tentu saja mata pria dibelakang tidak rela berkedip. Sesuai fashion yang dia inginkan.     

"Kalian mau??".     

"Mau.. ". Anak-anak bersorak girang.     

"Tapi kita belajar dulu.. ".     

"Ye.. ye.. ". Ada yang masih bersorak senang. Kelas Aruna dan Dea memang paling di gemari. Tidak ada berhitung dan membaca. Karena dua gadis itu memberikan kelas kerajinan tangan. Anak-anak selalu menikmatinya.     

"Kak Runa, kita bikin apa hari ini?". Tanya sikecil berhijab.     

"Kita akan buat gelang cantik". Dan dia tersenyum senang begitu juga yang lain.     

"Kak siapa laki-laki dibelakang?".     

"Dia diam saja dari tadi". Dua pria kecil menoleh kebelakang penasaran.     

"Kalian ingin berkenalan?". Aruna menangkap rasa penasaran anak-anak. Hendra terlihat terlalu berbeda. Aruna menduga Hendra berdiri dari tadi karena lelaki itu kebingungan bagaimana mengawali duduk dilantai yang asing. Seperti kunjungannya ke Surat Ajaib dulu. Surya, sekertarisnya dengan tangkas mencarikan alas duduk dan membisikkan instruksi.     

Aruna tersenyum memanggilnya.     

"Hendra bawakan kemari manik-manik yang aku beli tadi". Hendra segera memeriksakan kantong-kantong belanjaan dibantu para pengajar.     

Sesaat kemudian Hendra berjalan menuju Aruna seiring usahanya melepas Coat. Memang tidak cocok untuk tempat ini.     

Hendra kini berdiri disebelah Aruna.     

"Perkenalkan dia adalah CEO Hendra. Orang yang sudah berbaik hati membelikan banyak hadiah untuk kalian". Aruna menjelaskan sembari menunjuk kebelakang, memberitahukan ada banyak kantong hadiah dibelakang.     

"Kita ucap terimakasih padanya".     

Anak-anak perlahan berdiri, sempat berbalik menatap hadiah mereka. Dan dengan serempak mengucapkan kata 'Terimakasih'.     

Handra tertegun dengan apa yang terjadi. Sempat memandang Aruna, menunjukkan bahwa dia sangat senang.     

Tidak mengira Aruna akan berkata sebaik itu. Mengingat perilaku kurang baik yang sering dia paksakan kepada Aruna.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.