Ciuman Pertama Aruna

Bunga Bermekaran



Bunga Bermekaran

0"Damar aku level 5". Teriak Aruna.     
0

"Dua aja". Balas Damar berdiri mengantri pesanan hot mie favorit Aruna.     

"Enggak aku 5".     

"Tiga".     

"Lima".     

"Terserah aku pesannya 3".     

"Ya sudah aku pesan sendiri". Aruna berdiri di samping Damar.     

"Kenapa kau keras kepala sekali hari ini". Damar mengacak rambut Aruna. Spontan gadis itu menyingkirkan tangan Damar.     

"Huuuh.. andai kau tahu betapa mengerikannya hidup ku hari ini". Aruna menerawang potongan kejadian yang menggugah amarah. Dia perlu menghapus sentuhan bibir Hendra dengan rasa terbakar dari hot mie level 5. Sebuah tindakan yang sedikit konyol. Perlu dicoba, supaya peristiwa itu lenyap dari ingatannya.     

"Aku juga berat". Ucap Damar lirih. Dia masih ingat betul sang CEO mengambil Aruna ketika dirinya tidak berdaya.     

"Makanya aku butuh level 5, kalau perlu dua mangkok sekaligus".     

"Jangan gila neng, ingat perutmu!".     

Sama seperti Damar. Pria itu menyembunyikan wajahnya. Mencari-cari sesuatu yang bisa menutupi identitasnya, terutama mata biru yang selalu mencuri perhatian. Namun tak berhasil, mobilnya terlalu bersih. Untung masih ada kaca mata dan selembar koran. Hendra membuntuti mereka. Duduk pada sudut paling aman versinya.     

"Aruna kenapa makan mu jadi bringas begini". Aruna menuju mangkok ke dua.     

"Ah' kau benar-benar belepotan". Damar mengambilkan tisu dan mulai menyentuhkannya pada pipi Aruna.     

_Apa itu strategi yang dimaksud_ (Pandai berperilaku baik pada perempuan). Gumam Hendra di ujung sana. Dan Hendra nol besar tentang hal-hal semacam ini.     

"Jangan ganggu aku Damar". Aruna protes.     

"Suda..h ". Tambahnya.     

"Kau benar-benar berantakan". Damar kekeh merapikannya. Pria itu sempat tertawa melihat pipi Aruna yang menggembung mirip balon dengan sebuah mie menjuntai kebawah.     

Aruna segera mengosongkan mulutnya.     

"Uuuuh pedas dan nikmat". Seru Aruna.     

"Demi kerang ajaib... ". Berseru serentak.     

"Hahaha". Mereka tertawa bersama-sama mengingat kenangan indah bekerja bareng di outlet Surat Ajaib. Sebuah kondisi yang kini jadi mahal.     

Disisi lain Hendra memperhatikan mereka seksama. Aruna sangat berbeda ketika bersamanya. Gadis itu selalu terlihat hati-hati. Bahkan kadang takut. Dia tidak pernah tertawa. Hanya tersenyum kecil, senyum dipaksakan.     

"Kau tahu tadi siang aku makan terlalu baik, sampai aku lupa makanan itu rasanya enak atau enggak". Ucapan Aruna menimbulkan kesan tidak paham Damar.     

"Aish.. kau tidak paham".     

"Begini.. kau perlu menegakkan punggung mu. Lalu mengangkatnya seperti ini". Aruna mengambil satu sendok mie dan dia membuat gerakan berputar pada atas sendok. Melilit mie dengan garpu. Kemudian memastikan tidak ada tetesan kuah yang berarti, baru menyantapnya tanpa merunduk.     

"Dan kau tidak boleh bicara sampai semua mangkok ini habis". (Sangat menyiksa kan)     

"Mengapa kau tidak menjadi dirimu sendiri saja".     

"Andai aku bisa. Mereka akan menganggap ku tidak beretika". (Dan aku calon mantu yang harus menjaga nama baik ayah ku) Aruna mulai murung. Benaknya di penuhi sebuah bayangan bahwa dia akan melakukan etika itu selama dua tahun. Sebuah tekanan batin.     

"Hai.. wajahmu membuat ku tidak nafsu makan".     

"Mengapa mie mu masih utuh". Aruna menyelipkan garpu nya pada mangkuk Damar. Pemuda itu segera memukul punggung tangan Aruna dengan sendok, melindungi makanannya.     

"Aku sedang berfikir bagaimana caraku makan". Damar menunjukan bahwa dari tadi dirinya mencari cara memasukan mie ke mulut, dengan mempertahankan posisi wajah terlindungi.     

"Kalau aku seperti ini". Damar menurunkan sedikit syalnya, terlihat sebagian mulutnya. Dia mengambil mie dalam garpu.     

"Lihat syal ku akan jadi kotor". Tapi dia tidak bisa sertamerta memakannya. Mie yang menjuntai akan mengotori syalnya, pastinya syal tak lagi bisa digunakan. Aruna menangkap keribetan itu.     

"Atau aku begini saja". Damar menarik syalnya keatas menutup kening, mata dan wajah bagian atas. Menyisakan bagian lubang hidung mancungnya. Dan mulut terbebas.     

"Ha ha ha". Aruna tertawa melihat kelakuan Damar.     

"Lihat! aku berhasilkan kalau begini". Tapi matanya tertutup dan itu lucu. Aruna kembali tertawa. Damar sengaja melakukannya untuk menghibur Aruna. Dia sangat paham ekspresi wajah Aruna, kapan dia sedang tertekan, sedih atau senang. Dua tahun memendam rasa suka membuat pemuda ini pandai membaca raut muka gadis yang hobby menyembunyikan masalah.     

"Apa kau Danu Umar?!". Dua orang remaja tiba-tiba mendekat. Terlihat memegang Heandphone di tangan. Damar sigap menutupi wajahnya dengan benar. Menyisakan mata, serta sebuah topi yang mulai di turunkan semakin tertutup.     

Aruna tahu indentitas Damar tidak boleh terungkap.     

"Bukan!". Jawab Aruna tegas.     

"Aku mengamati kalian dari kejauhan. Dan aku rasa pacarmu benar-benar mirip Danu Umar".     

"Apa salahnya, mirip artis". Sangkal Aruna.     

"Kalau dia bukan Danu Umar, kenapa dia menyembunyikan wajahnya seperti itu". Tiba-tiba suara remaja satunya meninggi. Mengesalkan. Damar tidak bisa berbuat banyak. Bahkan berbicara bisa mengungkapkan identitasnya.     

"Brak". Aruna berdiri dan menggebrak meja. Gadis ini mulai ahli mengancam. Sepertinya dia belajar dari situasi rumit bersama Hendra.     

"Apa salahnya jika pacarku menutupi wajahnya, aku yang menyuruhnya". Suara Aruna sama meningginya. Membuat orang disekitar menoleh. Dan orang diujung sana tersentak.     

'Pacar?!' kata itu mengakibatkan koran yang dipegang jatuh lunglai.     

"Iih.. dia marah". Ejek dua remaja asing.     

"Kau yang memulai ya.. ". Aruna keberatan di singgung.     

"Pergi sana! Peng ganggu". Aruna menyindir mereka, mengusirnya resek. Dua remaja itu mulai mundur. Dari pada berurusan dengan perempuan aneh.     

"Woo...". Dan kini Damar yang benar-benar terkejut.     

"Kau bisa sekasar ini?!". Kesan pertama Damar melihat gadis dihadapannya berperilaku kasar, sungguh mengejutkan. Aruna tidak pernah menunjukkan ekspresi kasar selama pertemanan mereka yang panjang. Dia bahkan tidak memiliki kosakata ancaman.     

"Sudah ku bilang kan.. kalau hidupku sekarang berat". Jawab Aruna ringan.     

_Aku mempelajari semua ini dari CEO gila itu_     

_Ah'_ Aruna seolah mengingat sesuatu. Jangan-jangan sentuhan bibir Hendra telah mengkontaminasi bibirnya. Si mulut tajam menularkan ketajamannya pada mulut Aruna. Dan suasana hati gadis itu terbakar.     

"Kau tadi seperti nenek sihir". Ucap Damar menggoda.     

"Pluk". Gadis terbakar, memukul topi Damar.     

"Hai.. gerakan tanganmu juga kasar". Kejutan berikutnya bagi Damar.     

"Aku bahkan sudah menghajar orang dengan tangan ini tadi".     

"Kau mau aku hajar". Aruna menambahkan. Dan Damar melongo dibalik syal dan topi hitam.     

Pemuda itu geleng-geleng kepala.     

"Benarkah kau Aruna?". Damar sedang meyakinkan diri sendiri. Perilaku Aruna cukup jauh dari kebiasaannya.     

"Tapi aku senang, kau tadi menyebut ku Pacar".     

"Hehe". Damar tertawa kecil, rasa senangnya di tunjukan terang-terangan.     

Aruna datar, sedang malas menanggapi dan memilih melanjutkan makannya.     

"Hai hai lihat!". Pria itu mengguncang tubuh Aruna. Berusaha mencari perhatian Aruna.     

Karena tampak penting Aruna mengiyakan permintaan peramu sajak, melirik Damar.     

"Ada bunga bermekaran, terbang dari dadaku". Damar membuat gerakan unik dengan tangannya. Seolah merekah dan menerbangkan kuncup bunga.     

"Cepat-cepat kau harus memanennya!!". Pekik pemuda itu berikutnya.     

"Aish... Anak sastra kambuh!!". Aruna kembali menyantap makanannya dengan liar sebelum semakin dingin. Mengabaikan Damar yang masih asyik menggodanya.     

Sejahil apapun kelakuan Damar, kini Aruna tak lagi bisa marah. Sebab hal itulah yang membuat pemuda ini spesial. Menyisakan ruang kosong ketika dia menghilang. Dan kembali menghangat ketika dia datang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.