Ciuman Pertama Aruna

Kartu Ajaib



Kartu Ajaib

0"Hendra udah-udah aku capek. . .".     
0

"Aku ga kuat kejar-kejaran lagi". Aruna menghentikan langkahnya. menunduk kebawah, ngos-ngosan dan beberapa peluh keringat menghiasi pelipisnya.     

Hendra mencoba mendekatinya, pria itu perlahan mulai tahu cara memperlakukan perempuan dengan benar. Dia membuka botol minum untuk Aruna, dan mengelus peluh gadis itu.     

Ketika air membasahi bibir Aruna, Hendra mengamati dengan seksama.     

_Huh' anak ini_ Hatinya protes, mengingat kegagalannya tadi. Andai Surya tidak muncul dia akan mendapatkan bibir kemerahan impiannya.     

"Kenapa? kamu haus?". Tanya Aruna. Bagaimana pun juga Aruna tetaplah anak muda 20 tahun belum pernah pacaran. Dia paling payah mengamati gerak gerik orang yang jatuh cinta padanya. Sepayah menyadari Damar yang mati-matian mengejarnya selama dua tahun. Dan hanya berakhir sebagai sahabat.     

Hendra tersenyum menangkap botol itu.     

_Minimal aku merasakan bibirnya secara tidak langsung dari sudut botol ini_     

_Ah' gila! Kenapa aku jadi drama bollywood begini?!"_ Hendra malu sendiri dengan isi otaknya. Usianya hampir 28 tahun, beberapa bulan lagi. Namun ini pengalaman pertamanya merasakan hal berbeda terhadap perempuan. Masalahnya perempuan itu terlanjur dia ikat dengan kontrak pernikahan. Sebuah penyesalan tiada ujung.     

Aruna terduduk dan selonjoran di lantai. Berkejaran dengan pria didepannya membuatnya kecapean luar biasa.     

"Ayo.. Apa lagi yang kamu inginkan". Tanya Hendra menyemangati.     

"Sudah cukup. Aku istirahat dulu... capek banget". Aruna mengeluh.     

Hendra mengetuk jam tangan dilengan. memberitahu waktu terus berjalan. Dia seolah mengerti tujuan founder Surat Ajaib. Barang-barang yang dibeli mayoritas sneck untuk anak kecil. Jumlahnya hampir serupa dan cukup banyak tidak mungkin untuk dirinya. Beberapa susu dan jajanan termasuk sosis daging kesukaan anak-anak. Tampaknya berhubungan dengan suara perempuan yang tadi menelepon.     

"Hendra sini!". Aruna meminta pria itu mendekat.     

"Turun". Dan tentu saja lelaki bermata biru menurutinya. Berjongkok di depan Aruna.     

"Hehe". Senyum licik tersirat dalam ekspresi si mungil.     

Sesaat kemudian Aruna mengintari tubuh Hendra dan menelungkup disana. Dipunggung Hendra.     

"Kau kan kuat.. gendong aku". Pinta Aruna. Gadis itu sepertinya lupa bahwa tadi dia benar-benar ketakutan pada Hendra.     

Hendra tersenyum dan mulai bangkit. Dia mendorong troli penuh belanjaan sembari menggendong Aruna dipunggungnya. Membuat para pengawal merasa khawatir.     

Aruna tidak berniat turun, bahkan ketika Hendra kesulitan mengeluarkan dompet saat membayar di kasir. Si mungil mulai ngantuk dan malas.     

Pengawal Hendra segera berlari membantunya. Meletakan barang-barang belanjaan di meja kasir dan menggesekkan kartu Hendra. Tuannya cukup memencet nomor pin.     

"Langsung bawa ke mobil". Pinta Hendra. Setelahnya berbaur dengan pengunjung mall.     

"Kita naik ke lantai 3".     

"Aku ingin membeli mainan!". Aruna membisikkan permintaan berikutnya.     

"Ku pikir kamu tidur".     

"Aku hanya capek, gara-gara mengejar mu?!"     

_Gara-gara kamu ganggu_     

"Ya ya.. baiklah nona..". Hendra menyusuri tangga eskalator dengan Aruna di punggung. Membuat beberapa orang menoleh. Struktur wajahnya sudah sangat menarik perhatian, keturunan campuran dengan postur sempurna dan sorot mata menyala. Balutan Coat berwarna krem menjulur indah menutupi tubuh tegapnya. Ditambah anak kecil malas, tidak mau turun.     

"Kita sudah sampai, apa yang kamu inginkan?". Hendra menggerak-gerakan punggungnya, meminta Aruna bangun.     

Gadis itu menuruni punggung Hendra, sempat menguap, berusaha menemukan dirinya. Wajahnya tampak malas dan menggaruk-garuk sisi belakang rambut.     

"Kau ini, cuci muka dulu sana!".     

_Sungguh berantakan_ Hendra risih.     

"Jangan-jangan air liur mu mengotori punggungku?".     

"Coat ku mahal, aku minta kompensasi jika itu terjadi". Ucapan Hendra mendorong Aruna memeriksa sudut bibirnya.     

"Enggak kok". Aruna memastikan tidak ada liur yang menetes. Dia memang ketiduran tadi.     

"Kalau gitu rapikan diri mu, cuci muka sana!".     

"Gak mau!!".     

_Aku harus cepat-cepat belanja dan segera pergi_     

"Haah.. kenapa aku harus menikahi gadis berantakan seperti mu! kuncit rambut mu, rapikan dulu". CEO perfeksionis itu tidak tahan melihat Aruna, rambutnya acak-acakan sejak berkejar-kejaran dengannya tadi. Termasuk tidur sekenanya di punggung Hendra.     

"Siapa suruh menerimaku, kau kan cucu satu-satunya kakek mu. Tinggal kabur dengan mbak Tania yang cantik harum rapi, aku yakin kakek mu akan luluh". Aruna mengomel sambil memilih boneka-boneka.     

"Hidupku tidak semudah yang kau pikirkan".     

"Atau jangan-jangan kamu cemburu padanya?". Goda Hendra.     

"Idiiih ngarep". Balas Aruna.     

"Aku bahkan tidak suka pada mu". Tambahnya.     

"Apa kau bilang?".     

"Ulangi sekali lagi". Hendra mengancam.     

"Aku Tidak Suka Pada Mu!!". Aruna terang-terangan.     

"Oh' berani-beraninya kau mengatakan itu di depan calon suami mu dengan wajah polos tanpa dosa!". Hendra jengkel. Pria itu mengangkat tangan dan terlihat mengepal. seolah akan memukul Aruna.     

Aruna memejamkan mata ketakutan. Nyatanya lelaki bermata biru mencapit kedua pipi Aruna dengan geram.     

"Aauuu... Sakit.. lepasakan.. ".     

"Apa kita perlu menolong Nona itu". seorang fotografer terlihat khawatir.     

"Biarkan saja!". Jawab Surya.     

Aruna meronta meraih rambut Hendra dan mejambaknya.     

"Auu... Kau!!". Kepala Hendra tertarik, spontan melepas capitnya. Tentu saja Aruna segera lari menjauh.     

"Apa mereka benar-benar calon suami istri??". Kini fotografer di sebelah Surya merasa ilfil.     

"Hais' ".     

"Aku juga bingung harus ngomong apa". Jawab Surya sekenanya.     

Hendra tidak terima, berjalan dengan langkah lebar. Membuntuti Aruna penuh ancaman. Gadis itu memilih barang sembari berlarian dari lorong ke lorong.     

"Pergi.. Pergi sana.. jangan ikuti aku!!". Aruna menegakkan tubuh dan tangan-tangannya reflek memberikan peringatan. Namun kehilngan nyali kembali ketika Hendra mendekat. Selanjutnya dia akan berlari menyusup menuju lorong lain bersama troli belanjanya.     

"Mereka mirip Tom Jerry ketimbang pasangan yang akan menikah".     

"Tutup mulut mu!". Surya memukul ujung topi fotografer didekatnya.     

"Berisik!". Dia keberatan atasannya dikata-katain.     

Kini si mungil banyak tingkah itu kebingungan. Trolinya sudah penuh. Siap dibayar. Tapi bank berjalan belum menampakkan batang hidungnya. Padahal sedari tadi mengekor Aruna sembari menakut-nakutinya.     

_Ah' dimana dia?_ Aruna meninggalkan trolinya di dekat kasir. Mencari-cari Hendra.     

Pria itu sengaja bersembunyi pada lorong paling sepi. Dia tahu keberuntungannya selalu membawa magnet tersendiri. Akan ada ide jahil berikutnya. Lorong di pojok toys market, tak bisa di intip yang lain.     

Akhirnya yang dia tunggu datang. Pria itu tersenyum puas dalam kejahilan nyata. Ide gila kembali merasuki tuannya.     

"Emmm... Hendra aku sudah selesai". Aruna ragu.     

"Terus". Dia mulai bertingkah lagi.     

"Ayolah tuan.. gesek kartu mu..". Aruna merayunya.     

"Sini-sini.. ". Pria itu memainkan kartunya.     

"Kau butuh ini kan??". Tanya Hendra sambil memicingkan mata. Kelihatan sekali dia akan berulah.     

"Apa lagi sekarang?!". Aruna mengeluh. Menangkap ekspresi Hendra.     

"Ya.. sedikit hukuman untuk anak yang berani mengusik aset berharga perusahaan ku". Maksud Hendra otaknya nyut-nyutan dijambak Aruna. (-_-')     

"Kamu mau apa sekarang??".     

"Hehehe".     

"Sedikit kompensasi". Lelaki bermata biru bersandar santai pada rak yang menjualang tinggi. Sembari mengetukkan jemarinya dipipi.     

"Dasar lelaki mesum!!".     

Hendra ingin Aruna mencium pipinya.     

"Duh.. belanjaan mu banyak sekali, itu tidak gratis..".     

"Bentar.. tapi kartuku sangat ampuh.. jadi tidak masalah sich".     

"Masalahnya dia minta uang ku.. setelah menganiaya ku..".     

"Ck Ck Ck.. tidak tahu terimakasih". Hendra mengecap, sembari bicara sendiri. Mengganggu Aruna.     

"Menganiaya??".     

"Aku cuma menjambak mu". Aruna keberatan.     

"Kau juga mencubit pipi ku". Dia sebal.     

"Ya.. sekarang terserah kamu aja.. mau di bayar atau enggak". Hendra memainkan keahliannya.     

_Huuh.. anak-anak pasti senang mendapatkan mainan sebanyak itu_     

_Mainan yang tak mampu mereka impikan_ Gadis ini selalu terlalu baik. Kadang lupa pada dirinya sendiri.     

Aruna berjalan perlahan mendekati Hendra. Berjinjit berusaha meraih pipi CEO Djoyo Makmur Grup.     

Hendra terpejam menikmati.     

_Ah' ada apa?? Apa dia berubah pikiran??_ Tapi sunsayang Aruna tidak segera datang.     

"Turun sedikit!"     

"Kau terlalu tinggi". Dengan berjinjit pun Aruna tidak bisa meraihnya.     

"Oh' ". Pria itu merundukkan mensejajarkan tubuhnya dengan kepala Aruna.     

"Huuuh". Aruna sempat menghela nafas. Sebelum meletakkan bibirnya pada pipi Hendra.     

Telinga Hendra memerah. Tepat setelah mendapatkan sesuatu yang dia inginkan.     

"Terimakasih". Bahkan sempat mengucapkan terimakasih.     

"Cepat bayar!!".     

Hendra begitu senang, melempar platinum cardnya ke atas dan dengan tangkas menangkapnya kembali.     

"Kartu ajaib berikan aku keberuntungan". Serunya sembari mengusap-usap unlimited card.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.