Ciuman Pertama Aruna

Penguasa Planet Lain



Penguasa Planet Lain

0"Aku harus bagaimana?". Hendra mengangkat bahunya. Pasrah menerima permintaan apa pun yang diajukan Aruna. Dia terlampau menyesal melihat gadis mungilnya menghindar terus menerus.     
0

Aruna berdiri terdiam. Dia sendiri bingung harus ngapain. Sejujurnya gadis itu berharap bisa pergi jauh dari tempat ini. Tidak begitu suka berada di mall, lebih suka berjalan-jalan di alam terbuka bebas dan luas. Yang utama, dia tidak suka ada di dekat pewaris tunggal Djoyodiningrat. Sangat tidak suka.     

Tiba-tiba lelaki itu berlutut didepannya. Aruna sangat terkejut. Belum sempat mundur, kakinya sudah ditangkap Hendra.     

"Rapikan dulu tali sepatu mu, supaya tidak jatuh". Pria itu berbicara sembari mendongak keatas menatap Aruna yang memalingkan muka.     

"Sampai kapan kamu akan marah?!". Setiap ucapannya tanpa balas.     

"Ternyata selain pemarah, calon istriku juga keras kepala". Hendra berdiri merapikan dirinya. Masih berusaha mencari cara membuat gadis didepannya bahagia.     

"Kamu mau eskrim? Makan eskrim kadang bisa meringankan suasana hati yang buruk". Hendra menunjukkan arahnya, Aruna berjalan dibelakang dengan menjaga jarak.     

Eskrim yang menjulang dihiasi berbagai toping, tidak terlihat dinikmati. Kurang nyaman dan terlalu diam.     

Hendra mengingat beberapa saat lalu ketika Aruna menikmati mie pedas bersama pemuda itu. Dia selalu tertawa riang dan saling melempar candaan. Sangat jauh dengan keadaan saat ini.     

"Aku menyerah. Aku minta maaf, sudah membuat mu tidak nyaman".     

Mulut Aruna terlihat ingin berucap tapi diurungkan. Gadis itu memilih kembali menyantap eskrimnya. Perlahan jemari kirinya disentuh seseorang. Sentuhan dengan gerakan tidak asing.     

Aruna menatap tajam Hendra, segera menarik mundur tangan kirinya. Sentuhan pria itu mirip cara Damar, Aruna mulai merasa Hendra semakin aneh.     

Bukankah dia suka semaunya sendiri. Kenapa kini lelaki itu berusaha memikirkan perasaannya. Bahkan mencari cara menghibur dirinya.     

_Ah' dia sedang berusaha agar terlihat mesra, sesuai arahan sekertarisnya_     

_Tentu saja, mana mungkin Hendra berperilaku baik pada ku_ Hendra terlalu menyusahkan hidup Aruna. Sejak pertama kali dia hadir dalam dunia remaja yang riang dan sederhana. Pria itu perlahan membuat sinarnya memudar.     

"Bip bip bip". Aruna segera mengais-ngais handphonenya.     

"Hallo Na..".     

"Kak Desi, gimana kabarnya kak?".     

"Gimana-gimana?? Kamu dan teman-temanmu nie kemana aja jarang datang?!".     

_Hidup ku sedang pelik kak_     

"Hehe". Aruna membuat suara tawa.     

"Dah lama anak-anak tidak mendapatkan kelas kerajinan tangan, mereka merindukan kalian".     

"Ayolah main-main kesini lagi. Bukankah kamu paling rajin. Kenapa jadi sok sibuk begini?!". Yang bicara di ujung sana adalah Desi sahabat sekaligus koordinator kegiatan sosial, dimana Aruna dan Dea turut aktif disana. Kadang Damar dan teman-temannya juga ikut, tentu ujung-ujungnya bikin rusuh.     

Kegiatan sosial mereka berupa program pengembangan diri untuk anak-anak yang berasal dari keluarga yatim-piatu dan dhuafa. Anak-anak yang lahir dari keluarga dibawah garis kemiskinan. Masih dalam naungan LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial) yang sama dengan program bunda BISA, kelompok ibu-ibu yang menjadi mitra Surat Ajaib.     

Ibu-ibunya mendapat intervensi ekonomi dari berbagai pengusaha salah satunya start up Surat Ajaib, sedangkan anak-anak mereka mendapatkan pengembangan diri dari para relawan muda baik materi sekolah, seni dan kerajinan tangan yang biasa di isi Aruna dan Dea.     

"Oke oke aku akan datang.. kapan jadwalku?".     

"Jangan sok lupa. Hari ini!".     

"Hehe kakak marah ya..".     

"Gimana aku gak marah.. loe ga datang 2 bulan berturut-turut. Mengabaikan 4 pertemuan. Sungguh aku geram..!!".     

"Haha maaf.. "     

"Datang kapan saja kami pasti menyambut mu".     

Aruna menengok jam ditangannya.     

"3 jam lagi ya jadwalnya, akan aku usahakan datang hari ini".     

"Sungguh??".     

"Iya.. aku usahakan..". Balas Aruna.     

"Oke aku tunggu kamu.. ".     

"Iya.. "     

"Bye Aruna.. "     

"Bye kak". Aruna menutup heandphonenya. Seolah baru saja mendapat panggilan dari bumi. Tempat dari mana dia berasal. Ketika kembali menatap Hendra, seolah dirinya sedang berada di planet lain. Jauh dari bumi. Lelaki didepannya seperti Alien, penguasa sebuah planet di sudut terjauh Bimasakti.     

Alien itu menculiknya dan menyandranya sesuka hati. Menjadikan Aruna tawanan dan memperlakukannya seperti boneka. Tiba-tiba hati Aruna menjadi geram.     

_Apa ku manfaatkan saja penguasa di depan?_     

_Kayaknya perlu dicoba_ Sesekali bukan dirinya saja yang dimanfaatkan, Dia juga perlu tahu gimana rasanya di manfaatkan.     

"Setahu ku, kau punya platinum card no limit. Ya gak?".     

"Ya, kamu ingin ku belikan sesuatu?".     

_Syukurlah Aruna sudah mau bicara_ benak Hendra.     

"Kalau aku minta tas seharga ratusan juta kemudian aku rusak, kau tidak akan kecewa, benar?".     

_Seperti kemarin_ Aruna mulai melobi.     

"Tentu saja, itu sudah milikmu".     

"Baiklah aku akan minta kau menggeseknya untuk ku, hanya 10% dari harga tas kemarin".     

Hendra memandanginya, menelisik ekspresi wajah Aruna yang perlahan berubah.     

"Kenapa? kau juga minta kompensasi..?".     

"Hee.. ". Pria itu tersenyum.     

"Aku tidak butuh hal semacam itu. Bahkan aku bisa memberikan kartu ini untuk mu". Hendra membuka dompetnya meletakkan platinum card di meja, tepat di depan Aruna.     

"Cih' siapa yang tadi minta kompensasi mengerikan?!"     

"He he he". Hendra tertawa nyaring. Lesung pipinya kembali terlihat.     

"Baiklah kompensasi ku... ".     

"Ku minta berhenti cemberut". Hendra mendekatkan dirinya, mencari senyum Aruna.     

Gadis itu benar-benar tersenyum. Manis, terlalu manis walau sedang di buat-buat.     

"Kurang...!". Pinta Hendra sekali lagi.     

Aruna membuat senyuman lebar. Matanya menyipit sampai hilang.     

Refleks Hendra menggerakkan tangannya, mengelus pipi Aruna lembut menggunakan ibu jarinya.     

"Plak!". Aruna keberatan, menyingkirkan tangan Hendra kasar. Seminggu yang lalu pria itu mengelus dengan cara yang sama. Tapi untuk menghinanya, mengatakan bahwa dia jaminan kesejahteraan keluarga.     

"G jadi!, aku mau belanja sendiri". Aruna bangkit, Hendra segera membuntuti dibelakang.     

_Huh, andai dia bersikap seperti Tania, sudah ku lumat tanpa sisa anak ini_     

***     

Aruna berjalan tangkas menuju supermarket di lantai pertama. Gadis itu mengambil troli belanja dan Hendra tangkas merebutnya. Aruna melirik pria itu, jutek.     

"Akan ku gesek kartu ku, berapa pun yang kau inginkan".     

"Aku bahkan bisa membeli semua barang didalam supermarket ini". Tambah pria itu.     

_Beberapa produk yang dijual, milik perusahaan ku_     

"Baiklah ayo dorong". Aruna menaikkan kakinya diatas pelapis roda troli dan tubuhnya menumpang, seperti jemuran disisi depan keranjang troli. Anak ini tidak mau jalan. Dia mau cari untung, naik dan didorong Hendra.     

Kadang kelakuannya membuat Hendra berfikir keras, menguras emosi, sesekali membaut sesak di hati. Namun kali ini Hendra senang melihatnya. Polos dan manis.     

"Tuan ambilkan itu".     

"Berapa?".     

"Lima belasan".     

"Baik nona". Balas Hendra. Pria itu seperti ladang kering baru ditanami. Hidupnya bagai kumpulan tunas yang baru tumbuh menyapa pagi.     

"Itu juga.. ".     

"Dan itu.. ".     

"Ah ini juga boleh". Aruna terus saja menyuruh-nyuruh. Pengawal Hendra yang sembunyi dalam pengamatan. Sempat mendekat. Menawarkan diri untuk membantu. Namun Hendra malah mengusir mereka, mereka diminta segera pergi sebelum Aruna berubah pikiran.     

Tidak banyak yang tahu bahwa pewaris Djoyodiningrat memiliki hati yang lembut dibalik sikap dingin dan kasar.     

Aruna masih berjinjit disana. Mengambil kaleng susu.     

"Minum susu yang rajin biar tubuh mu cepat tumbuh". Gurau Hendra. Pria itu berdiri dibelakang Aruna, meraih kaleng untuk gadis mungil yang menempel didepannya, tanpa berjinjit mudah saja Hendra meraihnya.     

"Heemm". Hendra mengendus rambut harum Aruna. Spontan, gadis mungil yang tidak terima mengais barang di troli. Menghantarkan pukulan ringan sekenanya pada Hendra. Pria itu berlarian zig-zag mengindari Aruna. Berputar-putar pada troli dan ikut serta mengambil barang untuk dijadikan senjata, penghalau serangan Aruna.     

Tawanya pecah. Dua anak manusia kembali ke masa kanak-kanak. Bermain perang-perangan.     

"Gak kena.. gak kena". Sesekali terdengar ejekan, bersautan dengan candaan riang.     

"Berhenti!". Kadang kalimat ancaman juga dilontarkan ketika si mungil kewalahan. Kemudian dia menyerang lagi.     

"Ambil yang banyak". Diujung sana Surya memerintah.     

Saat ini adalah momen berharga untuk Hendra. Semenjak berperan sebagai ketua kelas hingga sekarang bertugas sebagai sekertaris Hendra.     

Pewaris Djoyodiningrat tidak pernah selepas ini. Dia tidak memiliki banyak hal yang bisa membuatnya tertawa. Raut muka dan pembawaan Hendra cenderung dingin dan murung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.