Ciuman Pertama Aruna

Dimensi Berbeda



Dimensi Berbeda

0"Jangan membenciku. Aku menolak mu karena aku takut jatuh cinta pada mu".      
0

"Aku minta maaf".     

.     

.      

Keduanya terpaku cukup lama, hingga lelaki bermata biru menggenggam tangan mungil di dadanya.      

Perlahan tangan itu minta dilepas. Tapi tidak di ijinkan.      

"Kenapa kau tak berani mencintai ku?".      

Tangan mungil benar-benar ingin terlepas.      

"Akan ku berikan semuanya.. segalanya.. bahkan keberanian..". Dia tidak membalas, minta di lepas.      

Ketika berhasil lolos.      

"Hendra apa ini sepatu ku". Gadis ini mengalihkan pembicaraan.      

Membuka kado berpita emas. Sekejab pita terlepas menerbangkan balon yang terkait padanya. Dia mendongak mendapati balon telah bersandar di langit-langit atap ranjang.      

"Kenapa kau selalu sulit di mengerti". Hendra konsisten dengan kata-kata berburu alasan.      

"Ah' lihat sepatunya pas di kaki ku". Dan entah apa yang dipikirkannya, gadis ini memilih sibuk dengan mencoba sepatu baru yang kini ukurannya telah sesuai.      

"Sampai kapan kau akan menutup telinga mu". Hendra terusik untuk mendekat. Menyingkirkan rambut Aruna yang berserakan. Menyematkan rambut harum pada daun telinga.      

"Aku akan menyimpan sepatu ini baik-baik". Gadis ini menjauh, bergegas menuruni ranjang.      

Mata biru tidak terima diabaikan, menangkap salah satu lengan perusak logika. Menariknya.. : "Bruk". Sepasang sepatu terjatuh dilantai termasuk tubuh gadis yang hampir ambruk kebelakang. Segera ditangkap tangan lain dari pemberi tarikan.     

Gadis ini mengabaikannya lebih memilih berupaya mengambil sepasang sepatu jang terjatuh. Tangan sang CEO menarik lebih kuat. Tidak memberinya ijin.      

Walau telah begitu dekat Aruna tidak berani menatapnya. Perlu tangan lain dari cucu Wiryo untuk memutar dagu putri Lesmana. Agar berkenan dan terpaksa melihat ke arah yang dinginkan pemaksa.      

"Kau masih ingin menghindari?".      

"Sekarang siapa yang misterius, semua keanehan di sematkan pada ku. Tapi kau sendiri, gadis yang tidak bisa di prediksi".      

Aruna tidak menjawab apapun. Dia memilih diam, terbungkam.      

"Jadi ini yang di sebut menutup mata dan telinga temasuk mulut mu adalah pilihan??".      

"Lama-lama aku muak pada mu!!". Hendra geram terabaikan.      

"Memang.. sebaiknya kau muak pada ku". Suaranya datar hampir tak terdengar.      

"Ah' kau bilang apa??". Ungkapan mengejutkan mampu merenggangkan cengkraman mata biru. Segera dimanfaatkan Aruna untuk melepaskan diri, berlari cepat menuju kamar mandi dan mengunci dirinya di dalam.      

Aruna terduduk di balik pintu, menyembunyikan wajahnya ditengah-tengah dua lengan yang terlipat.      

Gadis itu meratapi dirinya sendiri. Anak yang terkenal paling pandai menyembunyikan gundah di hatinya. Apalagi keinginannya.     

__________     

"Jika anda merasa tempat ini tidak cocok dengan anda, Mudah saja.. buat Mas Hendra berubah. Rubah rasa cinta yang dimiliki mas Hendra untuk anda, kalau perlu buatlah perasaan itu menghilang. Maka anda akan semakin cepat terbebas dari belenggunya".     

"Cinta??". (Aruna)     

"Aku merasa dia biasa saja terhadap ku". (Aruna)     

"Ah' anda benar-benar belum tahu??. Pernikahan ini berlangsung lebih cepat karena anda dipilih oleh mas Hendra. Pernikahan anda dengannya bukan sekedar perjanjian pernikahan antara ayah Lesmana dengan tetua. Tapi lebih kepada karena dia menginginkan anda".     

"Selama persaannya pada anda demikian kuat selama itu juga dia tidak akan melepas apa yang dia genggam, setahun, dua tahun, bisa jadi selamanya".     

__________     

_Kenapa hidup ku jadi seperti ini?_     

Gadis yang hobi mengubur banyak hal untuk dirinya sendiri kini mulai kalah dengan rasa membuncah didada. Dia membayar mahal demi ekspresi ketidakpekaan dan ungkapan 'Aruna payah'. Selalu demikian sudut pandang orang lain, namun berbeda dengan laki-laki yang kini harus benar-benar dia hindari. Belum pernah sekali pun ada yang mendesaknya sejauh dan segigih Mahendra.     

_Jaga hati dan diri mu Aruna, tenanglah kau akan baik-baik saja selama mampu merdam hatimu sendiri_     

Sejalan dengan rasa ini ada keinginan yang lebih kuat terpatri pada putri Lesmana. Gadis pembawa nuansa hangat, terbebas lepas seperti udara yang melayang-lanyang di tiap sudut ruang spasial dalam kehidupan sederhananya.     

Siapa yang sanggup memikul beban terkurung dalam belenggu kastil Djoyodiningrat. Tak mungkin dirinya akan memilih jalan ini. Jalan dimana sang ibu melangkah seperti mayat hidup, atau sang oma yang kekurangan kasih sayang.     

Kecuali perempuan-perempuan dengan ambisi berbeda. Dia yang suka dengan belenggu kekuasaan Djoyodiningrat, melimpah ruah tak terprediksi.     

Tapi apalah kekuasaan itu dimata gadis yang mampu terbang dengan sayapnya sendiri untuk menemukan sudut-sudut sederhana dari arti kebahagiaan.     

"Ha ha ha… kak besok kesini lagi ya..".     

"Asal kalian jadi anak baik". Tawa renyah dikelilingi anak-anak pinggiran kota metropolitan dari sudut terburuk menatap dunia, sudah cukup memenuhi ekpektasinya tentang rasa yang konon menjadi tujuan hidup banyak orang. Dia temukan kebahagiaan disana.     

"Mbak runaa.. mbak runaa.. besok kalau kesini jangan bawa kerjaan terus, bawa sekalian pacarnya kek, pacarnya pinter ngerayu, emak-emak kayak kita jadi termotipasi haha".     

"Lho?? Saya gak punya pacar".     

"Lha?! si gondrong yang suka nyanyi ga jelas itu siapa?".     

"Ha?! haha.. itu mah anak aneh buk, Otaknya tertinggal. Jangan dengar kalau dia ngaku pacar saya".     

Atau godaan sederhana tanpa bunga mawar maupun tas mahal sudah bisa membuat hatinya merekah.     

Ini bukan dunianya, bukan tempat seharusnya. Dia punya ruang spasial pada dimensi berbeda yang dirindu tiap saat.     

Tiap kali menunggu laki-laki bernama Mahendra pulang kerja. Perempuan ini akan terduduk kosong di tepian kursi dekat jendela. Bingkai kotak jendela kamar menangkap danau tenang dan pepohonan indah di bawah sana.     

Semakin menatapnya semakin yakin dia berada di dimensi berbeda dan mulutnya mulai menguncapkan mantra supaya segera terbebas, kalau harus mengharap keajaiban paling mustahil pun tak ada masalah.     

Aruna ingin pergi secepatnya.     

***     

"Kau gunakan nama ku?".     

"Tentu!, itu nama paling kuat diotak ku". Pemuda yang baru mendapat amanat paling gila dari keluarga besarnya. Turut menjadi sang pendendam, baik pada pimpinan misi aneh ini maupun pada musuh yang sama sekali tidak kelihatan jahat.     

"Bisa-bisanya kau gunakan nama ku dalam penyamaran mu?".     

"Yach.. hati yang gundah juga butuh obat.. bukan begitu bang Gibran".     

"Sialan kau.. hehe". Pemuda pembenci Aroma kopi mengalihkan tatapan mata dari adik kemenakan ke arah bawah.     

Mengamati gelang unik milik kemenakannya.     

"Dari kapan kau jadi pengguna aksesoris".     

"Teliti banget ya kamu.. Istri musuh mu.. ach' salah! Musuh kita, menitipkan pesan pada kakaknya untuk memberikan gift kecil kepada seorang yang tertarik dengan startup-nya".     

"Manis sekali ya.. target korban kita". Ucapannya menggetarkan dada lawan bicara.     

"Sementara dia tidak akan menjadi target kita.. tapi pelajarilah dengan detail".     

"Bang! Bagaimana dengan dirimu?. Apakah kau benaran akan menikah dengan keluarga Baskoro?".     

"Apa yang bisa aku lakukan. Para pecinta kopi itu menginginkan ku untuk memperluas kekuasaan dan pernikahan jalan termudah".     

"Menyedihkan sekali nasib mu bang Gibran he…". Pemuda dengan aksesoris dipergelangan tangannya, tertawa sebagai symbol ungkapan miris.     

"Kelihatanya musuhmu jauh lebih beruntung, matanya menatap ku penuh rasa cemburu ketika aku tersenyum pada istrinya. Dia bahkan menikmati suasana pengantin baru dengan sempurna". Aksesoris yang menghiasi pergelangan tangan orang ini ikut bergerak-gerak, penjelasannya tertangkap bersemangat.     

"Setahu ku pernikahanya juga di atur!".     

"Ya.. tepat sekali. Dia menikahi putri terkecil mantan sekertaris utama Presdir DM Grup".     

"Mungkin itu hanya basa-basinya di depan orang lain".     

"Kau salah bang Gib, aku menatap dengan mata kepala ku sendiri meraka bercengkrama. Dan Laki-laki dingin itu bercanda lepas dengan istrinya. Tawa istrinya membuat ku tertarik, riang. Yach.. gadis itu memang terlihat hangat dan baik".     

"Apa mungkin karakternya yang dingin dan misterius itu hanya kamuflase? Sedangkan kehidupan pribadinya bertolak belakang?".     

"Bisa jadi?! Apa yang tidak mungkin bagi mereka. Kau saja memiliki dua kepribadian yang berbeda".     

"Yach.. aku dipaksa seperti itu. Mungkin dia pun sama".     

Percakapan antara pemilik nama Gibran dan seorang yang memanfaatkan nama Gibran sebagai indentitas palsunya, mengalir layaknya aliran sungai tanpa ujung.     

***     

_Yah.. sabun dan lotion ku masih di koper_     

Pintu terkunci kamar mandi akhirnya di buka. Gadis mungil bertelanjang kaki tertangkap gugup karena mendapati suaminya berdiri tepat di depan pintu.     

"Apa yang kau lakukan? Mengapa berdiri didepan pintu".     

"Aku menunggu perempuan yang tak peka di tungguin suaminya".     

Pupil mata ditengah-tengah kornea berwarna biru tertangkap fokus melebar dan terpaku.     

Gadisnya hanya terbalut kimono handuk berjalan lambat kemudian berlutut membuka koper yang baru dia tidurkan.     

_Haduuuh.. sial.. bunga mawar, aroma lilin dan baju polos tanpa dalaman. Bagaimana aku bisa bertahan_     

"Aruna cepat masuk kamar mandi lagi?!".     

"Ah' Kenapa??".     

"CEPAT!!".     

"Kenapa kau ini? Aku bosan bertengkar terus".     

"Naluri Biologis ku sudah sampai ubun-ubun".     

"Ach'.. apa?? Argh….".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.