Ciuman Pertama Aruna

Kepemilikan



Kepemilikan

0Aku hanyalah anak kecil diantara kelompok bermain. Yang berlarian kesana kemari karena kami sedang bermain kejar kejaran. Dan tiba-tiba seseorang menangkap ku memeluk ku lalu merasa berhak atas diri ku.      
0

Aku menyeruak meminta terlepas, karena aku masih ingin berlarian dan tertawa bersama teman-teman ku. sayang kau bukan orang biasa. Entah dari mana ruang itu mulai terbangun. Seolah jajaran trails sudah berjajar dihadapan ku dan kau asingkan diriku pada ruang pribadi mu.      

Lihat! Dia miliku! Tak ada yang boleh menyentuhnya!.      

Demikianlah dirimu mengumandangkan kepimilikan.      

Cukup! Aku ingin pergi ke sana..      

Sejenak melihat dunia lama..      

Aku rindu diri ku yang dulu, dan dunia sederhana yang kini bagai dua orang asing tak bisa saling menyapa..      

Biarkan aku bermain lagi, berlarian menemukan tawa ku. Jangan pernah kau merasa sendiri, aku pun pasti mengajak mu. Hanya sedikit kelonggaran tentang arti kepemilikan yang di dalamnya tiada keabadian.      

.     

.     

"Surya dia.. Ah' gimana Aruna sekarang?". Pria ini kacau, lebih dari panik. Semua otaknya terfokus untuk segera sampai dan mengetahui kondisi istrinya.      

"Dia baru dipindahkan ke kamar". Keduanya berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Sejenak terlihat sekretarisnya terhenti, kemudian mengamati keadaan bosnya.      

"Apa yang terjadi? Tangan mu? Ah' kau benar-benar terlihat berantakan".      

"Aku belum ingin bercerita, banyak hal yang terjadi semalam. Biarkan aku memastikan Aruna sehat sebelum kau menceramahi ku".      

Surya menghembuskan nafasnya. Menenangkan dirinya sendiri.     

"Akan ku suruh orang membawakan baju ganti untuk mu". Keduanya kembali menyusuri lorong menuju ke kamar VVIP tempat nyonya muda Djoyodiningrat berada.      

.     

"Surya dia..??". Mahendra langsung berdiri ketika sekretarisnya keluar dari kamar sang istri. Dia menunggu dengan cemas di depan kamar tempat Aruna di baringkan.      

"Kau benar-benar tidak bisa melihatnya? Hen..!?". Pertanyaan Surya hanya dibalas anggukan lelah.      

"Cobalah dari celah ini.. aku yakin kamu sangat ingin melihatnya.. mungkin dari kejauhan kamu masih bisa melawan sindrom mu?".      

"Entahlah aku belum berani". Mahendra mengelus pintu kamar istrinya di istirahatkan dan dia belum berani mengintip kaca persegi panjang yang berisikan gambaran perempuan sedang tertidur.     

Baru sekarang dia sadari bahwa tak bisa melihat perempuannya sakit adalah hal yang sangat memilukan.     

.     

.     

Ketika waktu bergeser menuju sore.      

Laki laki ini masih setia duduk pada bangku di lorong, tepat depan kamar perempuannya. Dia baru saja berganti pakaian dan masih setia di sana ketika keluarga istri mulai berdatangan.      

Lekas berdiri dan menyapa ayah Lesmana, lelaki yang begitu berharga di mata istrinya. Pria ramah ini tidak tersenyum kepadanya. Ada guratan kekecewaan yang terlukis dengan jelas.      

"Hai.. kau apakan adik ku?!". Anantha yang menyusul di belakan orang tuanya, terlihat lebih ramah. Berkenan menyapa Hendra. Walau caranya masih sama, resek dan menyebalkan.     

"Hanya sedikit kecelakaan di kamar mandi, maaf aku benar-benar menyesal tidak menjaganya dengan baik".      

_Kalau mereka tahu kejadian sesungguhnya, keluarga Aruna pasti akan memisahkan kami_. Otak Hendra mengembara penuh kekhawatiran. Ketika ayah dan ibu istrinya memasuki kamar.      

"Kenapa kau masih di sini?". Anantha yang baru saja masuk kembali keluar tertangkap bingung karena Hendra tidak mendampingi mereka.      

"Oh' tuan muda sudah cukup lama di dalam, dia butuh sedikit udara segar. Hatinya sedang kacau, biarkan saya yang menggantikannya". Surya mengambil inisiatif dan mulai menyusup, membaur dengan keluarga Aruna.      

Ketika gadis ini mulai terbangun karena suara yang di timbulkan dari percakapan lirih antara sang sekretaris yang pandai menyusun kata dengan ayah mertua atasannya. Di balik pintu seseorang dengan setia menunggui penuh harap cemas.      

Lesung pipinya menggores sesaat. Dia mulai berani mengintip kaca persegi panjang tepat di atas daun pintu. Tak begitu lebar namun cukup untuk menangkap suasana di dalam ruangan.      

Ingin rasanya berlari ke dalam. Tapi perempuan sakit itu masih terbaring lemah dan terlihat jelas matanya membuka dan menutup lambat. Tiap kali ada gerakan menutup mata tertangkap, hatinya berdesir ketakutan. Terpaksa dia mundur mengurungkan niatnya.      

Jantungnya berdetak kencang dan nafasnya mulai ngos-ngosan.      

_Ah tidak! Aku tidak bisa masuk_.      

.     

"Ayah?!".      

"Ya.. nak?". Lesmana menghentikan percakapannya dengan Surya. Dan sang ibu segera membantu anak bungsunya duduk. Dia memang terlihat ingin duduk sembari menyelesaikan tegukan air minum, Aruna mulai menatap orang-orang di depannya.      

"Mas Hendra menunggu di depan biar saya panggilkan". Surya terlihat bersemangat melihat nona muda ini sudah duduk. Dia yakin atasnya akan sangat senang ketika bisa mendekati tubuh istrinya.      

"Maaf Pak Surya, Beri saya waktu bicara dengan ayah dan ibu. Pak Surya dan kak Ananta?!. Mohon maaf.. beri ruang untuk ku?". Gadis ini mengungkapkan keinginannya. Tepat ketika dua orang itu keluar, pintu segera di kunci sang ayah. Sepertinya sang ayah tahu apa yang ingin diungkapkan putri bungsunya.      

Sejalan berikutnya seseorang terkejut dengan suara putaran kunci pada pintu.      

Deg'     

Ada ketakutan yang jauh lebih dalam menyerang diri seseorang. Secara mengejutkan Hendra menggedor pintu.      

"Brank.. brank.. brank..". Raut mukanya tertangkap gelisah.      

"Ayah aku ingin pulang". Suara gadis ini berupaya melawan kerasnya suara lain yang diciptakan seseorang di luar sana.      

"Aruna.. beri kesempatan aku bicara lebih dahulu..". Hendra terlihat aneh, membuat sekretarisnya pilu.      

"Apa yang kau lakukan? Adik ku Cuma bicara dengan ayah? Kenapa kau kacau begini?!". Anantha menariknya dan memandangi adik iparnya dengan tatapan aneh.      

"Hendra.. tak papa.. mereka hanya saling bicara?! Kendalikan emosi mu!?".      

"Tapi pintunya di kunci Surya..?!". pria ini tidak terima tubuhnya di tarik.      

_Aruna pasti akan mengungkapkan keinginannya yang menakutkan itu_ (tidak tahan dengan Pernikahan ini) dia menringsek dan kembali membuat gedoran pada pintu.      

"Aruna.. buka.. buka pintunya.. aku minta maaf.. akan ku perbaiki semuanya..". Hendra tertangkap melakukan hal bodoh yang sama di mata Anantha, si gila yang menggedor pintu gerbang rumah keluarga Lesmana.     

"Brank brank brank".      

Di dalam ruangan.      

"Pulang? Kamu kan masih sakit?". Ayah Lesmana mendekat.      

"Iya nak.. sembuh dulu baru pulang". Tambah bunda.      

"Aruna ingin pulang kerumah Ayah". Gadis ini menatap resah seseorang yang ingin masuk.      

"Oh ya tuhan". Sang ibu berkaca-kaca memeluk gadisnya.     

"Ayah bagaimana ini?". Tambah bunda mulai mengisak.      

"Ayah tahu kalian sedang bertengkar, tapi berilah dia kesempatan bicara sebelum memutuskan". Lesmana lebih logis, dia menatap pintu penghalang seorang menantu keras kepala yang takut kehilangan putrinya.      

"Tapi ayah, putri kita pasti mengalami banyak kesulitan sampai berani bicara begini".      

"Ini Aruna ayah.. bukan Anantha atau Alia yang lebih mudah mengungkapkan perasaannya". Sang bunda mendukung putrinya.      

"Brank brank..". (di luar ruangan)     

"Arunaa..".      

.     

.     

.     

------------------------     

Syarat jadi reader sejati CPA:     

Bantu Author mendapatkan Power Stone terbaik ^^     

Ngasih Gifts.. Boleh banget     

Saya selalu merindukan komentar readers     

Review bintang 5     

INFO : Instagram bluehadyan,  fansbase CPA (Hendra, Aruna, Damar)      

Nikmati visualisasi, spoiler dan cuplikan seru tokoh-tokoh CPA.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.