Ciuman Pertama Aruna

4 Telapak Tangan



4 Telapak Tangan

0Aruna merasakan mendung di kepalanya, Ubin di hadapannya pun ikut bergelombang seperti menari-nari tak bisa dipijak lagi. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, lelaki yang tadinya tidak boleh mengucapkan sepatah kata kini lancang menyuruh nyuruh Aruna. Kata-katanya membuat Aruna ingin memukulnya. Tubuh limbung dipaksa menaiki punggung pria yang dari awal tidak menunjukkan sopan-santun.     
0

"Pegangan yang erat atau kau akan menyesal". Gaya bicaranya mirip seseorang yang sangat lekat.      

Dia berlari melesat, meliuk-liuk tak tahu sejauh mana dan mulai menuruni tangga berakhir memencet pintu lift, semua di pencet sembari melakukan pengamatan pintu mana yang paling cepat terbuka.      

Apa yang dia pikirkan tak bisa Aruna bayangkan. Seolah sedang buru dan dikejar hantu atau mungkin sedang mempraktikkan permainan yang tadi mereka mainkan 'mafia party game'. Bisa jadi dia diposisikan rakyat jelata dan pemuda ini adalah mafia yang sedang berupaya menyandera dirinya.      

Juan menurunkan Aruna ketika sampai di dalam lift, mendekapnya erat-erat tak diizinkan terlepas, sekali lepas mungkin dia sudah jatuh di lantai.      

"huh.. huuh.. apa itu?". Lamat Lamat Aruna menangkap adegan senjata api keluar dari persembunyian. Dia todongkan pada seseorang di depan. Aruna hanya bisa mengintipnya pasrah, untuk berteriak pun sudah tak berdaya. Tiga pria misterius terlihat ingin masuk dan mendesak ke dalam lift, ternyata itulah yang membuat Juan berperilaku aneh.     

Mereka seretak mengangkat tangannya menyingkir karena senjata api mulai ditarik Juan. Pintu lift semakin menutup dan membuat gerakan menurun. Aruna tak ingat lagi apa yang telah terjadi. Ketika membuka mata dia sudah berada di dalam kamar inapnya. Kamar itu sudah bersih rapi sama seperti seseorang yang sedang menungguinya.      

Lelaki bermata biru tersenyum ramah, membelai rambutnya kemudian beberapa bagian wajahnya : "Syukurlah kau sudah bangun".      

"Ingin minum?".      

Gelengan kepala menghantarkan jawaban Aruna.      

"Aku ingin pulang". Gadis ini mulai mengeluh.      

"Jangan dulu kondisi mu masih belum stabil". Celetuk Hendra.      

"Aku ingin pulang, kita kembali ke kamar kita". Masih berusaha memohon.      

"Mengertilah, kondisi mu sempat drop parah tadi".      

"Tidak Hendra aku tidak mau di sini, aku mau kembali ke rumah". Permintaannya menyuguhkan permohonan yang menggetarkan hati lawan bicara.      

"Bersabarlah sampai besok pagi. Aku janji akan menemani mu di sini. Jangan khawatirkan apa pun.. tidak ada yang bisa menyentuh mu selama ada aku". Gerakan mengusap rambut dia tunjukkan berulang namun tidak menunjukkan efek nyaman. Aruan masih sering membuka matanya di sela sela cara gadis ini terpejam.      

"Apa aku di ijinkan berbaring di sisi mu?". Tanya mata biru minta ijin. Ketika gerakan mengangguk tersuguhkan. Hendra perlahan memberikan dekapan.      

"Kamu tahu aku juga pernah mengalami hal semacam ini. Waktu kecil aku tidak bisa tidur sendiri". Dia mengingatkan bagaimana kehidupannya mulai di atur tetua Wiryo dan timnya.      

"Aku di kurung di kamar sendirian setelah dipisahkan dari mommy, aku menangis semalam. Sejak aku lahir hingga usia ku 6 tahun aku selalu tidur bersama mommy. Dengan cara di pisah secara perlahan aku tak bisa, mereka menggunakan cara kasar pada ku yang masih 6 tahun". Dalam tenang gadis ini mendengarkan, dia teralihkah perlahan dan serangan panik mulai mereda.      

"Lalu apa yang kau lakukan". Si gadis terbawa nuansa cerita.      

"Aku berlari ke jendela memandangi langit dan bintang bintang di sana lalu membuat permohonan". Hendra membuka wajah gadisnya.      

"Apa kau penasaran aku membuat permohonan apa?".     

"Hem..". Dia mengangguk.      

"Aku bilang pada bintang : Jika aku tidak diizinkan tidur ditemani mommy, help me please, send me a sleeping woman". Jawab mata biru.      

"Kenapa ingin di kirimkan wanita yang sedang tidur". Aruna merasa permintaan Hendra kecil cukup unik.      

"Karena aku tinggal memeluknya. Seperti cara ku memeluk mommy ku tiap malam. Aku menyukai itu, dan 22 tahun kemudian ternyata bintang bintang itu berkenan mengabulkan permintaan ku". Jawaban Hendra menimbulkan spekulasi di kepala Aruna.      

"22 tahun dan kamu 6 tahun?? Berarti sekarang dong".      

"Iya". Hendra tersenyum memeluk tubuh Aruna.      

"Maksud mu aku?". Gadis ini sedikit terkejut, tapi pipinya perlahan memerah.      

"Tentu saja siapa lagi yang aku rindukan tiap malam untuk ku peluk, kalau bukan karena godaan memeluknya di malam hari. Mungkin aku akan bekerja tanpa henti seperti sebelum menikah dengannya". Ungkap Hendra jujur.      

"Benarkah? Bahkan ketika aku belum mandi sore tadi". Tanya Aruna.     

"Tentu saja. Mau uji coba". Pria ini menyusup mendekatkan kepalanya mengecup bahu lalu mengedus leher Aruna".      

"Hehe.. he.. kau membuat ku geli Hendra".      

"mau lagi?".      

"Ach! Hentikan! Haha geli.. sudah.. sudah cukup!". Aruna mendorong wajahnya.      

"Kau punya permintaan yang pernah di Kabulkan tuhan dan itu ada pada diri ku?".      

"Aku rasa tidak ada".      

"Begitu ya..". Wajah memelas meratapi nasibnya ditunjukkan pria ini.      

"Hehe.. ada kok..".      

"Benarkah? Apa?". Dia mengharap dirinya turut menjadi mimpi spesial sang istri.      

"Punya pasangan kaya raya, apa apa tinggal minta". Jawab Aruna ngayal, santai.      

"Ah itu terlalu umum dan biasa, yang lain yang lebih spesifik lagi". Buru Mahendra.      

"apa ya.. suami yang rela membantu istrinya dengan ikhlas dan sabar dengan batasan yang sudah di sepakati bersama". Jawab Aruna lagi.      

"Kayaknya itu bukan aku deh". Telisik Hendra.      

"Itu harapan ku..". Jelas Aruna.      

"Aku sedang tidak nyaman dengan badan ku.. kau mau membantu ku?". Aruna membuat permintaan setelah menyerukan harapannya.      

"Apa? Kata kan saja".      

"Aku menginginkan duduk di kursi itu, dan bawakan air suam suam kuku. Aku ingin badan ku di bilas, jadi perlu turun dari ranjang ini suapaya tidak membasahinya". Sejalan berikutnya dengan sabar Hendra membantu Aruna. Gadis yang duduk di kursi memunggungi suaminya, membuka baju rumah sakit dan kemeja rumah sakit terlepas menyusuri infus.      

Hendra di suguhkan punggung terbuka. Hanya sebuah tali pembungkus dua lingkaran yang menyapanya. "Krucuk" dia mengambil waslap kemudian meremasnya, menanggalkan air lalu menyapu punggung mungil istrinya.      

"Kamu kecil sekali, bagaimana aku bisa menyukai perempuan yang bahkan luas permukaan punggungnya hanya 4 telapak tangan ku? Diameternya apa lagi, Cuma satu jengkal lebih dikit?". Hendra mengukurnya, dia bahkan menempelkan telapak tangannya untuk mempraktikkan kata kata yang barusan di ucapkan.     

"Kenapa tanya aku? Tanya diri mu sendiri?!". Tangan Aruna terangkat sebelah dari belakang. Seseorang mulai berusaha membasuh ketiaknya lalu lengannya. Sedangkan gadis itu menggunakan Hem yang dia kenakan tadi untuk menutupi dadanya.      

"Tapi memang punggung sesuatu yang tidak begitu penting, yang menggoda itu yang di depan. Aku penasaran bagaimana bisa punggung kecil ini bisa menghasilkan buah cukup menggiurkan di depan sana". Pria ini senyam senyum sendiri mengingat sesuatu yang membuat tubuh mungil istrinya berisi.      

"Tunggu.. tunggu.. kau sedang mesum ya??". Curiga Aruna.      

"ha ha ha". Si jahil tertawa cekikikan.      

"Apa aku boleh membasuh yang depan?".      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.