Ciuman Pertama Aruna

II-24. Kompulsif



II-24. Kompulsif

0"shit!!" Lelaki bermata biru sempat mengumpat dan berlari lebih cepat berusaha meraih Aruna yang masuk ke dalam pintu lift.     
0

"Maaf!" perempuan yang masuk lift melayangkan tatapan yang sangat ia benci. Aruna memalingkan wajahnya.     

Pintu lift yang sudah merapat itu berhasil di buka kembali. Wajah memerah dengan nafas berburu dan mata biru menyala sempat membuat penghuni lift terbuka tertegun pada dia yang berdiri memburu seseorang. Pria bermata biru meraih tangan perempuan lalu menyeretnya keluar.     

"Sorry" Dia sempat melayangkan kata maaf kepada penghuni lift yang menatapnya kemudian mengambil langkah berani, tubuh perempuan yang dari tadi berusaha keras melepaskan dari lilitan jemarinya dipondong di bahunya.      

"Hendra turunkan aku.. Hen.." Suara protes berbaur dengan pukulan di punggung sang pria. Si pemarah baru diturunkan setelah keduanya memasuki lift pribadi CEO DM Grup.      

"Lihat aku!" Hendra mengusung perintah menatap gadis yang enggan melihat dirinya bahkan siluetnya di cermin pun tidak lagi di intip, padahal gadis itu dulu suka sekali mengamati mata biru yang tertangkap cermin membentang di salah satu sisi dinding.      

"Hei.. Please! jangan palingkan wajahmu!" Mahendra menyentuh dagu Aruna membuat tekanan menggeser arah pandang gadisnya.      

"Menyingkirlah.. aku muak denganmu" Aruna mendorongnya.      

"Ayolah.. Kau marah hanya karena Tania" dia mendekat kembali.      

"Menjauhlah!" Aruna mendorongnya lebih kasar.      

"Aruna aku.." Hendra kembali mendekat. Bukan lagi di dorong perempuan ini menghindar memencet tombol buka pintu lift berulang. Dari belakang tangan beras itu menahannya dan kembali menutup pintu lift.      

"Beraninya kau kabur dari ku!" Mata pria ini masih menatap lekat berhasrat, mengamati bibir mendesah lelah milik Aruna yang ingin dia coba. Dalam marahnya dia makin menggoda.      

Hendra melihat sejenak tanda merah, lantai tempatnya tinggal makin dekat sang pria kembali meringkusnya. Tubuh itu di pondong keluar dari pintu lift tepat di depan pintu kamar VVIP miliknya dan masuk ke dalam, lalu gadis itu di letakkan di tengah tengah ruangan dan segera berbalik mengunci pintu tempat tinggal baru Mahendra yang lebih pas disebut apartemen karena luasnya.     

"Wow" suara terheran dari mulut gadis itu terdengar sang pria.      

"Kau suka" Hendra berbisik sebelum tersenyum mengamatinya.      

"semua warnamu, hitam, abu abu, drak" Aruna hanya meliriknya dan dia terlihat bahagia berjalan mendekati sisi tirai membentang, ketika pria ini menarik seutas tali tirai grey membentang terbuka perlahan.      

"Oh.." ada yang sedang menyembunyikan mulut ternganga di balik jari jarinya. Cahaya senja dipeluk malam begitu menakjubkan, hamparan lampu mulai menyala dan semburat merah di ujung sana mengecil, indah luar biasa.      

"Aku mengambil lantai tertinggi untukmu, kau bisa datang kesini kapan saja dan harus datang karena tempat ini sudah ada bekasmu" Hendra perlahan mendekat menyentuhkan jarinya pada lengan menyusuri punggung.     

"Datanglah.. Atau aku butuh berpindah lagi" dia yang bicara berusaha memeluk perempuannya dari belakang.     

"No! Aku masih marah jangan menyentuhku" Mata coklat Aruna membuka semakin lebar mengamati seisi ruangan.      

"Untuk apa ini semua" Tanya Aruna mendapati peralatan gym memenuhi pandangan selain pantri dan space tempat beberapa kanvas berdiri.      

"Ini caraku agar bisa tidur tanpa kamu" Hendra kini berjalan menyentuh benda bendanya.      

"Aku sering mengalami insomnia tapi belum pernah separah ketika malamku yang terlanjur kamu isi tiba tiba harus menerima kenyataan kau pergi begitu saja dan aku tidak bisa tidur tanpamu. Telepon darimu belum cukup" Dia menggeleng di akhir kalimat.      

"Kamu masih belum bisa minum obat tidur?"      

"Yah.. Kamu juga tetap tidak di izinkan meminumnya"     

Aruna bergerak menjelajah sisi Mahendra yang belum pernah dia tahu: "Kau melukis?"      

Dia berdiri di depan sketsa lukisan dirinya sendiri, Aruna seolah melihat dirinya pada goresan tipis yang belum sempurna itu.     

"Aku tidak tahu dari mana bisa melukis, aku sering dapat pujian gambarku bagus dan aku curi curi waktu melakukannya" Lelaki bermata biru membalik arah salah satu kanvas yang sudah usai terlukis.      

"Dulu waktu  tinggal bersamamu aku bisa memelukmu tiap malam dan tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal semacam ini, sekarang rasanya waktuku terlalu longgar dan aku ingin tetap memelukmu dengan cara berbeda"     

"Wo.. itu aku?"      

"Siapa lagi" Hendra kini menarik lengan Aruna dan gadis itu mendapati wajahnya di seluruh kanvas yang berdiri.      

"Semua kamu dan tentangmu" pria ini berhasil memeluk dari belakang dan mengendus telinga, gadis bermata coklat itu terlalu takjub dengan apa yang dia lihat. Gambar dirinya begitu terkesan di kanvas kanvas karya Hendra.      

Ada satu kanvas yang membuatnya paling berkesan, Hendra menggambar punggung perempuan yang sedang melukis grafiti namanya: "ini juga aku"     

"ini karya pertamaku, perempuan yang aku cintai menyatakan perasaannya dengan menggambar jadi aku tiba-tiba teringat pada bakatku yang jarang orang tahu. Dan mulai melukismu untuk mengisi malam hari yang sepi" Pria ini menyingkap rambut belakang Aruna dan mulai mengendus lehernya.     

Aruna bergerak mengelak menyadarkan Mahendra yang terbenam di leher belakangnya.     

"kau ingin makan? Aku akan masa untukmu jika kau mau"      

"Kamu masak di dalam hotel bintang 5?" Sedikit aneh menurut Aruna, Hendra bisa memesan apa saja yang dia inginkan hanya dengan sekali pencet.      

"Hehe, kadang Aku menginginkannya.."     

"Di mana kamu tidur?" dari semua yang dilihat Aruna, tidak ada bed yang tertangkap mata.      

"Kau mau melihatnya? Kita naik ke lantai atas" Hendra memegangi jari Aruna, dan berjalan menyusuri tangga yang melingkar naik ke atas. Aruna tahu ada tangga tapi dia tidak menyangka tempat ini tidak hanya 1 lantai.      

"oh, ya Tuhan?!" ketika sampai di atas tangan itu terlepas dari genggaman laki-lakinya, dia memegangi dirinya sendiri yang dibuat terkejut bukan main. Tujuh foto dirinya terpajang dengan ukuran besar mengelilingi semua dinding.      

"kau? Kau sangat impulsif?"     

"yang benar kompulsif. Hehe.." Hendra sudah menyadari cukup lama perempuan mungil di hadapannya membangkitkan obsesif kompulsifnya.      

Pikiran berlebihan (obsesi) yang menyebabkan perilaku repetitif (kompulsi).     

Gangguan obsesif-kompulsif ditandai dengan pikiran tak masuk akal dan ketakutan (obsesi) yang menyebabkan perilaku kompulsif.     

"tiap kali bangun aku perlu melihat wajahmu, jadi aku penuhi dingin ini.. hehe" Hendra terkekeh untuk dirinya sendiri.      

Dan Gadis itu menemukan dia di pantai Lovina, dia berlarian di pasir putih, dia meluncur dengan air dan semua yang mereka lalui pada honeymoon di Bali terpasang di dinding. Namun foto-foto itu tanpa warna, ditampilkan dengan tema monochrome khas Mahendra.      

Hendra duduk santai di ranjangnya tersenyum mengamati Aruna yang memandangi foto dirinya satu persatu: "bagaimana aku bisa mengisi perempuan lain di otakku, karena semuanya penuh dengan dirimu. Kemarilah, duduk di sini"     

Aruna membalik melihat Hendra: "warna ranjangmu putih?"      

"Ya, kau terkejut bukan hitam atau abu-abu seperti semua benda di sini?". Hendra meraba ranjangnya.     

"Bagiku tidak ada yang lebih sempurna dari bed cover bunga tulip warna putih seperti yang selalu terpasang pada kamar kita di rumah induk"      

"kemarilah sayang, cobalah duduk sebentar" Hendra menepuk kasurnya. Dan gadis itu mencari keberanian duduk di sampingnya. Dari caranya memandang Aruna tahu pria ini ingin meraih bibirnya.      

"tunggu dulu! Tania pernah ke sini?"      

"hanya di bawah sebentar, tidak pernah lama" mendengar ucapan Hendra, perempuan ini berdiri lalu beranjak pergi.      

"hai tenanglah dulu!"     

"Kau bilang aku harus tenang? Perempuan itu pernah tidur denganmu kan? Bahkan kalian berciuman di hadapanku. Dan sekarang mungkin tiap malam dia menggantikanku di sini" Aruna melihatnya sekilas lalu berlari cepat menuruni tangga.      

"setelah kau melihat ini semua, kau masih bisa berpikir ada perempuan lain di benakku" mata biru bangkit dan memburu Aruna yang sedang berlari.      

Aruna sudah sampai pintu keluar dan berupaya keras mendorong pintu itu: "kau menguncinya? Berikan kuncinya padaku aku mau pulang"      

"Tidak! dan semua tuduhanmu tidak ada yang benar"     

"lalu siapa yang memenuhi handphone mu? Dia menelponmu berulang-ulang bahkan.. sudahlah Hendra Aku lelah menghadapimu"     

"Apa kau bilang? Kau lelah? Siapa di sini yang lebih lelah?" Kalimat terakhir Hendra lebih keras.     

"Kau juga lelah berarti? Baik! akan ku minta ayahku mengajukan cerai!"     

"tarik ucapanmu!" Mata biru mendingin bergerak menakutkan menuju Aruna yang berdiri di dekat pintu keluar.     

"Kamu mau ngapain Hendra?"      

"Aku tidak pernah tidur dengannya, aku menciumnya karena aku sedang mabuk, aku gila ditolak berkali-kali oleh istriku sendiri. Dan sekarang perempuan itu.. Tania, Dia sedang linglung dengan dirinya sendiri. Setelah menghilang lama, dia berubah total. Tania dikendalikan seseorang, kita sedang menyelidikinya".      

"Kau bisa di percaya?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.