Ciuman Pertama Aruna

II-66. Catatan Kecil



II-66. Catatan Kecil

0"di mana apartemen kakak?" tiba-tiba pria yang menjadi lawan bicara. Mengungkapkan pertanyaan syarat makna. Pertanyaan yang dinanti-nanti Aruna dan bunda.      
0

 "oh' ayah.. Ayah berkenan mengunjungi kakak??"      

"oh.. iya.. aku lupa.. ayah dapat kado ulang tahun dari kakak. Dia bilang memberikan dan menitipkan kado itu lebih awal, karena takut sulit ketemu Aruna?!" kembali si kecil bicara.      

Tanpa dia sadari ada perempuan yang perlahan berjalan menuju suaminya. Lalu mereka berpelukan, termasuk berbalas sayang satu sama lain.      

"Putri kita butuh kita.. terima kasih sudah menanggalkan kemarahan mu sayang.. aku tahu, kamu sedang mengajarkan Alia untuk dewasa. Dan sekarang mari kita rangkul dia kembali" perempuan yang memeluk suaminya menangis tersedu-sedu. Untuk pasangan yang tak lagi muda, keduanya terlihat sangat mesra. Ayah beberapa kali setia  menghapus air mata bunda dan mengusap-ngusap punggung bunda, seperti cara para lelaki menenangkan perempuannya.      

Aruna menjauh sejenak, mengambilkan kado titipan kak Aliana. Termasuk membebaskan pikirannya dari laki-laki yang membuncahkan dada. Aruna melihat cara ayahnya menenangkan bunda. Sangat mirip dengan cara seseorang. Tapi gadis ini juga berniat ingin mengais kebahagiaan sederhana.      

Kalud itu lengkap ketika kado Aliana sampai di tangan sang ayah, catatan kecil berbunyi: "ada rindu yang tidak pernah habis, rindu kepada ayah seorang : ) "     

***     

[Katanya ada yang akan menjemput. Nyatanya Cuma omong kosong] pesan whatsapp terkirim di handphone sekretaris sibuk.      

_Aduh, aku lupa!!_ gumam Surya menerawang mencari-cari alasan, ternyata tiada guna mencari Alasan. Karena kenyataannya selain Dia lupa, Dia memang sangat sibuk.      

[Ada yang lupa dengan janjinya, harus sabar kalau laki-laki ini sering melewatkan beberapa jadwal. Termasuk jadwal yang sudah sepakati]     

_Cuma mau ngomong enggak bisa jemput karena sibuk, chatting-nya panjang banget. udah mirip izin kepada petinggi saja_      

_Dasar! Garing banget_ Sebal Dea membaca whatsapp gari oppa Surya.      

[Stiker Teddy bear menendang boneka lebih kecil]      

Yang di sana tertawa terbahak-bahak. Perempuan hijab  yang di sini galau bukan main.      

"Dea.. kamu nggak ngapa-ngapain kan? Nggak butuh pulang cepet kan? Lagi gabut (nggak punya kesibukan, lagi nggak ngapa-ngapain) kan, kamu?" Lily mencerca pertanyaan bertubi-tubi kepada dia.      

belum juga kepala gadis ini mengangguk Lily sudah menyerobot tangan perempuan berhijab. Mengajaknya lari menuju lantai pertama surat ajaib. Giliran mau sampai pintu keluar, Lily mengendap-endap tidak jelas.      

Ternyata timi sedang berjalan santai menuju halte bus yang tidak jauh dari outlet mereka.      

Sepertinya Lily meminta Dea mengendarai motor untuk membuntuti timi. Maklum lili hanya bisa mengendarai mobil tapi tidak untuk motor.      

"ayo cepat-cepat.." perempuan bermata sipit cantik memukul pundak Dea berkali-kali.      

"Daduuuh.. sabar sabar.. naik motor juga butuh konsentrasi Bu.." keluh Dea.     

"Dea.. makanya cepet" kembali perempuan  penasaran banyak bicara.      

"Aaargh.." Ternyata ada yang berteriak ketakutan setelah gas di tangan kanan diputar dengan kecepatan tinggi oleh sahabatnya.      

"Yang benar saja! Ternyata kamu takut juga.. hahaha"      

"Dea liaaaat de-depan.. jangan mengomentari aku"     

"Konsentrasi woe.."      

"BRUAAAK" Si Lily terlalu cerewet. Merusak konsentrasi Dea. Keduanya terjatuh karena terlalu menepi dan menabrak gundukan trotoar.      

***      

"Di mana nanti aku tidur, Hadyan?" Nana berdiri kebingungan. Dari tadi dia berdiri duduk berulang kali dan berjalan ke sana kemari berupaya menanyakan apa yang bisa dibantu sebagai sekretaris baru Mahendra. Tapi pria itu terus menggelengkan kepala.      

Hanya satu jenis kalimat yang terlontar dari mulut mata biru : "tersenyum dan perkenalkan diri kamu sebagai sekretarisku kepada tamu yang datang, supaya mereka tidak salah paham"     

"Di mana Aku tidur Hadyan?" sekali lagi Nana bertanya.     

"Pulanglah.. tak masalah aku tidur sendiri, toh aku tidak sakit. Dan kau butuh waktu lebih lama bersama adikmu. Tadi Leona  pamit lebih dahulu karena Ada banyak hal yang perlu diurus sebelum keberangkatannya. Termasuk pekerjaan yang perlu di serahkan kepada yang lain.      

"Emm.. Sebenarnya aku bertanya karena penasaran"      

Mahendra masih mendiamkan pertanyaan Nana. Pria itu lebih asyik memainkan laptop di pangkuannya. Dia sedang bekerja, sambil sesekali memeriksa handphone-nya berharap gadis mungil yang terlihat lebih sibuk dari seorang CEO mengirim pesan lebih dahulu.      

Pria ini terlanjur membangun strategi bahwa dirinya perlu melakukan pembatasan. Mungkin saat ini pembatasan untuk tidak menghubungi lebih dahulu telah dimulai.      

"kabarnya kau sudah bisa melihat perempuan tertidur di hadapanmu? Benar?"      

"Ya, Dari mana kau tahu aku punya sindrom tertentu"     

"Dulu aku yang menemanimu menghadapi sindrom yang ada pada dirimu itu."     

"Jujur Aku sudah muak mendengarkanmu menyebutkan tentang masa lalu, maaf jika aku pernah menyakitimu. Tapi, tolong tak lagi mengungkit-ungkit yang terjadi sebelumnya"     

"Hadyan! Apa kau tidak ingat? Kau selalu memohon pada kakekmu untuk bermain denganku. Bahkan kamu tidak mengizinkanku mengenal siapa pun, Kau hanya mau aku berada di sampingmu dan aku suka sekali mengurungku waktu itu" suara lemah lembut berubah menjadi nada keras dan keluhan.      

"Okey..  aku minta maaf, aku minta maaf atas semua yang terjadi. walaupun aku tidak ingat, aku masih mau minta maaf bukankah itu sangat bagus?!" perempuan untuk berkaca-kaca menatap tajam wajah Mahendra, berikut yang memilih berlari keluar dari kamar. Tepat sebelum sampai pada pintu keluar, gadis kecil yang ditunggu whatsapp-nya ternyata sudah menyusup ikut pura-pura menjenguk dirinya.      

"Ah" kedua perempuan itu bertabrakan satu sama lain.      

"oh maaf.. kakak nggak apa-apa??" seruan Aruna mengucapkan kalimat maaf hanya berbalas tatapan mata merah menyala antara sedih dan marah.     

Tentu saja dia yang berada di atas ranjang langsung melompat turun ke bawah.      

Tunggu! Dirinya harus berbeda kali!     

Hendra menunggu Aruna mendekat, karena biasanya dirinyalah yang paling bersemangat segera meraih gadisnya.      

Ternyata Aruna tidak lekas memelukmu, dia memilih pertanyaan tentang perempuan bernama Nana : "eemmm.. siapa kakak tadi?"      

"Namanya Nana, sekretaris baruku"     

"Kenapa dia kelihatan sedih? Kau.. mem-bully-nya ya..??"     

"tentu tidak, aku sudah cukup berumur untuk melakukan itu sayang!"     

"Lalu?"      

"dia hanya sedih karena aku lupa kejadian masa lalu yang pernah kita lalui bersama waktu kami kecil"     

"sudah lupakan pembahasan ini. Bagaimana kau bisa sampai di tempatku?" Mahendra memilih topik lain yang lebih menyegarkan.      

"Tadi aku berjumpa sekretaris Surya, dia mengantarku mengendap-endap ke sini."     

"Kamu berjumpa dengan Surya di mana? Setahuku dia sedang ada pertemuan bisnis menggantikanku."     

"Di kamar rawat Dea.. pak Surya menemani Dea. Aku jumpa dia di sana, Waktu aku jenguk Dea serta Lily.. Ah dua anak itu bener-bener.."      

"Emm.. kenapa Surya menemani Dea? Ada apa dengan Lilly dan Dea"     

"Lily dan Dea jatuh dari motor karena terlalu ngebut, kalau tentang pak Surya.. Apa kamu tidak tahu pak Surya mau menikah dengan Dea? Mereka kabarnya sudah saling memberi cincin!" Aruna mengerutkan keningnya melihat Hendra yang tampak ketinggalan informasi.     

"APA?? Sial! kenapa dia tidak cerita padaku, padahal aku selalu terbuka padanya. Lihat saja nanti!" celetuk Hendra tidak terima.      

"aku pun juga baru tahu.. dan kabarnya mereka jadian waktu honeymoon kita di Bali"      

"honeymoon itu mendatangkan bahagia untuk mereka tapi tidak untukku" Hendra menatap Aruna lebih lekat.      

"Hen.. aku punya kabar kurang baik untuk kita?"      

"Kakak mendesakku menandatangani surat gugatan cerai.. Aku tidak tahu harus bagaimana? Dia bertengkar terus-terusan dengan ayah.. walaupun jelas-jelas aku yang tidak mau menandatanganinya tapi malah Ayah yang disalahkan!" Aruna sedang memegang jari kukunya, terlihat sekali Dia sedang dilanda gugup.     

"lalu?" sontak ada wajah pria yang berubah drastis.      

"Aku sudah capek bertengkar dengan kak Anantha, Aku juga capek melihat ayah dan bunda uring-uringan."     

"Dan kau menandatanganinya??" mata biru memburu jawaban.      

"JAWAB ARUNA!!"      

"KENAPA DIAM SAJA?!! JAWAB!!"     

.     

__________________________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

Bantu Author mendapatkan Power Stone terbaik ^^      

Gift anda adalah semangat ku untuk berkreasi. Beri aku lebih banyak Semangat!      

Silahkan tinggalkan jejak komentar, aku selalu membacanya.      

Review bintang 5, berupa kalimat lebih aku sukai      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak      

-->      

(^_^) love you All, intip juga novel saya yang lain [IPK : Inilah Perjanjian Kita, Antara Aku Dan Kamu] dan [YBS: You Are Beauty Selaras]. Dengan gaya menulis berbeda dimasing masing novel.      

INFO : Instagram bluehadyan, fansbase CPA (Hendra, Aruna, Damar)      

Nikmati Cuplikan seru, spoiler dan visualisasi CPA     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.