Ciuman Pertama Aruna

II-67. Mantra Penyihir



II-67. Mantra Penyihir

0"Aku sudah capek bertengkar dengan kak Anantha, Aku juga capek melihat ayah dan bunda uring-uringan."     
0

"Dan kau menandatanganinya??" mata biru memburu jawaban.      

"JAWAB ARUNA!!"      

"KENAPA DIAM SAJA?!! JAWAB!!" Hendra sudah habis kesabaran.     

"Sabar Hendra sabar.. kita bisa lewati ini"     

"Melewati apa? Melewati perceraian yang kau setujui? Di mana akalmu?" laki-laki di hadapan Aruna tampak tidak bisa mengendalikan dirinya.      

"Ya, aku memang tidak punya akal. Aku bodoh karena cuma bisa menuruti keluarga ku. Kau pun sama, kamu tidak punya sebuah keluarga yang bisa membuatmu paham betapa pentingnya menjaga keluarga kita."      

"ya! Kau benar! Aku tidak punya.. aku pikir, kaulah keluargaku karena kau adalah istriku." Hendra berani menunjuk-nunjuk dada Aruna dengan cara sedikit kasar.     

 Gadis ini menutup mulutnya dia bergetar dan mulai menangis.      

"Sekarang apa keputusanmu?" Desak Hendra.     

"Keputusan?" tiba-tiba Aruna linglung sendiri.     

"Apa kau lupa?? berapa kali kita membahasnya!!" suara kemarahan kembali menyusup ke dalam gendang telinga. Tapi sakitnya bukan di telinga melainkan di dada.      

"kau terus berteriak, aku nggak bisa berpikir Hendra!"     

"lalu aku harus bersabar menghadapi perempuan yang bodoh ini"     

"Hik hik hiks.. kau boleh marah padaku, tapi jangan menghinaku"     

"Lalu aku harus bagaimana?? Aku harus manis? Manis pada perempuan yang menandatangani surat pernyataan perceraian, hah.. haha.. Kau membuatku gila..!!" pria itu mendekati Aruna yang sudah terpojok di dinding. Dia mulai memegang rambut gadis itu dan mencengkeramnya kuat.      

"Kau sudah menyembuhkan sindrom ku, tapi belum mengajarkanku cara meredam emosi ku" cengkeraman Hendra pada rambut  Aruna semakin kuat. Nafasnya terdengar naik turun seperti seseorang yang berjuang  meredam emosinya.     

"Kita pilih aja, pilihan kedua.." celetuk mata biru sedikit menakutkan, Persib seperti tangan kirinya yang mencoba meremas dagu Aruna supaya berkenan mendapatkan kecapan darinya.      

"Hen.. biar aku bicara sebentar saja.." dia yang marah tidak mau peduli. Mengecap sesuka hati dan berani membuat tindakan di luar batas.      

"Aaargh.. Kau menyakiti ku" Perempuan ini mulai tersiksa.      

Tadi Aruna berencana untuk datang dan membujuk Hendra, sekali-kali menyelesaikan masalah bukan sekedar menggunakan otaknya saja. Ingin Aruna memberitahu, walau dia Sudah menandatangani surat tersebut.      

Bisa jadi berkasnya diurungkan untuk sampai pada tangan pengacara Anantha. Dengan datangnya Mahendra ke rumah Aruna, dan mencoba bicara, duduk bersama didampingi Ayah Lesmana. Ayah sudah meminta Ananta untuk berkenan menerima kedatangan Hendra.      

Tapi nyatanya, pria ini belum banyak berubah. Aruna hanya bisa menangis dan tak lagi mau bicara, dia sudah lelah menghadapi laki-laki yang emosinya tidak dapat di duga.      

Namun hatinya, hati seorang istri berkata lain, Hendra tidak bisa dibiarkan seperti ini terus. Pada rasa gadis ini mendapatkan sakitnya, karena pria yang tidak tahu cara mengendalikan emosi sudah mulai menggigit dan mengoyak di mana-mana. Aruna membuka tangannya dan memeluknya erat-erat.      

"Tenang Hendra, tenang.." mencukupkan dirinya membelai lemah lembut pria yang jelas-jelas sedang menyayat hati.      

Seperti suara pekikannya tadi: "Kau sudah menyembuhkan sindrom ku, tapi belum mengajarkanku cara meredam emosi ku"     

Kini saatnya Aruna yang berupaya meredamnya di kepalanya terlintas nasehat bunda:      

"Kalau menikah jadilah seperti sepasang ukiran Jepara.  Walaupun mereka menghadap ke arah berbeda, tapi tampak senada dan sama bahkan terkesan sebagai keindahan karena berdampingan. Berpadu dengan kesabaran dan ketelitian. Seperti sabarnya para pembuat untuk menjadikannya sama. Termasuk telitinya mereka sehingga keduanya senada"     

"Hen... Tenanglah.. sabar.. lihat aku.. Hendra dengarkan aku.." sang istri mengurai kesabarannya.      

"HADYAN APA YANG KAU LAKUKAN!! DIA KESAKITAN!!" perempuan yang tadi menabrak Aruna dengan mata merah. Menarik tubuh Hendra semampunya.  Mendorong dan berusaha keras menyelamatkan Aruna.      

"SADAR HADYAN SADAR!! DIA KESAKITAN..!!" pria terdorong berusaha bangkit dan seolah sedang ingin menyerap putri Lesmana kembali.      

"STOP!! BUKA MATAMU!! DIA KESAKITAN!" perempuan anggun itu berdiri di antara keduanya, menghalangi dan melindungi Aruna dari keinginan Hendra untuk memburunya.      

Tapi gadis unik entah dari mana, dalam persepsi Nana ini bukannya menghindar atau mengamankan diri. Dia malah melebur membiarkan dirinya tertangkap oleh pemburu: "Hendra.. tenanglah.. tenanglah.. aku masih istrimu kan??"      

Nana tercengang bukan main : _itu istri Hendra?_      

Dan mata biru melemah seketika, dia dipeluk dan didekap tubuh kecil sambil terus mengucapkan mantra: "Tenanglah Hen.. lihatlah aku.. tenanglah aku masih istrimu.. lihat aku di sini"      

Melembutlah suaranya, suara pria bermata biru yang perlahan bisa menurunkan hembusan nafas kemarahan dari dalam dirinya. Matanya mulai berani melihat Aruna. Yang tersenyum lebar tanpa keluhan.      

Pria ini berkaca-kaca duduk kalut pada sofa. Nana masih tertegun dengan perilaku perempuan mungil yang mengaku sebagai istri Mahendra. Perempuan itu mendekat dan membiarkan Mahendra mendekap dirinya lalu sang pria seolah di izinkan membasahi lapisan baju di atas perut tepat sang pria bersembunyi.     

"Kak boleh aku minta bantuan mengambilkan air putih.." hanya itu yang keluar dari mulut perempuan yang Bajunya masih berantakan dikoyak lelakinya.      

Nana sempat berpikir minuman itu untuk gadis yang meminta tolong itu sendiri, karena dia masih dalam pelukan Mahendra, tak bisa bergerak. Nyatanya di serahkan kepada pria yang sedang kalut memeluk perutnya.      

"Hen.. minum dulu.." aruna mengelus rambut suaminya berharap dia yang bersembunyi di perut, berkenan Merenggangkan pelukannya.      

Minum air putih supaya lebih rendah emosinya.      

"terima kasih sayang.. ma-maaf kan aku.."     

Nana tidak pernah melihat Hadyan-nya yang dulu punya keinginan untuk menangis walau hidupnya sangat pahit apalagi mampu mengutarakan kata maaf dan terima kasih. Nana bahkan tidak yakin yang dilihat saat ini adalah pria yang sama dengan yang dulu dia kenal.      

Hadya (Hendra) tidak bisa mengikuti perintah orang lain. Dia punya keinginannya sendiri, sekali lagi tidak sama dengan apa yang Nana lihat hari ini.      

Wajahnya memerah dan sembab karena rasa bersalahnya terhadap perempuan yang kini dia turuti kata-katanya.      

"Nana tolong carikan baju untuk istriku" pinta Hendra berikutnya.      

"tak perlu Hen.. aku bisa kenakan jaket ku" Aruna menolaknya.      

"Aku ingin bicara lebih dalam dengan mu, sekarang?!" pinta Aruna melirik keberadaan Anna.     

"Anna keluarlah.." sungguh mengejutkan bagi Nana. Setiap kata-kata perempuan yang tampak biasa saja itu layaknya mantra mantra penyihir, mampu mengendalikan lelaki bermata biru.      

.     

.     

__________________________      

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/      

Bantu Author mendapatkan Power Stone terbaik ^^      

Gift anda adalah semangat ku untuk berkreasi. Beri aku lebih banyak Semangat!      

Silahkan tinggalkan jejak komentar, aku selalu membacanya.      

Review bintang 5, berupa kalimat lebih aku sukai      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak      

-->      

(^_^) love you All, intip juga novel saya yang lain [IPK : Inilah Perjanjian Kita, Antara Aku Dan Kamu] dan [YBS: You Are Beauty Selaras]. Dengan gaya menulis berbeda dimasing masing novel.      

INFO : Instagram bluehadyan, fansbase CPA (Hendra, Aruna, Damar)      

Nikmati Cuplikan seru, spoiler dan visualisasi CPA     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.