Ciuman Pertama Aruna

Ruang 22 Tahun Lalu



Ruang 22 Tahun Lalu

0"Ini memalukan, Ah' integritas ku di injak-injak".     
0

"Aruna.. hari ini aku berniat menjahilinya. Tidak ku sangka. Malah aku yang di bully".     

"Bapak.. bisa saya bantu". Seorang pramuniaga mendekat menanyakan maksud laki-laki yang sedang meremas busa. Display salah satu brand pakaian dalam.     

"Eh". Hendra segera melepaskan tangannya. Terkejut menemukan jari-jarinya tidak terkondisikan.     

"Ada yang bisa saya bantu..?". Sapa pramuniaga sekali lagi     

"Emm.. ada... ukuran 36D?".     

"Tentu saja". Jawab perempuan berseragam hitam, riang.     

"Anda suka yang berbusa atau..??.. Oh maaf, maksud saya istri anda biasanya menggunakan yang berbusa atau tanpa busa?".     

_Ah' apa?... apa lagi ini?_ Hendra ga' ngerti.     

"Aku ambil semuanya".     

***     

_Lampunya sudah menyala, Surya sudah kembali?_ Hendra baru sampai di mansion.     

"Dimana Aruna?". Tanya Hendra pada sekertarisnya, laki-laki yang sedang sibuk membereskan pantry.     

"Dia sudah pulang". Jawab Surya datar.     

"Ah' yang benar?!".     

"Apa anda kecewa sobat, dia sudah pulang?". Bisik Surya, jahil.     

"Jangan bercanda". Hendra meletakkan beberapa barang belanjaan.     

"Bagaimana kran air? Sudah beres?".     

"Apa aku bilang kita harus renovasi dulu tempat ini!!".     

"Aku hanya bertanya".     

_Kenapa dia yang marah?_     

Hendra menyusuri ruang tengah. Seseorang dengan baju barunya berusaha bangkit dari sofa tempatnya nonton televisi. Makanan ringan masih menempel berantakan.     

"Sudah dapat baju?". Pria itu memperhatikan gerak-geriknya. Sekali lagi tidak sengaja memastikan lingkaran di depan dada.     

_Eh', benda itu lagi yang aku pikirkan_     

"Ya... dibelikan Pak Surya". Jawab Aruna.     

"Jadi kau tidak butuh ini". Tanya Hendra polos. Sembari mengangkat sekantung plastik yang dia beli dengan tekanan mental luar biasa.     

"Eh, itu...". Aruna berjalan cepat-cepat, satu kakinya tampak bermasalah.     

"Berikan pada ku". Gadis itu merebutnya, kasar.     

_Anak ini tidak tahu terimakasih_     

"Kau tidak lupa mengatakan sesuatu?!". Mendengar ucapan Hendra, Aruna membalasnya dengan membuang muka, Jutek.     

"Siapa yang membuatku jadi begini!. Aku akan berterimakasih kalau kamu minta maaf". Aruna jengkel. Dia benar-benar sedang lapar, capek dan kesal jadi satu.     

"Baiklah aku minta maaf". Entah mengapa pria bermata biru terkesan melemah tiap kali Aruna menunjukkan ekspresi ngambek.     

"Terimakasih". Lirih.     

"Apa? Aku ga' dengar". Mereka mulai berbicara non formal.     

"Te.ri.ma.ka.sih... tuan.. Mu.da...". Aruna melontarkan kata-kata, meniru nada baca anak kecil yang baru belajar membaca. Dia yakin Hendra tadi mendengar ucapannya. Pria itu senang mengganggu.     

"Lagi-lagi kau mengejekku, sudah bosan hidup ya..". Hendra merebut kantong plastik fenomenal, simbol terinjaknya integritas diri sebagai CEO Grup Djoyo Makmur. Mudah saja baginya menjauhkan kantong tersebut dari Aruna. Cukup mengangkat tangan ke atas.     

Dengan postur Hendra yang tinggi, Aruna mungil hanya bisa melompat sia-sia. Gadis tersebut tidak kehilangan akal. Sengaja melompat untuk menginjak kaki Hendra dan ketika pria itu mengaduh, mengangkat satu kakinya. Aruna segera mendorong tubuh Hendra.     

_Apa?!?_ Hendra tersungkur ke lantai. Dia tak habis pikir gadis kecil ini berani merangkak di atas tubuhnya lalu merampas barang yang dia inginkan. Bahkan rambut dan kemejanya menyapu wajah Hendra.     

'Blush'. Hendra memerah, kupingnya ikut panas. Jantung berdetak kencang, seakan ingin copot dari wadahnya. Pria itu membeku beberapa saat, tertegun sendirian. Sebelum menyadari gadis kecil nekat sudah menghilang di balik pintu.     

***     

Bau harum olahan dua orang laki-laki bersahabat. Melayang di udara menyusup kedalam hidung Aruna. Belum makan dari pagi. Ditambah rentetan kejadian melelahkan. Menggiring gadis itu keluar dari persembunyiannya. Tertatih dengan kaki linu.     

_Aku capek sekali, adakah yang ingin membantuku?_     

"Pak Surya...". Aruna berharap meminta bantuan. Dia sudah cukup terlihat dari pantry. Tapi rasanya untuk sampai disini saja, sudah cukup nyut-nyutan.     

"Kumohon.. panggil aku dengan cara lain". Sekertaris Hendra sepertinya keberatan di panggil Pak didepan namanya.     

Aruna memutar otaknya, dia tidak cukup berani untuk sekedar memanggil nama. Itu kurang sopan.     

"M.. Mas?!".     

_Bukankah dia dari Jawa, gak mungkin juga aku panggil aa'_ (panggilan Sunda)     

"Hai.., panggilan itu tak boleh kau berikan padanya..". Hendra menyela.     

"Ayolah tolong aku, kaki ku sakit. Kalian masih saja berdebat". Hendra meletakkan pekerjaannya. Gesit mendatangi Aruna.     

"Tidak. Tidak. Tidak. Jangan kamu. Aku ga' mau kau bantu". Aruna mundur, menggeleng-gelengkan kepala. Tidak berkenan di bantu Hendra.     

Hendra tak peduli. Dia mengangkat tubuh Aruna.     

"Ah' turun!! Aku hanya butuh di papah.. ga' mau di gendong".     

"Aku mau turun!, turunkan aku!!". Gadis ini berisik, beberapa kali memukul bahu dan dada Hendra. Hendra konsisten, tidak bergeming. Santai menurunkan Aruna di kursi pantry.     

"Cuci dulu tanganmu". Hendra menyingkirkan tangan Aruna yang main comot.     

"Kalau gitu, bawa kemari airnya...". Pinta Aruna. Pria tersebut menyiapkan air pada wadah kecil dan tisu untuk Aruna.     

"Piring.. berikan aku piring tuan". Surya menyelipkan piring di depan Aruna, gadis ini sudah pandai mengganggu bosnya. Tersirat rasa senang, punya teman seperjuangan.     

Aruna tangkas mengambil nasi dan menumpuk semua lauk, sayuran, jadi satu seperti bukit. Dia terlampau lapar sejak pagi. Sendok Aruna terisi penuh. Lahap, tak peduli dengan dua pasang mata yang tertegun, menangkap selera makannya.     

"Demi kerang ajaib.. ini nikmat sekali". Seru Aruna.     

"Ha' Ha-ha-ha". Dua orang yang mengamati Aruna, spontan tertawa.     

_Apa yang mereka tertawakan ??_ Bagi Aruna, melontarkan ungkapan tersebut biasa saja. Ketika okefood datang di outlet Surat Ajaib, lalu membawa makanan untuk teman-temannya yang seharian kuliah sambil bekerja. Mereka akan berebut membinasakan semuanya. Lalu melempar kata-kata semacam ini. Kebiasaan unik yang ditularkan Damar.     

Mungkin hidup dua orang didepannya terlalu serius, Aruna menyimpulkan.     

"Selera makan mu cukup mengejutkan". Hendra menggoda.     

"Melihat nona Aruna, rasanya perutku sudah kenyang". Yaelah yang mampir food court tadi siapa?.     

"Bukankah kalian punya aturan tidak menggangu orang makan". Dulu Aruna pernah di tegur Surya, ketika ketiganya makan siang bersama dan dia tak sengaja melempar pertanyaan. Kali ini Aruna berharap dua orang itu diam.     

"Sayangnya aku sedang ingin melanggar". Hendra merasa senang bisa mengganggu Aruna. Pria itu meletakan Ayam teriyaki buatannya di atas piring Aruna.     

"Bagaimana kalian bisa masak seenak ini?". Puji Aruna.     

"Ketika kita tinggal di California, Hendra kesulitan dengan jenis makanan disana. Terpaksa kami masak sendiri". Surya menjelaskan.     

"Benarkah? Aku hampir tak percaya kau orang seperti itu?". Aruna merasa selera pria blesteran Jawa England ini tidak mencerminkan visualnya. Dia tidak memiliki pengetahuan apapun tentang calon suaminya.     

"Kau sendiri, apa yang kamu sukai?". Tanya Hendra.     

"Aku suka semua makanan, apalagi kalau ada vocer promo". Maksud Aruna, ketika ada vocer promo okefood.     

"Hobi, bagaimana dengan itu? Kau punya ketertarikan terhadap sesuatu?". Sepertinya Hendra pun berusaha mengenal calon istrinya dengan cara yang benar. (tidak menguntit)     

"Aku suka desain.. desain apa saja, terutama aksesoris, manik-manik atau sesuatu yang berhubungan dengan kerajinan tangan". Jawab Aruna sembari menikmati potongan terakhir makanan penutup.     

"Oh iya, hampir lupa. Aku sudah menyelesaikan desain undangan. Sebelum kami gandakan. Apa kau tak ingin memeriksanya?". Undangan 4 dimensi pesanan Hendra untuk pernikahan mereka.     

"Antar ke kantor ku". Hendra menarik bibirnya tersenyum mencurigakan.     

_Dasar Hendra, ingin menunjukkan siapa dirinya_ Surya mulai bosan menjadi peran pembantu diantara mereka, pria itu menyingkir mencari kesibukan lain.     

***     

Gadis itu tertidur pulas di atas meja pentry, awalnya berencana menunggu Hendra selesai makan dan beres-beres. Berharap pria itu mau membopongnya ketempat yang lebih nyaman untuk istirahat. Nyatanya rasa lelah dan kantuk tidak bisa tertahankan.     

Hendra menggendongnya, membaringkan Aruna diranjang yang sama dengan tempat dia berulah tadi. Secepat mungkin Hendra keluar dari kamar itu. Ada rasa mencekam yang menyelimuti dirinya.     

"Aku ijin sampai disini dulu. Apa tidak masalah". Surya meminta persetujuan, menemukan atasannya baru saja keluar dari kamar tempat Aruna beristirahat.     

"Baiklah, aku bisa mengantar anak itu pulang setelan dia bangun". Pernyataan Hendra menyetujui permintaan sekretarisnya.     

***     

Jam terus berputar. Sudah lebih dari pukul 18.00 malam. Namun belum ada tanda-tanda Aruna bangun. Hendra berniat menunggunya 30 menit lagi. Entah mengapa dia enggan masuk kamar Aruna.     

_Ah, hampir jam 7 malam mengapa Aruna tidak bangun juga_ Ragu, Lelaki itu membuka pintu.     

Deg'     

Kaki Aruna terlihat. Membuatnya merinding.     

_Tidak!. Tidak akan ada masalah.. Aku bisa melewati ini_ Hendra menyusuri ranjang Aruna. Menemukan kening gadis itu berkeringat, wajahnya tampak pucat.     

_Apa dia baik-baik saja?_     

_Hah, Apa diriku juga baik-baik saja?_     

Hendra menyentuh kening Aruna. Mendapati suhu dipermukaan kening gadis tersebut tinggi. Telapak tangannya terasa panas.     

_Tenang. Tidak akan ada masalah Aruna hanya demam biasa_ Pria ini seolah-olah sedang menenangkan dirinya sendiri. Tampak gelisah. Bukan sekedar karena Aruna demam.     

Tubuh Aruna bergerak kecil mengimbangi suhu tubuhnya. Gadis itu mulai mengigau. Hendra tak kuasa berada didekat tubuh Aruna. Entah mengapa dia memilih mundur beberapa langkah. Hal ini bukan lagi gelisah, ada semburat ketakutan yang menyerang dirinya secara perlahan.     

_Aku tak bisa... Aku tidak bisa melihat ini_ Rasanya ingin berlari keluar dari ruangan. Sayang, Hendra merasa tubuhnya membeku.     

_Tolong.. tolong.. tolong dia.. dia akan mati.. tolong dia.._ Hendra berusaha mengeluarkan suaranya. Mulutnya hanya bisa menghembuskan nafas pendek tidak beraturan.     

Ruang 22 tahun yang lalu perlahan hadir kembali. Dinding didekatnya memudar, luntur berganti dengan dinding lain dari ingatan jangka panjang miliknya. Tersimpan terlalu rapi, pria itu merasa perempuan yang berada di atas ranjang sedang sekarat. Tapi dia tak bisa bergerak. Mematung, di tepat yang sama.     

_Suaraku.. aku tak mau seperti ini.._     

_Tidak!! ini tak nyata!?_     

Hendra berusaha mengumpulkan fikiran logisnya. Susah payah meraih handphone di saku celana. Pria itu berjuang keras, untuk sekedar mencari dan memencet layar screen. Akhirnya berhasil menekankan tombol terakhir telpon keluar. Hendra menghubungi sekretarisnya.     

_Tolong.. tolong aku.. Kemarilah tolong aku_     

Hendra berupaya mengucapkan permintaan tolong berulang kali. Saat Handphonenya menyuarakan kata     

"Hallo, kau butuh sesuatu"     

"Hendra, hallo".     

"Aku tidak mendengar mu??". Sekertarisnya kebingungan.     

"Bruk'!.. klatak". Mata Hendra merabun, buram lalu gelap. Dia hilang kesadaran. Jatuh bersama ingatan masa lalunya, PTSD (post-traumatic disorder) menyapanya sekali lagi.     

"Hai?? apa yang terjadi?!"     

"Hallo... ".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.