Ciuman Pertama Aruna

Perbedaan Mencolok



Perbedaan Mencolok

0

Aruna melangkahkan kakinya dengan ragu. Hendra meletakan hair dryer di meja sembari menunjukan dimana letak saklar sehingga Aruna bisa memanfaatkannya untuk mengeringkan baju. Sedikit kikuk karena panjang kabel hair dryer mengharuskannya berdiri, Aruna memegangi bagian bawah rok. Menundukkan kepalanya memastikan hair dryer berhembus panas tepat pada roknya yang basah.

0

Adegan yang sungguh diluar kata anggun. Malah tampak sangat aneh karena kaki Aruna terbuka santai padahal dia mengenakan midi dress. Masih bisa dimaklumi menurut benak Aruna, karena dirinya membelakangi Hendra. Dari awal masuk lelaki itu mengambil salah satu buku koleksinya pada rak buku yang membentang di bagian kanan ruangan. Lalu duduk di meja kerjanya dan terlihat fokus membaca.

_apa-apaan dia_

Aruna tidak menyadari bahwa Hendra beberapa kali mengamatinya. Dia sungguh tak menduga jika perempuan yang akan menikah dengannya adalah gadis seberantakan itu.

_Apakah karena dia (Aruna) adalah seorang pengganti maka dari itu dia sama sekali jauh dari ekspektasi_

_Bagaimana bisa kakeknya yang perfeksionis menyiapkan jodoh bertahun-tahun lamanya berupa gadis aneh yang suka tersenyum_

Pikiran Hendra meliuk-liuk seperti sedang bermain teka teki.

"Huh... akhirnya selesai juga, syukurlah, lihat rok ku sudah kering". Seru Aruna bersemangat membuyarkan lamunan Hendra.

"Segera matikan itu". Pinta Hendra yang terganggu dengan suara lirih hair dryer.

"ah". Aruna malah tak sengaja mengarahkan hair dryer menyala itu pada wajahnya. Hembusan hawa panas tiba-tiba membuatnya terkejut dan ekspresi wajah lucu muncul sekilas. Sesungguhnya ekspresi itu cukup menggemaskan. Sebelum akhirnya segera meraih ujung kabel hair dryer supaya alat itu berhenti.

"Apa kau terlahir berantakan?". Hendra mengajukan pertanyaan sindiran dengan lugas.

"Apakah kau terlahir... ". Aruna ingin membalas sindiran Hendra. Dan tertahan dibenaknya. Buat apa membalasnya toh tak ada gunanya.

"Kenapa?! Lanjutkan saja.. aku tidak seprotokoler kakek ku". Pungkas Hendra.

Aruna hanya menggelengkan kepalanya sedang tidak minat berdebat. Seharusnya saat ini dia berhati-hati dengan siapa pun yang berhubungan dengan nama Djoyodiningrat. Namun potongan kalimat tanpa penyelesaian itu malah membuat sang pewaris Djoyodiningrat kesal bercampur penasaran.

"Aku hampir yakin, gadis seperti mu mampu menghina ku, untungnya itu hanya keyakinan palsu". Wao kata-kata Hendra sungguh tajam. Benar-benar konsisten dari pertemuan pertama dan kedua.

_Seperti mu?!? oh ya tuhan, tuan muda khayangan terhormat_

Aruna berupaya menjaga kewarasannya.

_Kau terlahir bermulut tajam_

Umpatannya hanya sampai tenggorokan.

"Lain kali karena kita akan banyak beraktivitas bersama, tolong kurangi perilaku aneh mu". Sesungguhnya kata 'unik mu' yang disusun Hendra. Namun dia berakhir memilih kata 'aneh' agar terkesan tak bersahabat.

_Aneh?!?_ Aruna mencoba menyusuri tindakannya dari awal makan malam hingga sampai di ruang kerja Hendra. Dia merasa tidak menemukan 'aneh' apa pun.

"Aku hanya.. sedang kurang nyaman dengan riasan dan baju yang kukenakan". Aruna mencoba membela diri. Laki-laki itu mengamatinya dari atas sampai bawah.

"Hemm... jangan-jangan kau kenakan flat shoes karena tidak bisa menggunakan high heels?!".

"iya".

_Ya Tuhan... sepenting apa high heels dalam kehidupan Djoyodiningrat_. Imbuh Aruna.

"Sudah kuduga". Pernyataan Hendra menancapkan ekspresi kemenangan tersendiri. Sebelum menambahkan bumbu kalimat pedas yang lain. Lelaki itu berhenti sejenak melihat handphone. Ada pesan masuk padanya. Sembari menutup telepon genggamnya, mata biru itu berdiri.

"Ayah dan ibumu sudah selesai dengan makan malamnya. Mereka sedang menuju lantai 1. Kita ditunggu disana". Hendra melangkahkan kakinya keluar ruangan namun tidak secepat langkah kaki kedatangannya tadi.

"Sebenarnya aku ingin membicarakan beberapa hal denganmu, itulah alasanku membawamu ke ruang kerja ku. Ada beberapa hal yang belum sempat kita bahas dalam pertemuan pertama kita". Jelas Hendra.

"Apa kau tidak keberatan jika aku meminta tambahan waktu pada pertemuan ketiga kita?". Tanya Hendra. Keduanya kini sedang berada di lift menuju lantai 1. Aruna mengamati dirinya pada kaca lift, satu frame dengan Hendra. Sebuah perbedaan yang mencolok terlukis disana. Hendra tinggi tegap, bahkan bahunya saja tepat di atas daun telinga Aruna. Mereka sama-sama mengenakan batik tetapi nuansanya jauh berbeda. Aruna mungil seperti aksesoris etnik lokal sedangkan Hendra layaknya produk import branded. Logika Aruna tidak jauh-jauh dari apa yang dia geluti yakni pembuat pernak pernik.

"Kau tidak mendengar perkataan ku?!". Hendra jengkel diabaikan.

"Eh iya.. Apa?!?". Aruna terbangun dari cocok loginya yang absurd. Hendra meliriknya dengan tatapan tajam berpadu ekspresi jengkel. Aruna tidak berani melihatnya langsung namun ekspresi itu tertangkap kaca lift.

CEO Muda Djoyo Makmur Group, si pusat perhatian, tidak pernah terabaikan, selalu didengar dan di ikuti perkataannya. Dalam waktu kurang dari satu jam sudah dua kali diperlakukan seperti figuran. Hendra merasa akan datang energi kesialan bersama dengan kehadiran perempuan mungil disampingnya.

"Huuuh..." Hendra menghela nafas ketika kalimat tajam yang sedang tersusun berhenti di pikirannya saja. Pintu lift terbuka buka di waktu yang tepat. Menyisakan Aruna yang secepat kilat menjauh dari Hendra, berusaha menemukan keluarganya yang menunggu di lantai satu.

***

Hari yang melelahkan, bukan karena lelah fisik namun lebih kepada lelah psikis. Bertemu dengan keluarga Djoyodiningrat secara langsung sungguh membuat Aruna tidak bisa mengendalikan perilakunya apalagi berpikir jernih. Bahkan raut muka tiap anggota keluarganya semakin suram.

Mobil Alphard hitam kebanggaan keluarga melaju dengan sunyi senyap, tidak ada riuh kehangatan seperti biasanya. Bahkan bisikan dialog Ayah dan ibu yang duduk di belakang terdengar ditelinga Arunan dan kak Anantha yang sedang menyetir.

"Tadi Ayah ngobrol apa dengan Gayatri?!". Suara Ibu kecil, tak ingin di dengar yang lain.

"Sekedar ingin tahu bagaimana kabarnya dan aku berharap dia bisa menerima Aruna dengan baik". Jawaban Ayah menggiring pikirannya kembali ke momen percakapannya bersama putri tunggal Wiryo, Gayatri.

Lesmana memanfaatkan kesempatan untuk sejenak menemui mantan nonanya. Nona yang cantik, tangkas dan ceria berubah menjadi perempuan tanpa ekspresi. Lesmana masih ingat masa-masa mereka tumbuh bersama. Bedanya Lesmana adalah asisten yang dipekerjakan sedangkan Gayatri adalah tuan putrinya.

"Nona bagaimana kabar anda?". Sapa Lesmana ketika keduanya memiliki kesempatan bicara berdua setelah sesi makan malam usai.

"Kamu akan jadi besan ku, hentikan memanggil ku nona. Aku sudah memperingatkanmu berkali-kali". Gayatri tersenyum getir mendengar panggilan yang kini jarang dia dengar.

"Bagaimana kabar anda?". Lesmana bertanya sekali lagi.

"Seperti yang kamu lihat aku baik baik saja". Jawab singkat Gayatri.

"Anda banyak berubah, aku berharap anda benar-benar dalam keadaan baik". Pernyataan menggelitik Lesmana. Membuat Gayatri menyadari arah bicaranya.

"Aku sudah cukup tua untuk kembali seperti dulu". Gayatri ingin menghentikan percakapannya. Tapi dia terusik penasaran dengan Lesmana yang suka rela menyerahkan putrinya.

"Mengapa kamu serahkan putrimu pada Ayah ku?". Gayatri bertanya terang-terangan.

"Tidak ada pilihan lain ketika ayah anda menginginkan sesuatu, siapa yang mampu menghentikannya". Jawab Lesmana. Gayatri terdiam menerawang dengan tatapan kosong.

"Ijinkan saya menitipkan putri saya pada anda". Lanjut Lesmana.

"Aku tak bisa berjanji dia akan baik-baik saja. Sesungguhnya aku lebih kecewa padamu ternyata selama ini kamu turut terlibat dalam rencana panjang Ayahku". Perempuan itu menyatukan kedua tangannya saling berpegangan, jemarinya mengusap satu sama lain. Sebuah kebiasaan ketika dia sedang khawatir. Lesmana memahami kebiasaan mantan nonanya.

"Putri ku Aruna gadis yang kuat, aku yakin dia mudah beradaptasi, hanya saja aku berharap dia mendapat dukungan di tempat barunya nanti". Lesmana mencoba memecahkan kekhawatiran nonanya.

"Bukan itu masalahnya, aku melihat putri mu begitu muda dan polos. Aku yakin dia belum mengerti keadaan sesungguhnya. Aku lebih khawatir padamu, Kau yakin dirimu siap menerima ini". Pernyataan Gayatri selayaknya peluru yang ditembakkan dan jatuh tepat di jantungnya. Seorang Ayah pasti akan melepas putrinya pada lelaki yang dia pilih. Namun bukan begini caranya. Jantung, hati dan seluruh organnya serentak ngilu.

"Aku pikir menyerahkan putra ku pada ayah merupakan akhir dari penembusan kesalahan ku. Nyatanya masih ada yang harus berkorban". Gayatri menelungkupkan tangannya di dada. Pemandangan kekhawatiran terpancar pada dirinya.

"Bisakah anda membantu Aruna". Pinta Lesmana sekali lagi.

"Anda adalah titik awal semua keadaan ini". Lesmana melanjutkan ucapannya, mencoba menggugah empati lawan bicaranya. Gayatri tersenyum, senyum tipis yang memilukan.

"Kamu tetap ajudan terbaik ku... Lesmana. Mana mungkin aku mengabaikan putrimu. Namun pernyataan mu perlu diralat". Gayatri dari awal percakapan tidak pernah melihat lawan bicaranya. Tiba-tiba mengarahkan pandangan pada mantan ajudannya.

"Aku bukan titik awal keadaan yang kau maksud. Setelah bertahun-tahun membuat dugaan. Baru sekarang aku yakin firasat ku benar. Kedatangan kalian kembali disertai menyerahkan putri mu pada keluarga kami, adalah strategi ayah memenangkan hati para dewan Djoyo Makmur Grup 25 tahun lalu". Gayatri mencoba menggali ingatan lawan bicaranya. Lesmana mengerutkan alisnya, dia masih belum benar-benar paham apa yang disampaikan Gayatri.

"Maaf, aku tidak mengerti maksud anda". Lesmana meminta penjelasan.

"Runtut kembali ingatan mu. Apa kau lupa Ayahku memiliki adik tiri?!".

"Ya saya ingat. Saya hanya lupa kemana Bu Clara dan putranya".

"Adik tiri dari hubungan gelap kakek ku. Tidak dipedulikan dan tapak tak berbahaya sampai dia hadir membawa putranya. Pemuda cemerlang, lebih potensial dibandingkan diriku, gadis dari keturunan resmi". Ucapan Gayatri seperti mantra yang mampu menggali potongan ingatan terlupa kan. Lesmana tahu betul masa-masa berat yang di hadapi tuannya Wiryo, ketika semua dewan (pemilik saham) bersatu menyuarakan kelengserannya.

Sebenarnya saham yang dimiliki oleh masing-masing anggota dewan tidak begitu banyak bahkan berceceran di tiap-tiap anak perusahaan. Kecuali mereka berkumpul dan melakukan kesepakatan. Alasan mereka sungguh klise yakni khawatir dengan penerus silsilah keluarga Djoyodiningrat karena Wiryo hanya mempunyai anak perempuan. Jumlah total saham seluruh anggota dewan tentu saja tidak lebih dari kepemilikan tunggal keluarga Djoyodiningrat, Sayangnya seruan itu mampu mengguncang stabilitas Djoyo Makmur Group. Tiga tahun berturut-turut konflik itu tumbuh berkembang dan tenggelam berulang-ulang, akhirnya terselesaikan dengan tuntas di tahun ke 3.

"Ayah ku mengetahui kehadiran Hendra sejak usianya 2 tahun, tepat ketika putri pertama mu lahir. Dan tak lama konflik itu teratasi". Ucapan Gayatri seperti taburan garam di atas luka.

"Aku pikir pak Wiryo..". Kalimat Lesmana belum terselesaikan.

"Kamu pikir dia baru tahu ketika aku pulang membawa putra ku bukan?!". Konfirmasi Gayatri. Lesmana mengangguk. Gayatri pulang membawa putranya yang berusia 5 tahun.

"Setelah kepulangan anda, Ayah anda memohon pada saya mengabulkan perjanjian pernikahan ini. Jadi artinya semua permintaan itu sudah dipersiapkan". Suara Lesmana bergetar.

"Bahkan pernikahan ku yang tidak nyata bisa jadi nyata". Gayatri mengingatkan tidak ada kemustahilan di keluarganya. Dirinya yang mengandung tanpa suami ketika kembali ke tanah air mendapati fakta yang berbeda. Gayatri berubah status sebagai janda dengan satu putra. Cerita yang terukir di khalayak umum dia menikah dengan teman sekampusnya di Columbia University lalu bercerai. Sehingga Hendra menyandang pewaris resmi Djoyodiningrat. Bukti pernikahan, akta perceraian bahkan akta kelahiran Hendra nyata ada.

***

_Aku sudah dipilih dan disiapkan sejak awal, semua bukan kebetulan, Pak Wiryo benar-benar mewujudkan ambisi mencetak generasi penerus Djoyodiningrat_

Lesmana berjalan terhuyung-huyung keluar dari mobil. Anantha segera membantu ayahnya menuju kamar. Dia menolak dipanggilkan Dokter keluarga. Dia hanya ingin beristirahat.

"Bun.. Andaikan masih bisa aku berharap Alia mau menerima ikatan perjodohannya. Dia sudah kita persiapkan dengan cara berbeda dibanding saudara-saudaranya. Lompatan karirnya adalah bukti dirinya bermental bagus. Sedangkan Aruna?? aku tak yakin si kecil baik hati kita mampu menghadapi keluarga Djoyodiningrat". Dalam istirahatnya Lesmana beberapa kali mengigau. Suhu tubuh Ayah Lesmana meningkat, sepertinya beliau syok dengan kenyataan yang sebenarnya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.