Ciuman Pertama Aruna

VI-276. Nyonya Muda Djoyodiningrat



VI-276. Nyonya Muda Djoyodiningrat

0"Kemana Hendra? Mengapa dia belum datang padaku?"     
0

Ibu muda dengan make up sempurna tersebut mengerutkan dahinya. wajahnya masam dan keluhannya mengakibatkan ajudan sang suami mundur meninggalkannya. Herry menyingkir cepat mencari tempat yang lenggang, dia membuat panggilan.     

[aku akan kesana. minta istriku menunggu sebentar saja]     

Herry kembali pada Aruna menyampaikan pesan lelaki bermata biru. Betapa senangnya si pemilik mata coklat hangat. dia berdiri dibalik pintu riang menunggu suaminya.     

Herry sempat menatap alvin yang juga meliriknya. Aruna bisa melihat dua ajudan yang menyembunyikan senyuman mereka.     

Calon ibu yang sebenarnya sosok gadis muda menoleh mengamati empat orang yang berada di sekitarnya. Bibirnya terbuka sekian inci, Aruna baru menyadari para ajudan suaminya terlihat berbeda hari ini.      

Seperti yang aruna lakukan --mengenakan pakaian paling spesial-- mereka juga mengenakan tuksedo memikat. Ibu hamil ini menoleh pada Herry, andai status Aruna detik ini masih seorang gadis kuliahan, sosok hitam manis ini paling cocok menjadi pendamping wisuda untuk dipamerkan pada teman-temannya.      

Aruna jadi penasaran apakah para ajudan ini punya kekasih dan bagaimana mereka menjalani hubungan. Mengingat jadwal padat yang harus mereka lalui setiap hari, belum lagi aturan identitas yang wajib dirahasiakan.      

"ada yang bisa saya bantu?" ini pertanyaan Herry. mendapati Aruna terlihat mengamati satu persatu timnya.      

jawaban sang nona sekedar gelengan kepala: 'para paman tampan penjaga baby,' Aruna bergumam.      

Detik berikutnya pintu terbuka selepas sebuah suara bip terdengar. inilah yang dia tunggu. Suaminya.      

hendra muncul, dan entah mengapa dia malah membeku di depan pintu sekian detik, sebelum menyunggingkan senyumannya.      

Desahan bercampur seringai yang mendorong tersaji-nya lesung pipi.      

"kenapa lama sekali," ada tiga buah garis di antara alis Aruna.      

akan tetapi kerutan itu tak berlangsung lama. pria yang menyeringai kini mengurangi jarak di antara mereka. lelaki bermata biru yang mendekat telah berhasil meraih dua lengan atas dan dipegangi lengan tersebut sejalan dengan caranya menurunkan pandangan menatap wajah Aruna.      

tanpa kata dia melepaskan lengan atas Aruna dan detik ini sebuah gerakan menangkap wajah mungil menggunakan telapak tangan ia perlihatkan.      

"cantik, sempurna," jempolnya bergerak ringan di pipi Aruna. telapak tangan naik hendak menuju rambut yang di sanggul.      

"jangan dipegang, nanti rusak," Aruna mengingatkan.      

Lesung pipi lelaki bermata biru yang mengedarkan tatapan pada Aruna dari ujung rambut ke ujung kaki, sekali lagi tersenyum lebar. sebelum Mahendra, sang pria yang berbunga-bunga tersebut memberi pelukan, menyesap ubun-ubun berulang dan baru berhenti selepas ibu hamil mendorongnya.      

"nanti rusak," keluhnya sekali lagi, jari Aruna mencoba menyentuh tempat suaminya memberi kecupan, jari-jari mungil itu memeriksa secara hati-hati.      

Kelakuan tersebut membuat Mahendra kian gemas, dia mengecup pipi istrinya.     

"Jangan! Sudah ku bilang nanti rusak," segitu pergantiannya Aruna pada penampilannya.      

Hendra geleng-geleng kepala, ajudannya sesekali saling memandang tanpa komentar.      

"Nasib jomblo," komat kamit keluhan ini milik Wisnu, bisikan lirih tersebut diperuntukkan pada teman-temannya --para ajudan. Mereka menyesap bibir supaya tidak tertawa.      

***     

Adrenalin membuncah menekan dada, dia berdebar-debar menantikan keramaian yang dulu sering kali mewarnai hidupnya.      

tangan mungil berkeringat ini melingkari lengan kanan sang mahendra.      

menyadari istrinya gugup hendra mengangkat tangan kirinya. dia memberi tepukan pada telapak tangan sang istri yang menggantung pada sudut sikunya.      

sepasang suami istri ini sedang berdiri di depan pintu menjulang tinggi. Batas sisi luar hall dan sisi dalam yang kabarnya di padati perwakilan seluruh elemen perusahaan multinasional Djoyo makmur Group.      

"Uuuh,"     

di detik sebuah isyarat tertangkap, yakni musik di dalam ruangan sengaja dihentikan dan pintu hendak dibuka untuk dua tamu utama. pemilik hajat yang sesungguhnya.      

"Aah," ibu hamil mengeluh. lelaki bermata biru yang menatapnya buru-buru melangkah. mencengkeram pintu menjulang. menahannya supaya petugas menghentikan gerakan.      

"Aku tak apa-apa," wajah aruna merah.      

"Benar?" lelaki ini menundukkan wajahnya mengamati sang perempuan.      

Ajudan nya mendekat.     

"panggilkan dokter," perintah hendra.      

"aku baik-baik saja, masih bisa…" Aruna meraih ujung baju mahendra, "beberapa hari ini kadang nyeri, tapi itu wajar, tiba-tiba juga hilang,"      

"kalau gitu gunakan kursi roda!" desak mahendra.      

"aku ingin berjalan, aku bisa, aku hanya hamil, aku," ada bibir tergigit. sesuatu terasa mencengkeram di bawah perut. Detik berikutnya menghilang.      

sebab menghilang Aruna menghirup nafas, kembali meraih jemari mahendra.      

"ayo masuk, aku baik-baik saja," Aruna bisa melihat mata biru yang biru yang baru saja berpaling enggan.      

"kalau aku merasakan sesuatu dan butuh bantuanmu mana mungkin aku diam, saja," tangan mungil merajut sempurna di pergelangan tangan mahendra.      

"sayangnya aku tak suka," lelaki yang berbicara hendak menarik tangannya.      

tapi Aruna lebih tangkas mengambil kendali. Ia melempar senyum kepada petugas penjaga pintu. sehingga ruang yang di dalam terbuka dan bertapa terpananya perempuan hamil ini.      

bunga baby breath biru tersebar pada tiap-tiap vas abu-abu estetik yang berdiri anggun sekaligus angkuh. Dia seperti cerminan suaminya. misteri, pengendali dan tak tersentuh.      

Hendra membawanya berjalan menuju ke tengah altar. tengah sebuah ruangan yang terhampar megah dengan permadani yang melapisi lantai dan langit-langit hole yang menjulurkan kristal serasi dengan anting yang menggantung di telinganya. Kado mahendra pagi tadi.      

Saat Aruna di bawa semakin ke tengah, ke pusat hole megah. semua orang menatapnya, berbisik menyebut namanya.      

Peserta perhelatan akbar ini seolah mendapatkan komando, mereka berdiri perlahan sambil menarik bibir, bentuk lain dari salam sapa.      

"jadi ini istri Direktur?"      

"Apa dia mengandung anak kembar?"      

"Mungil sekali,"      

"aku pikir dia lebih dewasa, ternyata sangat muda,"      

Aruna bisa mendengarnya. Bisikan mereka bahkan bisa dibaca dari gerakan bibir dan mata yang menelisik menyusuri penampilannya. Mata-mata itu mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.      

Namun ia berjanji pada dirinya sendiri dia tak akan peduli dengan apa yang diucapkan orang lain, sebab dia ratu hari ini. pusat perhatian yang menarik seluruh konsentrasi termasuk konsentrasi lelaki bermata biru.      

"baik, Karena Presiden Direktur Mahendra Hadyan Djoyodiningrat sudah hadir," Sang pembawa acara bersuara menyambut hendra, ruah tepuk tangan menghentikan ucapannya, "dan istri," tepuk tangan berikutnya menyusul.      

"Selamat datang Bapak," arah pandang pembawa acara di atas podium yang di tata indah menuju keberadaan hendra dan tentu saja Aruna di sisinya.      

Aruna bisa melihat hendra tersenyum ramah dan sebuah lambaian tangan ringan dia tunjukan. dengan melihat hendra perempuan hamil ini seperti di ajari cara tampil yang sempurna di depan khalayak banyak. aruna mengikuti cara hendra, tersenyum ramah, melambaikan tangan dan menundukan kepala ringan tapi tak begitu dalam.      

"oh, senang sekali hari ini ternyata bapak tidak sendirian," host satunya menatap ke arah aruna, "ibu selamat datang," dengan sigap aruna yang dibawa pada sebuah sofa khusus untuk tamu VIP, siapa lagi kalau bukan keluarga inti Djoyodiningrat berusaha menampilkan senyuman paling sopan. senyuman yang ditiru dar Mahendra.      

"Herry, carikan sandaran punggung yang nyaman." Pada kehebohan pembawa acara menyambut kedatangan mereka. Aruna malah menemukan kehebohan lain. suaminya yang tiada henti berbicara dengan orang-orangnya.      

"Mungkin kita perlu perkenalkan sekilas," Host perempuan berbicara.      

"Jadi yang hari ini datang bersama bapak mahendra, yang kita tahu beliau ialah Presiden Direktur utama Djoyo Makmur Group." Host lelaki mengimbuhi.      

"Turut hadir pula," sekali lagi Host melirik keberadaan Aruna, "Ibu Aruna Kanya Djoyodiningrat,"      

Seperti halnya hukum budaya yang umum di pegang masyarakat nama ayahnya lesmana hilang melebur menjadi milik keluarga suaminya.      

"tapi kalau di pikir-pikir panggilan bu, agaknya kurang cocok ini, masih sangat muda dan imut," mereka sempat terkekeh bersama.      

"Walaupun begitu kita nggak bisa panggil sembarangan…," Host perempuan mulai melayangkan humor khasnya, "ingat, nyonya, nyonya muda yang memang masih muda," dia terkekeh, "hehe," Host itu malu-malu melirik Aruna.      

"senang sekali di kehamilannya yang kabarnya sudah memasuki semester akhir, berkenan hadir menemani kita di sini," Host di panggung berbicara tanpa jeda. seperti Mahendra yang untuk kesekian kalinya kembali menginstruksikan sesuatu pada ajudannya.      

"Di mana dokter istriku, jangan jauh-jauh, minta dia mendekat," Wisnu mengangguk.      

"belum ada minum di meja istriku," Alvin beranjak.      

"berapa derajat pendingin ruangan? ini terlalu dingin. Naikkan suhunya, atau ambilkan blazer istriku," Jav mengusung langkah pergi.      

"Hendra cukup!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.