CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

TES MICRO TEACHING



TES MICRO TEACHING

0Pagi ini Mahira sudah siap dengan pakaian formalnya. Menggunakan rok bahan lebar berwarna hitam. Kemeja motif bunga dengan panjang sepaha, dan jilbab segi empat syar'i berwarna hitam. Tak ada aturan menggunakan pakaian seperti apa. Tapi Mahira berusaha menyesuaikan penampilannya sesopan mungkin yang pantas dipakai sebagai seorang guru.     
0

Kulitnya yang putih tak masalah walau hanya mengenakan riasan tipis. Hanya bedak dan lipcream saja yang ia pakai. Berdandan dengan tujuan tabarruj memang tak boleh. Tapi sebagai seorang pendidik tentulah akan menjadi pusat perhatian murid-murid. Oleh sebab itu seorang guru juga harus terlihat segar dan enak dilihat. Agar murid-muridnya juga senang melihat gurunya. Asal tidak berlebihan. Itu nasehat dari abinya Mahira.     

"Hati-hati ya Nak. Jangan lupa baca basmallah dulu sebelum kamu micro teaching," Wahyu dan Hanum mengantar Mahira sampai di depan rumah.     

"Iya Abi, Umi. Doain Mahira keterima kerja di SD IT AL ILMU ya Bi, Mi." Mahira meminta restu lalu mencium punggung tangan kedua orangtuanya.     

"Aamiin.. pasti Abi dan Umi doain nak. Semoga Allah memudahkan segala urusan dan keinginanmu."     

"Aamiin.. Mahira berangkat ya Bi. Assalamualaikum."     

"Waalaikumsalam warahmatullah. Hati-hati ya Nak. Tidak usah ngebut."     

"Iya Bi."     

Mahira mengendarai motor kesayangannya menuju ke SD IT AL ILMU tempat dia akan mengikuti tes micro teaching. Lokasinya lumayan jauh. Sekitar dua puluh menit perjalanan ke sekolah itu. Perasaan Mahira tak karuan. Saking tegangnya sesekali perutnya terasa mules selama dalam perjalanan.     

Setiap bertemu lampu merah, dia berhenti, lalu mengambil nafas panjang untuk menetralkan detak jantungnya. Dia sudah sering berhadapan dengan banyak orang. Tapi kali ini terasa lain.     

Mahira sampai di sekolah itu pukul setengah sepuluh. Karena kepala sekolah menyuruh dia hadir di sana pukul sepuluh. Dia yang terbiasa disiplin, sengaja berangkat lebih awal agar tidak terlambat sampai di sana. Lebih baik menunggu dari pada terlambat. Setidaknya dengan dia tidak terlambat, ada nilai tambah untuk performa dia hari ini. Tapi ada satu hal yang membuat Mahira heran. Karena hanya dirinya sendiri yang mengikuti tes.     

Setelah memarkir motornya, dia duduk di bangku dekat ruang kepala sekolah, menunggu sampai waktu yang disepakati.     

'Koq cuma aku saja yang tes di sekolah ini?' batin Mahira sambil melihat ke kanan dan kiri mencari teman yang barangkali ada yang mau tes juga seperti dirinya. Tapi tidak ada. Sesekali Mahira melempar senyum pada murid atau guru yang lewat di depannya. Hingga jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjuk pukul sepuluh tepat.     

"Bismillah.. Ya Allah mudahkanlah urusanku." Mahira melangkah menuju ke ruang kepala sekolah yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri saat ini.     

Tok Tok Tok..     

"Assalamualaikum.." Gadis bermata sipit itu mengetuk pintu ruang kepala sekolah yang sudah terbuka. Dilihatnya ibu kepala sekolah sedang menulis sesuatu.     

"Waalaikumsalam..Silakan masuk Bu Ghaziya" Rahma menyuruh Mahira masuk. Dia memang sengaja memanggil dengan nama depan, agar Mahira tidak curiga.     

"Terimakasih Bu." Mahira masuk lalu berjabat tangan dengan Rahma.     

"Silakan duduk."     

"Iya, Bu."     

"Bagaimana? sudah siap menjalani tes hari ini?"     

"InsyaAllah siap Bu." Mahira tersenyum semanis mungkin. Sedangkan jantungnya semakin berdegup kencang.     

"Alhamdulillah.. Sebelum anda melakukan micro teaching, saya ingin tahu apa motivasi anda ingin jadi seorang guru?"     

"Saya ingin menjadi seseorang yang bermanfaat buat orang lain bu. Dan salah satu cara saya bisa bermanfaat adalah dengan membagi ilmu yang saya punya dengan orang lain. Dan menjadi guru adalah pekerjaan yang bisa mewujudkan keinginan saya itu."     

"MasyaAllah.. jawaban yang indah sekali, bu Ghaziya. Memang sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat. Islam sangat memuliakan seorang guru, menjadi guru mempunyai tanggung jawab yanh besar. Selain dia mendidik intelektual anak, dia juga harus mendidik akhlaknya. Dan di sini saha berharap semua guru bisa menjadi contoh yang baik untuk murid-muridnya. Tidak hanya sekedar profesi saja. Tapi benar-benar tulus dari hati."     

"Iya betul bu Rahma."     

"Ya sudah ayo ikut saya ke kelas satu. Kalau kelas yang siswanya sudah besar seperti kelas 4-6 saya yakin anda sudah bisa menghadapi mereka. Oleh sebab itu saya ingin tahu bagaimana anda mengajar anak-anak yang masih kecil-kecil dan butuh kesabaran luar biasa. Jika anda bisa mengatasi anak-anak ini, saya yakin anda juga bisa mengatasi anak-anak yang usianya lebih besar."     

"InsyaAllah bu Rahma. Tidak masalah koq."     

"Saya suka dengan semangat anda bu Ghaziya."     

"Terimakasih, bu." Mahira mengikuti langkah Rahma menuju ke ruang kelas 1A.     

"Saya akan menceritakan sedikit tentang sekolah ini ya Bu. Di sekolah ini kelas setiap jenjang, ada empat kelas. Karena peminatnya yang sangat banyak. Dan rata-rata di sekolah ini memang anak-anak berasal dari kalangan menengah ke atas. Tapi bukan berarti khusus untuk orang kaya, di sekolah itu juga memberikan beasiswa untuk anak-anak kurang mampu yang berprestasi. Ada semacam subsidi silang di sini. Dua orang siswa yang mampu akan memberi bantuan untuk satu siswa yang tidak mampu. Dan semua siswa diajarkan tidak boleh membedakan bedakan yang kaya dan miskin. Di sekolah ini semua sama. Jadi tidak ada yang namanya bullying. Di sinilah peran guru sebagai pendidik untuk selalu memantau setiap perilaku anak didiknya. Saya harap jika anda lulus nanti dan menjadi guru di sini, anda bisa mengajarkan hal itu pada murid-murid anda."     

"InsyaAllah, Bu."     

Mereka tiba di kelas 1A. Sudah ada guru yang mengajar di sana. Rahma meminta izin agar Mahira bisa diberikan waktu sebentar mengajar di kelas itu.     

"Sudah siap Bu Ghaziya?"     

"InsyaAllah sudah bu."     

"Baik silakan dimulai."     

Mahira memposisikan diri di depan kelas. Melihat ke seluruh ruangan lalu tersenyum. Anak-anak jadi penasaran dengan guru baru yang berdiri di depan mereka.     

Gadis itu memulai dengan mengucapkan salam pada semua sisiwa. Dan dijawab oleh semua anak. Mahira memulainya dengan berkenan dengan anak-anak yang rata-rata masih berusia tujuh tahun itu. Setelah berkenalan, Mahira melanjutkan dengan pelajaran. Mahira mengajak anak-anak berhitung dengan alat peraga yang sudah dia siapkan dari rumah. Anak-anak jadi antusias karena belajar matematika hari ini terasa menyenangkan.     

Setelah satu jam mengajar di kelas itu, Akhirnya Rahma menyuruh Mahira berhenti. Selama satu jam itu, Rahma begitu menikmati cara mengajar Mahira yang menyenangkan. Dia juga sosok gadis yang supel dan sabar. Terbukti saat ada anak yang menangis karena tidak bisa, Mahira dengan sabar mengajari dan menghiburnya agar tidak menangis lagi.     

"Capek ya bu Ghaziya?" tanya Rahma saat mereka berjalan keluar kelas.     

"Lumayan Bu."     

"Ya begitulah jadi guru. Butuh tenaga ekstra pokoknya."     

"Iya bu benar. Bagaimana dengan penampilan saya, Bu?"     

"Kita bicara di ruangan saya dulu ya."     

'Aydin... Pilihanmu tidak salah Dek. Kali ini kakak dukung dan akan bantu kamu buat dapetin bidadarimu.' Batin Rahma. Dia tak sabar memberitahu Aydin tentang apa yang terjadi hari ini pada adik kesayangannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.