Pangeran Yang Dikutuk

Kau Tidak Pantas Mendapatakan Ini



Kau Tidak Pantas Mendapatakan Ini

0Aku turut berduka cita?     
0

Semuanya akan baik-baik saja?     

Apa?     

Apa pun yang dikatakan, tidak satu pun yang akan mampu menghidupkan kembali orang yang sudah mati atau setidaknya meringankan penderitaan yang dialami oleh orang yang berkabung.     

Akhirnya, Gewen memutuskan tidak mengatakan apa-apa tentang kematian sang ratu. Ia juga khawatir kalau-kalau hal bodoh akan meluncur begitu saja dari mulutnya yang hanya akan membuat Mars bertambah kesal. Jadi, sebaiknya Gewen memang hanya perlu berada di samping pria itu dalam diam.     

Setidaknya, Gewen akan akan memastikan mereka makan sesuatu saat mereka istirahat sehingga mereka bisa mengisi kembali energi mereka untuk melanjutkan perjalanan. Ia akan berburu dan memanggang hewan untuk mereka makan saat mereka beristirahat di hutan. Atau, jika mereka melewati kota, ia akan berhenti untuk membeli makanan dan wine.     

Ya, makan adalah sesuatu yang sepertinya lupa dilakukan ole Mars saat ia sedang berduka seperti saat ini. Pria itu bahkan tidak berpikir untuk mendapatkan makanan. Huh, jangan-jangan ia juga tidak merasa lapar.     

Jadi, Gewen memastikan mereka selalu membawa sesuatu untuk dimakan dan diminum. Ia juga lebih banyak diam, yang sangat sulit dilakukan jika oleh seseorang seperti Gewen. Namun pria itu berusaha sebaik mungkin.     

Gewen melakukan semua ini karena ia begitu menyayangi temannya itu dan ingin memastikan Mars bisa sampai ke rumahnya dengan selamat. Ia rela menjadi sandaran Mars selama masa-masa sulit ini.     

Namun, setelah tiga minggu berkendara hampir tanpa henti, Gewen sampai pada titik di mana ia hampir tidak tahan lagi. Ia sangat kelelahan, jiwa dan raga.     

Gewen membutuhkan tidur dan istirahat yang cukup. Mereka berhenti di hutan ini sekitar tengah malam dan hanya tidur selama empat jam. Dan sekarang sang pangeran ingin mulai bergerak? Hari masih sangat gelap dan Gewen bahkan tidak bisa melihat tangannya sendiri.     

Maka, ketika melihat Mars memutuskan untuk mendengarkannya dan kembali duduk di sebelahnya, Gewen merasa lega. Bukan hanya mereka, kuda mereka juga butuh istirahat, bahkan lebih dari mereka karena kuda-kuda itulah yang bekerja paling keras.     

Gewen tahu betapa Mars mencintai Snow dan akan merasa hancur jika sesuatu terjadi pada kuda kesayangannya itu, terutama jika itu adalah kesalahannya yang memaksa Snow terus bergerak dalam keadaan seperti itu.     

"Terima kasih," sahut Gewen. Ia menghela napas panjang dan menyelimutinya lebih erat. Udaranya sangat dingin dan tanahnya keras. Ia jadi sangat merindukan tempat tidurnya yang hangat dan empuk. Ia juga tidak sabar untuk sampai di rumah, tetapi tentunya ia ingin tiba di sana hidup-hidup.     

Mars memaksakan senyum dan mengangguk lemah. "Maaf. Seharusnya aku memikirkan kuda kita dan juga dirimu."     

Gewen yang sudah siap untuk kembali tidur tiba-tiba mengedipkan matanya saat mendengar Mars berbicara. Rasa kantuknya langsung hilang.     

Ini pertama kalinya Gewen mendengar Mars berbicara lebih dari satu kalimat sekaligus selama perjalanan ini. Biasanya, pria itu hampir tidak berbicara sepatah kata pun.     

"Aku ingin kita sampai di ibu kota hidup-hidup," ujar Gewen. "Jika kau memaksa dirimu dan Snow, kau mungkin sudah mati saat kita tiba di rumah nanti. Sama saja dengan tujuan kita gagal, bukan?"     

Mars menundukkan wajahnya. "Yah, kau benar."     

Ada keheningan sesaat di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.     

Akhirnya, Mars menepuk punggung Gewen dan berkata, "Terima kasih sudah berada di sini bersamaku, Gewen. Aku sangat menghargainya."     

Mata Gewen terbelalak. 'Wah, sungguh di luar dugaan', pikirnya. Apakah pikiran jernih Mars sudah kembali?     

Sang pangeran tampak diam dan tenang. Ia masih sedih, tapi setidaknya ia sudah bisa mengatakan hal-hal seperti ini yang memang terdengar seperti dirinya yang biasanya. Gewen terkejut melihat peningkatan itu.     

"T-tidak...tidak perlu berterima kasih kepadaku," jawab pria tampan itu terbata-bata. "Aku ini temanmu. Tentu saja aku harus melakukan ini. Aku yakin kau pun akan melakukan hal yang sama untukku jika aku berada di posisimu. Benar, 'kan?"     

"Gewen," desah Mars. "Semua hal yang terjadi kepadaku... Aku justru tidak berharap itu menjadi musuh terburukku. Jadi, kuharap kau tidak perlu mengalami hal seperti itu."     

Gewen tahu Mars tulus saat mengucapkan kata-kata itu. Temannya ini adalah pria yang baik. Itulah sebabnya kematian ibunya terasa tidak adil bagi seorang pria yang mulia dan baik seperti Mars.     

Gewen tahu betul segalanya tentang Mars dan mereka sudah dekat selama lebih dari dua puluh tahun. Mars tidak seperti reputasinya di luar sana.     

Meskipun orang-orang di luar istana kerajaan dan musuh-musuhnya semua mengira Mars adalah iblis yang bereinkarnasi, sosok aslinya justru jauh dari itu.     

"Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi pada Yang Mulia Ratu," sahut Gewen pelan.     

Saat itu, Gewen bahkan merasa ingin menangis. Namun, ia berusaha keras menahan perasaannya karena tidak ingin membuat temannya semakin sedih.     

Tampaknya Mars perlahan menerima kenyataan bahwa ibunya telah meninggal dunia. Ia kini mulai bisa membicarakannya. Ini pertama kalinya pria itu menyebutkan bagaimana perasaannya tentang apa yang terjadi.     

Ini adalah sesuatu yang Mars harap tidak akan pernah terjadi kepada Gewen.     

"Yah, ini benar-benar tidak adil..." tambah Gewen. Emosinya meluap. Ia sampai mengertakkan giginya untuk menekan emosinya. "Kau sudah sangat menderita. Kau tidak pantas menerima semua ini."     

Gewen telah menyaksikan sendiri bagaimana temannya ini menderita kutukan yang menimpa keluarganya sepanjang hidupnya. Dan sekarang, ketika ia akhirnya bisa mendapatkan kebahagiaannya... ternyata palsu? Terlebih lagi, semua hal baik yang ia miliki kini diambil darinya dengan cara yang begitu kejam.     

Ini jahat. Ini tidak adil. Temannya tidak pantas menerima semua ini.     

Mars menoleh ke arah Gewen dan menatap temannya itu dengan sendu. Ia benar-benar bersyukur bahwa pada masa-masa berkabungnya, titik terendah dalam hidupnya, ia masih memiliki seorang teman setia.     

"Yah, begitulah." Akhirnya, hanya itu yang bisa Mars ucapkan.     

Memangnya apa lagi yang bisa ia katakan? Ia telah berusaha menjadi orang baik. Ia bekerja dengan apa yang ia miliki. Dan ketika ia justru jatuh cinta dengan musuhnya, ia mencoba memenangkan hati wanita itu dengan meminta maaf dan melakukan segala yang ia bisa untuk menebus apa yang telah terjadi di masa lalu.     

Itu adalah perang dan orang-orang mati dalam perang, tetapi ia tetap disalahkan dan mengakui bahwa itu adalah kesalahannya dan ia bertekad untuk memberi kompensasi pada wanita itu untuk semuanya.     

Bahkan Mars menawarkan seluruh kerajaannya padanya. Ia juga menawarkan dirinya dan sisa hidupnya untuk melayani wanita itu dan membuatnya bahagia, menjadi suami dan ayah yang berbakti kepada anak-anaknya, mencoba untuk melupakan masa lalu dan memulai lembaran baru.     

Tapi ternyata, itu masih tidak cukup?     

Mars telah menekan emosi dan kesedihannya selama berminggu-minggu. Ia menolak membicarakannya karena kesedihan yang ia rasakan begitu mendalam.     

Dalam hati, ia masih berusaha menganggap Emmelyn tidak bersalah. Namun, sangat sulit untuk terus berpikir seperti itu ketika musuh terbesarnya telah memastikan bahwa ia menggunakan Emmelyn untuk membunuh ibunya sebagai tindakan balas dendam terakhirnya.     

Mars lebih suka tidak membicarakannya atau bahkan memikirkan apa yang terjadi, jadi ia tidak harus terus mengingat fakta bahwa ibunya meninggal dan istrinya adalah pembunuhnya.     

Namun, sulit untuk menghindari topik ini lebih lama lagi. Mereka hampir mencapai ibu kota dan tak lama lagi ia harus menghadapi kenyataan yang suram ini.     

Gewen bilang itu tidak adil?     

Apakah pernah ada keadilan dalam kehidupan Mars?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.