Pangeran Yang Dikutuk

Mars dan Gewen



Mars dan Gewen

0Emmelyn setuju dengannya. Ia juga bisa membuat beberapa jebakan untuk menjebak hewan kecil seperti kelinci. Mereka seharusnya tidak perlu khawatir tentang makanan. Tetapi mereka akan membutuhkan lebih banyak persediaan seperti pakaian dan barang lainnya.     
0

Satu-satunya pakaian yang Emmelyn miliki adalah yang ia kenakan sekarang. Namun, tentu saja pakaian ini akan robek dan kotor jika terus dipakai setiap hari.     

"Itu sudah cukup." Emmelyn mengangguk.     

Sekarang, ia merasa bersyukur karena menghadiahkan beberapa koin emas kepada Nyonya Adler. Ia akhirnya mendapatkan keuntungan. Jika ia tidak begitu murah hati saat itu, penyihir tua itu tidak akan punya uang untuk membantunya dengan menyewa penduduk desa untuk mengeluarkannya dari kubur.     

Si juru masak juga tidak akan memiliki kesan yang baik pada Emmelyn dan saudara laki-lakinya tidak akan senang membantunya. Emmelyn sungguh merasa tersentuh begitu mengetahui bahwa kebaikan yang pernah ia lakukan kini berbalas kebaikan yang ia terima.     

"Kita harus pergi dan mencari kota terdekat agar kita bisa beristirahat dengan baik, mencari tahu berita dari kota raja dan memikirkan apa yang harus kita lakukan selanjutnya," ujar Emmelyn.     

"Itu ide yang bagus," sahut Nyonya Adler sambil tersenyum.     

Sebelum membereskan selimut dan bersiap-siap untuk naik gerobak lagi, Emmelyn memegang lengan wanita tua itu. Ia menggigit bibirnya dan mencoba menahan air matanya sambil berkata, "Terima kasih banyak atas semua bantuanmu, Nek," katanya dengan suara serak. "Begitu aku punya uang, aku akan mengembalikan semuanya sepuluh kali lipat, atau bahkan lebih."     

Nyonya Adler menyentuh tangan Emmelyn dengan kedua tangannya dan berkata dengan manis, "Yang Mulia sudah memanggilku 'nenek' saja sudah menjadi kehormatan yang jauh lebih besar daripada yang bisa dibeli dengan emas. Aku senang bisa membantumu dan menjadi teman seperjalananmu. Berkat dirimu juga, aku mungkin memiliki kesempatan untuk melihat rumahku lagi."     

Dari cara Nyonya Adler berbicara tentang rumahnya di Teluk White Whale, Emmelyn dapat melihat betapa wanita tua itu merindukan tempat itu. Tidak ada tempat seperti rumah, kata mereka. Ya, Emmelyn setuju dengan pernyataan itu.     

Emmelyn bahkan tidak tahu apa yang disebut sebagai rumahnya sekarang. Terlebih lagi istana orangtuanya di Wintermere bukan lagi milik mereka dan kastil yang ia tinggali bersama Mars selama delapan bulan terakhir juga kini menjadi tempat terlarang untuk ia kunjungi. Setidaknya sampai ia dibebaskan dari tuduhan pembunuhan atau suaminya kembali. Ia sungguh mengharapkan hal itu     

***     

Dua minggu kemudian….     

"Kita harus pergi," ujar Mars dengan nada datar. Sang pangeran bangkit dari tanah dan menyiapkan kudanya. Sementara Gewen yang sedang berbaring di sampingnya dan membungkus dirinya dengan selimut tebal membuka sebelah matanya.     

Terlihat jelas pria itu masih sangat mengantuk dan lelah. Wajahnya yang tampan tampak lusuh dan terlihat kumal, tidak seperti biasanya. Padahal Gewen biasanya dikenal sebagai orang yang tidak akan pernah mengabaikan penampilannya.     

Tetapi itu semua karena mereka telah menunggang kuda selama berminggu-minggu tanpa jeda dan istirahat yang layak. Dan sekarang mereka sudah hampir tiba. Gewen berpikir karena mereka hampir mencapai tujuan, Mars akan melambat sedikit dan mengistirahatkan kuda mereka yang malang.     

Oh, ternyata dugaannya salah besar! Gewen seharusnya sudah bisa memperkirakan dari mata Mars yang memerah, temannya itu tidak akan berhenti sampai ia mencapai ibu kota.     

Begitu Mars mendengar kata-kata dingin Thessalis bahwa ia telah menggunakan Emmelyn untuk membunuh Ratu Elara, Mars bergegas keluar dari rumah penyihir jahat dan pergi ke Shadowend.     

Tidak perlu waktu lama baginya untuk memastikan bahwa penyihir itu mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Ibunya meninggal dan tersangka pembunuhannya adalah Emmelyn. Pria itu hampir kehilangan akal karena kesedihan yang tiba-tiba dan mendalam.     

Ia bahkan tidak ingat lagi tentang apa saja yang sudah terjadi. Yang ia tahu hanyalah ia memacu kudanya untuk segera kembali ke ibukota. Sang pangeran sudah tidak bisa lagi berpikir jernih dan yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus terus bergerak.     

Gewen berhasil mengejarnya pada hari ketiga dan terus bersamanya sejak saat itu. Yang lainnya bergerak di belakang mereka, mencoba mengejar pangeran dan temannya.     

Mars hanya berhenti untuk istirahat pendek dua atau tiga kali sehari untuk mengistirahatkan kudanya. Ia akan terus berkendara bahkan di tengah malam saat tidak ada bulan. Berhubung ia bisa melihat dalam kegelapan, ini bukan masalah baginya.     

Mars hanya ingin tiba di ibu kota secepat mungkin dan melihat mendiang ibunya. Kesedihan yang luar biasa membuatnya mati rasa atas segala rasa sakit dan kelelahan. Sementara Gewen berjuang keras untuk tetap bersama Mars, tetapi sebagai teman baik, ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap berada di samping sang pangeran.     

Gewen khawatir Mars akan celaka dalam perjalanan tanpa ada yang membantunya. Saat ini mentalnya jelas sedang terganggu dan ada kemungkinan baginya untuk melakukan kesalahan.     

Bagaimana jika Mars disergap oleh orang jahat? Meskipun Mars seoramg pria yang tangguh, tetapi dengan kondisinya saat ini, ia tidak akan bisa bertahan jika harus melawan puluhan preman atau musuh.     

"Masih gelap," sahut Gewen yang terlihat frustasi. "Apa tidak bisa kita tunggu saja sampai pagi sebelum kita melanjutkan perjalanan?"     

"Kau boleh berhenti dan tidak perlu mengikutiku," ujar Mars. "Aku akan tetap pergi. Kau bisa terus beristirahat di sini."     

"Bukan itu maksudku." Gewen buru-buru melambaikan tangannya untuk menenangkan temannya. "Aku ingin pergi bersamamu, tapi kupikir, setelah memaksa tubuh kita dan kuda kita untuk terus bergerak selama berminggu-minggu, sekarang kita sudah berada di ambang kelelahan. Setidaknya... beri kudamu lebih banyak istirahat. Lihatlah dia!"     

Mars menghentikan gerakannya. Ia menatap kudanya, Snow, dengan saksama, sebelum akhirnya menghela napas. Snow kini terlihat seperti kuda yang kurus kering.     

"Baiklah," ujar Mars akhirnya.     

Mars kembali duduk di sebelah Gewen dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Ekspresinya terlihat datar. Tidak lagi menunjukkan rasa sakit maupun kesedihan seperti yang masih ia alami beberapa hari yang lalu. Namun, sikapnya saat ini justru membuat Gewen semakin khawatir.     

Tampaknya sahabatnya itu telah mati rasa oleh duka dan kesedihannya sehingga kini ia bahkan tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Terlebih lagi pria itu telah berkabung dalam diam selama tiga minggu.     

Gewen juga turut berduka atas kematian Ratu Elara sehingga ia mengerti apa yang dirasakan Mars. Sang ratu sangat baik padanya dan Edgar sejak mereka masih kecil. Gewen telah mengenal Ratu Elara hampir sepanjang hidupnya.     

Jadi, hubungan antara mereka semua memang sedekat itu. Kehilangan ratu dengan cara seperti itu juga ikut membuat Gewen merasa hancur. Namun, ia tidak menunjukkan kesedihannya secara terbuka karena pada masa berduka ini, ia justru ingin menjadi sandaran yang bisa diandalkan oleh temannya.     

Gewen bahkan hampir tidak mengoceh apa pun karena pastinya apa pun yang ia katakan tidak akan berguna. Memangnya apa yang harus dikatakan kepada orang yang sedang berduka?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.